Rafael mendengar seseorang memanggil namanya. Saat dia melihat bahwa ibu Shena lah yang memanggil, ia langsung mendekat. "Tante Hera, apa kabar?" sapanya ramah. Ia melirik Shena, berharap wanita itu menyapanya tapi yang terjadi seperti yang telah dirinya duga. Shena mengabaikannya."Kabar tante baik. Bagaimana denganmu?""Saya juga baik, Tan." Rafael tidak berani duduk dikarenakan ada Shena di sana, mengawasinya."Apa kau sibuk?""Saya harus kembali bekerja," jawabnya jujur. Sejujurnya, pekerjaannya tidak terlalu mendesak, ia bisa tinggal di sana untu sementara waktu, tapi karena dia sadar diri kehadirannya tidak diharapkan, pergi adalah pilihan terbaik. "Maaf tidak bisa menemani Tante lama-lama.""Tante yang salah, Rafael. Kalau begitu kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Kapan-kapan kalau kau sedang libur, mampirlah ke rumah. Tampaknya sudah lama sekali tante melihatmu bermain di rumah."Shena menipiskan bibirnya, tidak senang akan tawaran sang ibu pada Rafael. Apabila itu dulu, dia s
Laura menyilangkan tangannya di dada. Badannya bersandar ke pintu masuk ruangan staf dalam posisi miring. Sepasang matanya menatap lurus ke arah Shena yang kini membereskan barang-barangnya."Kau yakin tidak ada yang mau dijelaskan padaku?" tanyanya dengan raut wajah serius yang jarang terjadi."Kalau ini masalah pengunduran diriku, maka tidak. Tidak ada penjelasan, Laura." Shena tidak memalingkan muka ketika menjawab pertanyaan itu dan fokus dengan membereskan barang-barangnya."Benarkah? Atau apa aku harus bertanya langsung pada tante Hera mengenai kau yang tiba-tiba mengundurkan diri dari pekerjaan?" Laura terus mendesak, tidak patah harapan walau Shena bersikeras tidak memberikannya jawaban. Shena terdiam, namun bahunya gemetar begitu nama sang ibu terlibat di sini. Laura berjalan mendekat, duduk di kursi panjang saat dia mengamati punggung lurus Shena yang sedang berdiri di depan loker."Kau terlalu mendadak pergi, Shena. Ini tidak seperti dirimu yang sangat mencintai pekerjaanm
"Mama bertemu dengan kakak? Apa katanya? Apa dia sungguhan ada masalah?" Erwin menghampiri sang ibu yang kini duduk di sofa ruang keluarga.Ia menaruh segelas air hangat di atas meja dan obat untuk ibunya minum.Hera berpaling menatap sang putra, sepasang matanya agak linglung tatkala dia mengingat pertemuannya dengan Shena. "Mama merasa ada sesuatu yang kakakmu sembunyikan dari mama, Erwin."Erwin duduk di samping Hera, mendengarkan dengan saksama. Dalam hati dia bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. "Ini, minum obatnya dulu." Hera menerima butiran obat dan secangkir air itu lalu meminumnya. Setelah dia merasa sedikit tenang, ia kemudian menceritakan akan pertemuannya dengan Shena kemarin. Tentang Shena yang juga tinggal bersama dengan Maria sampai waktu tak ditentukan."Maria?" gumam Erwin dengan kening berkerut. Ia mengenal teman sang kakak yang satu itu tapi tidak terlalu dekat seperti dia dan Laura. "Apa mama mau aku mengecek kakak di tempat Maria. Mumpung aku sekarang t
Mahendra mengetuk-ngetuk jarinya di pegangan sofa, nampak berpikir keras mengenai tawaran kencan buta pura-pura itu."Baiklah," ujarnya setuju setelah memikirkan pro dan kontra. Jessica nampak terkejut lalu senang karena akhirnya berhasil membuat Mahendra setuju. "Kau tidak akan mengingkari janjimu, kan? Jangan membatalkannya sampai kerjasama kita selesai. Berapa bulan?""Dua bulan saja." jawab Mahendra lagi singkat. Dua bulan sudah cukup baginya untuk mengenalkan Shena pada sang kakek dan mengumumkan hubungan mereka ke publik. Itu juga waktu yang tidak terburu-buru menurutnya."Ada lagi yang mau kau bicarakan?" tanya Mahendra sambil melihat jam di dinding, seolah mengisyaratkan kalau dia super sibuk dan tidak punya waktu lebih untuk menemani Jessica."Kau lanjutkan kerjamu, aku tunggu di sini sebentar. Boleh?" Jessica bertanya penuh harap. Pasalnya, dia belum mau pulang ke rumah karena pasti membosankan. Selama masih ada ibu tirinya di rumah, dia tak punya waktu santai. Apalagi ka
