Hedi menggelengkan kepalanya menolak. "Maafkan saya. Saya hanya mematuhi perintah Presdir saja."
Tak punya pilihan, akhirnya Shena bersedia meski dengan terpaksa menemui Mahendra. Tepat ketika dia mengikuti langkah Hedi yang telah berjalan lebih dulu di depannya, Rafael menghentikannya kembali."Apa hubunganmu dengan Presdir kita, Shena?" tanya pria itu penasaran. Perasaan cemburu yang dirasakannya tak disembunyikannya oleh Rafael untuk dilihat oleh Shena."Apalagi memangnya selain atasan dan bawahan?" "Tetapi bagaimana bisa Presdir ingin bertemu denganmu? Pria super sibuk itu? Orang yang jarang sekali terlihat berinteraksi dengan bawahannya? Bagaimana mungkin meminta bertemu denganmu kalau bukan karena kalian saling mengenal?"Apa yang ditanyakan Rafael tidaklah salah. Dengan identitas yang dimiliki oleh Mahendra serta keterkenalannya akan sifat dingin dan acuh tak acuhnya, bagaimana bisa kenal dengan orang seperti dia?Jika bukan karena satu malam yang mereka habiskan bersama malam itu, ia pun tak dapat percaya apabila sang presdir meminta bertemu dengannya.Namun, masalah ini, dia tak perlu membicarakannya pada Rafael, kan? Apabila pria asing yang tidur dengannya di malam itu merupakan presdirnya sendiri.Shena melepaskan pegangan Rafael pada lengannya. Tanpa melihat kepada pria itu, ia menjawab dingin, "Tak ada hubungannya denganmu. Aku pun tak punya kewajiban untuk memberitahu mu semua masalah pribadiku, Rafael. Kau harus ingat kita hanya rekan saja, tidak lebih."Untungnya Hedi begitu sabar menunggu Shena datang menghampirinya. Pada saat Shena masuk ke dalam lift, ia sebenarnya merasa tak enak hati telah membuat menunggu kaki tangan sang bos.Dalam perjalanan menuju ke ruangan Mahendra, tiba-tiba saja keringat dingin kembali muncul membasahi dahi serta punggungnya. Shena mengambil langkah mundur, bersandar di dinding lift. Hedi yang melihat kelakuannya bertanya heran "Apa Anda baik-baik saja?" "Bukannya tadi kubilang aku sedang tidak enak badan?" batin Shena menjawab sinis. Berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang buruk, di permukaan ia tidak menampilkannya dan hanya memberi isyarat pada Hedi kalau dia tidak apa-apa.Hedi tidak bertanya lagi, kembali menengok ke atas di mana nomor lantai terus naik. Begitu lift berhenti, ia keluar lebih dulu lalu kemudian disusul Shena.Semakin dekat dirinya menemui Mahendra, semakin banyak pula keluarnya keringat dingin di punggungnya. Dia juga merasakan keinginan untuk muntah. Akan tetapi dia terus mencoba menahannya.Hedi mengetuk pintu yang tertutup di hadapannya, mengisyaratkan pada sang presdir yang ada di dalam bahwa dia telah tiba.Tak butuh waktu lama bagi Mahendra untuk membuka pintu itu. Pada saat dia melihat wanita di belakang Hedi, ia terdiam seraya mengamati sosok Shena yang kini membeku kaku."Saya sudah membawa Nona Shena, Presdir."Dia pun mengangguk, "Kau bisa tunggu di luar. Aku panggil kalau urusanku telah selesai," jawabnya singkat yang dapat dipahami maksudnya oleh Hedi. Ia pun berpamitan pergi dari sana, meninggalkan kedua orang itu di depan pintu yang terbuka."Masuk." perintahnya pada Shena singkat.Tinggal berdua saja dengan pria yang berusaha dihindarinya, menyebabkan Shena berubah tegang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi di bawah tatapan kelam nan tajam itu, ia merasakan ketakutan samar menyelimuti.Mahendra duduk di sofa tamu. Ia juga menyuruh agar Shena duduk hingga mereka dapat nyaman berbicara.Sesaat terjebak hening yang lama. Mahendra terus mengamati seorang wanita yang telah menemaninya malam itu. Setiap kali dia melihat wajah cantik dan pemalu ini, ia seakan diingatkan akan malam bergairah mereka. Dan kepuasaan yang jarang dia rasakan itu kini kembali menggelegak seolah ingin membangunkan binatang buas dalam dirinya.Rengkuh dia. Peluk dia erat. Cium dia sampai jejaknya memenuhi kulit mulus yang terasa nikmat kala disentuh. Walau kini pikirannya tak jauh dari ingin meniduri wanita di depannya lagi, namun wajah tampan Mahendra masih mempertahankan ketenangannya seperti