Sontak saja mendengar pernyataan itu, Renata membulatkan matanya tak percaya. Seluruh tubuhnya gemetaran keras karena hampir saja mengabaikan pasien di dalam. Untung saja dia telah diberi peringatan oleh manajer Ardi dan tidak lagi memperlakukan wanita itu dengan sikap seadanya. Mendengar keributan itu, Laura membuka tirai yang menghadang pandangan. Dia hampir saja menjerit kaget andai saja tidak ingat di mana kiranya kini berada. "P-presdir...." ujarnya terdengar gagap. Masih belum percaya bahwa laki- laki berkuasa dan jarang sekali ditemui, tiba-tiba muncul di hadapannya. Mahendra sontak menolehkan kepalanya ke samping. Sepasang matanya langsung awas tatkala mendapati dirinya tidak berdua saja, melainkan ada orang lain pula di dalam klinik kesehatan tersebut. "Kau tidak memberitahuku soal ini?" Desisnya penuh peringatan. "Saya berusaha mencoba memberitahu Anda, tapi Anda keburu emosi tadi." Renata berkilah, tak terima dituduh lagi atas kesalahan yang jelas-jelas tidak dirinya p
Mahendra mengulurkan tangan demi menyentuh rahang Shena lalu membuatnya menengadah agar dia bisa melihat dengan jelas cedera yang menimpa Shena.Itu benar-benar seperti tamparan.Shena menyentuh tangan itu yang kini bersarang di rahangnya, ingin menjauhkannya walau tidak berhasil. "Saya tidak apa-apa. Hanya kecelakaan waktu bekerja," jawabnya setengah jujur, setengah berbohong."Tatap mataku dan katakan lagi?" perintah Mahendra yang seolah tidak percaya.Sebagai tanggapan dari perintahnya, Shena justru memejamkan mata. Ia takut bila Mahendra sudah berkata dengan nada dingin dan tanpa perasaan itu. Apalagi matanya ketika sedang tersulut emosi, dia mana berani menatapnya langsung."Kenapa malah tutup mata?"Tidak ada jawaban."Shena?" panggil Mahendra dengan suara rendah, "Kalau kau pejamkan matamu dan tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur, aku cium kau di sini, sekarang juga sampai kau kehabisan napas, sampai menggelinjang kenikmatan kalau perlu. Kalau kau tak percaya aku berani mel
"Kenapa dengan tamu VIP-nya?" Mahendra bertanya sambil melotot. Sontak saja sang manajer menelan ludah gugup, tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Biarlah, presdirnya sendiri yang melihat siapa orang itu, pikir manajer pasrah. "Putar videonya." perintah Mahendra singkat. Brams langsung mengklik ikon putar, lalu tak lama kemudian sebuah rekaman diputar. Bersamaan dengan itu Shena tiba, ia mengetuk pintu dan dibiarkan masuk oleh sang manajer, pandangannya kemudian terpaku pada layar di depannya di mana dia melihat sosoknya sendiri sedang mendorong troli menuju ke kamar itu. Ia melirik ke arah Mahendra, lalu mengambil langkah agak menjauh dari pria itu karena takut dengan sikap Mahendra apabila tiba-tiba marah setelah selesai melihat adegan yang sebenarnya. Di dalam video, Shena sendirian saat wanita itu pergi ke sebuah kamar hotel. Sebelum masuk ke dalam, ia mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Ia telah diberitahu apabila penghuni kamar sedang keluar dan meminta room service
Ditengah pedih pipi serta sakit di kening, Shena menyeret tubuhnya dan bersandar. Meski situasi jadi lebih buruk, ia tetap mempertahankan tekad serta raut tak kenal takutnya pada Joan. Sayangnya, sebelum dia dapat membalas ucapan pria itu, perutnya tiba-tiba sakit dan pandangannya langsung menggelap.Dia hanya ingat dengan wajah pria yang hampir melecehkannya itu nampak kaget. Beruntungnya, Laura yang telah lebih dulu diberitahu, datang menghampiri Shena dan menemukan kejadian itu tepat waktu. Mahendra terus mengulang adegan itu lagi dan lagi, di mana tangan Joan melayang untuk menampar wajah Shena. Mereka tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan dan sedang ributkan, untuk itu dia bisa bertanya langsung pada Shena. "Pergi, susul ketuamu dan minta dia agar cepat mengumpulkan apa yang aku minta."Pria muda itu tidak bertanya lebih lanjut, mungkin paham bahwa mereka berdua butuh waktu bersama. Dilihat dari tindak tanduk sang presdir yang meminta mereka untuk menye