biasa.Demi menutupi gairahnya, kakinya disilangkan agar wanita lugu di dekatnya itu tidak menyadari akan keanehannya."Apa kau masih ingat aku?" Tanpa menunda lama Mahendra lebih dulu bertanya.Shena mengangkat wajahnya yang tadi menunduk. Melirik sisi wajah sang presdir yang tampan kemudian menganggukkan kepalanya pelan. Meskipun awalnya dia tidak mau mengakui, namun karena pihak lain telah memanggilnya lebih dulu, tak mungkin baginya menyangkal kalau dia tidak ingat pria ini."Asistenku telah salah membawamu malam itu. Untuk mengkompensasi kerugian yang engkau alami, aku bersedia untuk membayar harga."Ketika Shena mendengar penjelasan ini, dia merasakan perasaan campur aduk. Antara senang karena akhirnya pria ini percaya kalau dia bukanlah wanita murahan, dan merasa terhina karena diingatkan betapa rendahnya harga dirinya di mata lelaki berkuasa ini.Shena mengembuskan napasnya ringan. Ia berpikir, ia tidak perlu kompensasi apa pun. Lagi pula malam itu yang salah juga dirinya. Diantara mereka berdua, apabila terjadi kesalahpahaman maka sekarang telah terselesaikan. Selama pria ini percaya kalau dirinya bukan perempuan seperti itu, dan dia telah mendapatkan permintaan maaf, ia merasa itu cukup. Lalu mengenai anak yang dikandungnya ... Shena mengepalkan tangannya di atas lutut, aku bisa membesarkannya sendiri. Tak perlu bagi Mahendra tahu soal ini, putusnya kemudian."Saya tidak membutuhkan kompensasi apa pun dari Anda, Presdir," jawabnya terdengar tulus yang cukup mengejutkan bagi Mahendra."Tapi malam itu, kau ... itu pertama kalinya bagimu." Mahendra berkata dengan suara rendah karena ingin menjaga perasaan Shena agar tidak merasa malu.Benar sekali apa yang dikatakan oleh Mahendra. Malam itu merupakan kali pertama bagi Shena melakukan hubungan intim seperti itu dengan pria. Saat dia berpikir dapat menjaga mahkota berharganya untuk suaminya nanti, yang terjadi justru sebaliknya. Seorang pria yang tak berhak atas dirinya telah merenggutnya lebih dulu."Sudah terlanjur terjadi dan saya tidak meminta pertanggungjawaban Anda. Anda dapat melupakan kejadian malam itu, begitu pula dengan saya. Saya akan anggap bahwa semuanya itu tidak pernah terjadi. Dengan begitu, Anda dan saya dapat tenang menjalani hidup masing-masing seperti sebelumnya. Saya hanya berharap Anda menyetujui usulan saya ini."Tidak ada keraguan sama sekali di sepasang mata jernih itu. Seolah-olah kesempatan emas yang dirinya tawarkan, yang bagi wanita lain begitu sangat menginginkannya, menjadi tak berharga bagi wanita cantik di dekatnya kini.Mahendra bukanlah tipe orang yang memaksa. Mendengar keputusan Shena, ia tidak mengatakan apa pun lagi."Jika sudah tidak ada lagi yang mau Anda katakan, saya permisi dulu." kata Shena seraya menundukkan kepalanya sopan lalu berdiri dari duduk. Namun sebelum dia dapat berdiri dengan benar, pandangannya menggelap dan dia jatuh limbung ke depan.Mahendra yang melihat itu sontak saja menangkap tubuh Shena, menghindarkan wanita itu dari jatuh ke depan dan melukai dirinya sendiri."Shena!" panggilnya terkejut.Mahendra berdiri di sisi ranjang dalam postur diam. Tidak menginterupsi sang dokter wanita yang telah dihubungi untuk datang memeriksa keadaan Shena. Di atas tempat tidur, Shena yang tidak sadarkan diri diperiksa oleh dokter. Kejatuhannya tadi yang tiba-tiba mengejutkan pria itu dan sekaligus menimbulkan rasa khawatir yang belum pernah ada. Setelah beberapa menit dalam keadaan hening, dokter itu merapikan peralatan medis yang dibawa. Masih duduk di posisi yang sama, ia kemudian bertanya pada pria di samping yang membuat dia agak gugup sejak pertama kali bertemu. "Bolehkah saya bertanya apa Anda memiliki hubungan dengan wanita ini?" Pertanyaan yang diajukan cukup aneh. Kening pria itu berkerut dalam, bingung memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Sepertinya, jawaban yang dikeluarkan dapat menentukan suatu hal penting lain. "Saya kekasihnya," Dokter wanita itu tampak menghela napas lega. "Jadi begini, saya masih belum tahu apakah diagnosa saya ini akurat atau tidak.
Blam! Suara pintu mobil yang ditutup keras membuat Shena tersentak. Kedua tangannya bergetar hebat di atas lutut dikarenakan takut. Ia tak menyangka bahwa Mahendra akan bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan penolakannya. Saat dia berkata bahwa anak di dalam perutnya bukanlah miliknya, Mahendra tidak percaya. Dan alasan lain yang coba dirinya berikan akhirnya menyulut kemarahan laki-laki itu. Mahendra benar-benar membuktikan perkataannya langsung seketika itu juga pada Shena. Terbukti dengan pria itu yang menyeret Shena keluar dari hotel, lalu membawa wanita itu pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes apakah Shena benar hamil atau tidak. "Anda tidak bisa melakukan ini pada saya!" Walau Shena takut menghadapi pria yang marah di sampingnya, ia tetap memberanikan diri bicara. Ia tidak mau pergi ke rumah sakit. Ia tidak mau laki-laki ini tahu kebenarannya. Tanpa menolehkan kepalanya, Mahendra menyahut, "Bisa atau tidak, terserah padaku yang memutuskan!" "Presdir, bahkan jika ana
"A-Apa yang baru saja Anda lakukan?" Shena mendorong Mahendra menjauh. Wajah cantiknya tampak shock. Tidak mengerti mengapa laki-laki ini menciumnya.Jika bertanya pada Mahendra pun, pria itu tak akan tahu jawabannya. Karena tadi itu tindakan spontan dikarenakan melihat kecantikan yang mengagumkan terpapar dalam jarak pandangnya.Mahendra memundurkan tubuhnya. Kedua telinganya berubah merah lantaran malu karena sembarangan mencium wanita. Apalagi wanita itu seperti Shena. Polos dan naif seperti wanita baik-baik yang tidak pernah terlibat dengan para lelaki."Maaf. Tadi aku, tidak sengaja." ujarnya seraya memalingkan muka ke samping. Ia mengusap hidung mancungnya, ingin bersin tapi tidak jadi.Shena pun ikutan kikuk. Masih terasa bekas ciuman tadi di bibirnya yang kini sedikit lembab, dan kehangatan dari pria itu tampaknya belum pudar dari sana."Apa kita jadi masuk ke dalam atau tidak?" Ia bertanya mengingatkan. Untuk apa pria itu membawanya ke rumah sakit."Tentu. Meski kau telah men
Shena tinggal bersama dengan temannya di sebuah apartemen untuk sementara waktu. Di saat dia berpikir akan mencari kontrakan baru, tawaran tak terduga dari anak buah Mahendra datang padanya.Itu adalah hari liburnya, saat seorang wanita berusia 40-an mengetuk pintu dan datang khusus untuk bertemu dengannya."Saya disuruh oleh Presdir untuk menyampaikan beberapa pesan pada Anda, Ms. Shena. Saya harap saya tidak mengganggu waktu istirahat Anda.""Tidak, tidak. Anda sama sekali tidak mengganggu.Wanita yang diketahui bernama Hannah itu tersenyum. "Kalau begitu saya akan langsung saja. Anda dapat membaca surat-surat ini dulu sebelum mendengarkan penjelasan dari saya."Sebuah map berwarna kuning diserahkan kepada Shena untuk dia baca. Walau awalnya bingung, ia tetap melakukan perintah wanita itu. Ia membaca isi di dalam surat itu yang katanya pesanan dari Mahendra.Selama dia membacanya, raut wajahnya tampak berubah-ubah."Apa maksudnya ini?""Presdir telah mengetahui kondisi Anda, Ms. She
Shena di jemput oleh sopir di sore harinya selepas pemberitahuan dari Hannah."Kau yakin akan pergi?" Maria yang notabene teman Shena bertanya."Aku dengar kakakmu akan datang kemari, kan. Jadi aku memutuskan lebih baik pergi lebih awal sebelum kakakmu datang."Maria berjalan masuk ke dalam, lalu duduk di kursi menghadap Shena yang sedang membereskan pakaiannya. "Aku tidak keberatan kalau kau tinggal bersamaku lebih lama, Shena. Lagi pula kakakku hanya sebulan saja menumpang di sini. Setelah itu, aku tinggal sendirian lagi di apartemen besar ini. Itu akan membosankan seperti biasa."Shena menggelengkan kepalanya. Walau dia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk terus tinggal. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa ditutupi. Selama dia masih bersikeras ingin mempertahankan bayi yang dikandungnya, menerima tawaran dari Mahendra adalah satu-satunya cara terbaik yang dapat membantu menyelesaikan kegundahannya. Memikirkan pria itu, dia tidak
Shena adalah wanita pertama yang tidak ditolak oleh Mahendra untuk tetap tinggal di sisinya. Dan dia tidak keberatan akan fakta tersebut. Padahal jika itu orang lain, tak mungkin Mahendra melakukan semua itu."Mungkin karena dia sedang hamil anakku. Itu sebabnya aku jadi aneh begini." Mahendra meyakinkan dirinya sendiri seolah segala toleransi dan kebaikannya murni demi mempertahankan anak yang dikandung oleh Shena. Mengenai bagaimana perasaannya sendiri yang mulai terbiasa dengan keberadaan Shena, dia tidak terlalu memikirkannya.Sore hari berlalu begitu cepat. Saat Mahendra menyelesaikan sisa pekerjaannya di hari itu, Hedi masuk ke dalam ruangan demi mengingatkan dia tentang makan malam itu. "Anda akan menyetir sendiri?" Hedi bertanya untuk memastikan. "Ya, kau boleh pergi sekarang.""Presdir, Anda tidak boleh tidak hadir ke pertemuan itu. Bagaimana kalau saya mengantar Anda seperti biasa?""Kali ini aku akan pergi menemuinya," ujar Mahendra jengkel seraya menyipitkan matanya berb
Shena menyudahi makan malamnya. "Sudah selesai? Apa Anda mau puding sebagai makanan penutup?" tanya bibi pembantu yang ditugaskan Mahendra untuk menemani Shena selagi dia tidak ada.Nyatanya, Shena sudah kenyang. Tapi tawaran makan puding dari bibi di depannya, tanpa sadar ia meneguk ludah pertanda mau. Jadi dia mengangguk sebagai jawabannya dan secara lirih kembali mengucapkan terima kasih."Anda tidak perlu merasa sungkan, sudah kewajiban saya menjaga dan melayani Anda selama berada di sini, Nyonya.""Shena ... tolong, panggil saya dengan nama saja." "Tuan Mahendra pasti tak akan suka bila saya memanggil Anda begitu," ujarnya menolak tanpa ragu."Bagaimana memanggil namaku saja saat dia tidak ada?" Shena berusaha bernegosiasi. Bibi itu tersenyum, lalu mengangguk iya."Baiklah, selama Anda tidak keberatan."Puding coklat kemudian diambilnya oleh bibi itu dari lemari pendingin lalu menyerahkannya pada Shena."Tidak keberatan saya tinggal beberes dulu?" "Hum, aku tidak akan menggang
"Shena, kau ada di mana?!"Pekikan nyaring di pagi hari seketika itu menyadarkan Shena dari tidur lelapnya. Setelah tadi malam dia terjaga selepas kepergian Mahendra, ia tidak bisa tidur lagi sampai waktu menunjukkan pukul empat pagi. Dan sekarang jam di nakas telah menunjukkan pukul tujuh dan tidak ada seorangpun yang membangunkan dirinya.Shena menyibak selimut, "Laura, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah menelepon?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling kamar. Barulah dia ingat kalau mulai tadi malam dirinya telah pindah ke apartemen bosnya. "Coba tebak siapa yang datang ke tempat kerja kita sekarang? Kau dimana, kenapa belum tiba juga?'Shena lupa kalau dia masih menjadi karyawan di hotel The Muneer. Surat pengunduran dirinya masih belum dia serahkan."A-Aku akan bersiap. Ngomong-ngomong, siapa yang datang?""Tante Hera, sekarang dia ada di lobi menunggu kau datang. Cepatlah, kau tak kasihan melihat ibumu menunggu lama di sini?" seru Laura lagi mengingatkan. "Aku tutup teleponnya."
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan