"A-Apa yang baru saja Anda lakukan?" Shena mendorong Mahendra menjauh. Wajah cantiknya tampak shock. Tidak mengerti mengapa laki-laki ini menciumnya.Jika bertanya pada Mahendra pun, pria itu tak akan tahu jawabannya. Karena tadi itu tindakan spontan dikarenakan melihat kecantikan yang mengagumkan terpapar dalam jarak pandangnya.Mahendra memundurkan tubuhnya. Kedua telinganya berubah merah lantaran malu karena sembarangan mencium wanita. Apalagi wanita itu seperti Shena. Polos dan naif seperti wanita baik-baik yang tidak pernah terlibat dengan para lelaki."Maaf. Tadi aku, tidak sengaja." ujarnya seraya memalingkan muka ke samping. Ia mengusap hidung mancungnya, ingin bersin tapi tidak jadi.Shena pun ikutan kikuk. Masih terasa bekas ciuman tadi di bibirnya yang kini sedikit lembab, dan kehangatan dari pria itu tampaknya belum pudar dari sana."Apa kita jadi masuk ke dalam atau tidak?" Ia bertanya mengingatkan. Untuk apa pria itu membawanya ke rumah sakit."Tentu. Meski kau telah men
Shena tinggal bersama dengan temannya di sebuah apartemen untuk sementara waktu. Di saat dia berpikir akan mencari kontrakan baru, tawaran tak terduga dari anak buah Mahendra datang padanya.Itu adalah hari liburnya, saat seorang wanita berusia 40-an mengetuk pintu dan datang khusus untuk bertemu dengannya."Saya disuruh oleh Presdir untuk menyampaikan beberapa pesan pada Anda, Ms. Shena. Saya harap saya tidak mengganggu waktu istirahat Anda.""Tidak, tidak. Anda sama sekali tidak mengganggu.Wanita yang diketahui bernama Hannah itu tersenyum. "Kalau begitu saya akan langsung saja. Anda dapat membaca surat-surat ini dulu sebelum mendengarkan penjelasan dari saya."Sebuah map berwarna kuning diserahkan kepada Shena untuk dia baca. Walau awalnya bingung, ia tetap melakukan perintah wanita itu. Ia membaca isi di dalam surat itu yang katanya pesanan dari Mahendra.Selama dia membacanya, raut wajahnya tampak berubah-ubah."Apa maksudnya ini?""Presdir telah mengetahui kondisi Anda, Ms. She
Shena di jemput oleh sopir di sore harinya selepas pemberitahuan dari Hannah."Kau yakin akan pergi?" Maria yang notabene teman Shena bertanya."Aku dengar kakakmu akan datang kemari, kan. Jadi aku memutuskan lebih baik pergi lebih awal sebelum kakakmu datang."Maria berjalan masuk ke dalam, lalu duduk di kursi menghadap Shena yang sedang membereskan pakaiannya. "Aku tidak keberatan kalau kau tinggal bersamaku lebih lama, Shena. Lagi pula kakakku hanya sebulan saja menumpang di sini. Setelah itu, aku tinggal sendirian lagi di apartemen besar ini. Itu akan membosankan seperti biasa."Shena menggelengkan kepalanya. Walau dia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk terus tinggal. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa ditutupi. Selama dia masih bersikeras ingin mempertahankan bayi yang dikandungnya, menerima tawaran dari Mahendra adalah satu-satunya cara terbaik yang dapat membantu menyelesaikan kegundahannya. Memikirkan pria itu, dia tidak
Shena adalah wanita pertama yang tidak ditolak oleh Mahendra untuk tetap tinggal di sisinya. Dan dia tidak keberatan akan fakta tersebut. Padahal jika itu orang lain, tak mungkin Mahendra melakukan semua itu."Mungkin karena dia sedang hamil anakku. Itu sebabnya aku jadi aneh begini." Mahendra meyakinkan dirinya sendiri seolah segala toleransi dan kebaikannya murni demi mempertahankan anak yang dikandung oleh Shena. Mengenai bagaimana perasaannya sendiri yang mulai terbiasa dengan keberadaan Shena, dia tidak terlalu memikirkannya.Sore hari berlalu begitu cepat. Saat Mahendra menyelesaikan sisa pekerjaannya di hari itu, Hedi masuk ke dalam ruangan demi mengingatkan dia tentang makan malam itu. "Anda akan menyetir sendiri?" Hedi bertanya untuk memastikan. "Ya, kau boleh pergi sekarang.""Presdir, Anda tidak boleh tidak hadir ke pertemuan itu. Bagaimana kalau saya mengantar Anda seperti biasa?""Kali ini aku akan pergi menemuinya," ujar Mahendra jengkel seraya menyipitkan matanya berb
Shena menyudahi makan malamnya. "Sudah selesai? Apa Anda mau puding sebagai makanan penutup?" tanya bibi pembantu yang ditugaskan Mahendra untuk menemani Shena selagi dia tidak ada.Nyatanya, Shena sudah kenyang. Tapi tawaran makan puding dari bibi di depannya, tanpa sadar ia meneguk ludah pertanda mau. Jadi dia mengangguk sebagai jawabannya dan secara lirih kembali mengucapkan terima kasih."Anda tidak perlu merasa sungkan, sudah kewajiban saya menjaga dan melayani Anda selama berada di sini, Nyonya.""Shena ... tolong, panggil saya dengan nama saja." "Tuan Mahendra pasti tak akan suka bila saya memanggil Anda begitu," ujarnya menolak tanpa ragu."Bagaimana memanggil namaku saja saat dia tidak ada?" Shena berusaha bernegosiasi. Bibi itu tersenyum, lalu mengangguk iya."Baiklah, selama Anda tidak keberatan."Puding coklat kemudian diambilnya oleh bibi itu dari lemari pendingin lalu menyerahkannya pada Shena."Tidak keberatan saya tinggal beberes dulu?" "Hum, aku tidak akan menggang
"Shena, kau ada di mana?!"Pekikan nyaring di pagi hari seketika itu menyadarkan Shena dari tidur lelapnya. Setelah tadi malam dia terjaga selepas kepergian Mahendra, ia tidak bisa tidur lagi sampai waktu menunjukkan pukul empat pagi. Dan sekarang jam di nakas telah menunjukkan pukul tujuh dan tidak ada seorangpun yang membangunkan dirinya.Shena menyibak selimut, "Laura, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah menelepon?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling kamar. Barulah dia ingat kalau mulai tadi malam dirinya telah pindah ke apartemen bosnya. "Coba tebak siapa yang datang ke tempat kerja kita sekarang? Kau dimana, kenapa belum tiba juga?'Shena lupa kalau dia masih menjadi karyawan di hotel The Muneer. Surat pengunduran dirinya masih belum dia serahkan."A-Aku akan bersiap. Ngomong-ngomong, siapa yang datang?""Tante Hera, sekarang dia ada di lobi menunggu kau datang. Cepatlah, kau tak kasihan melihat ibumu menunggu lama di sini?" seru Laura lagi mengingatkan. "Aku tutup teleponnya."
Apanya yang kenapa? pikir Shena tak habis pikir. Tentu saja karena begitulah seharusnya. Andai bukan karena insiden itu, mana mungkin dia menjadi seperti ini. Dia tak mungkin mengulang kesalahan yang sama. Tidak, saat dia masih sadar dengan apa yang dirinya perbuat."Saya hanya akan melakukan itu lagi dengan pria sah saya." cicit Shena dengan suara rendah.Hening melanda beberapa saat, sampai tawa keras kemudian terdengar dari Mahendra yang membuat wajah Shena memerah akibat malu luar biasa."Kenapa harus tertawa segala? Memangnya ada yang lucu dari perkataannya?" batin Shena merasa marah. Walau dalam hati ia merasa dongkol, tapi dipermukaan dia tidak menampakkannya. Ia mulai minum susunya dan mengabaikan suara tawa Mahendra yang cukup menjengkelkan."Setelah apa yang terjadi dengan kita?" tanya Mahendra dengan alis terangkat naik. Wajahnya yang biasa memiliki ekspresi dingin dan datar kini menunjukkan raut main-main yang langka."Malam itu kan murni karena ketidaksengajaan," "Jadi b
Rafael mendengar seseorang memanggil namanya. Saat dia melihat bahwa ibu Shena lah yang memanggil, ia langsung mendekat. "Tante Hera, apa kabar?" sapanya ramah. Ia melirik Shena, berharap wanita itu menyapanya tapi yang terjadi seperti yang telah dirinya duga. Shena mengabaikannya."Kabar tante baik. Bagaimana denganmu?""Saya juga baik, Tan." Rafael tidak berani duduk dikarenakan ada Shena di sana, mengawasinya."Apa kau sibuk?""Saya harus kembali bekerja," jawabnya jujur. Sejujurnya, pekerjaannya tidak terlalu mendesak, ia bisa tinggal di sana untu sementara waktu, tapi karena dia sadar diri kehadirannya tidak diharapkan, pergi adalah pilihan terbaik. "Maaf tidak bisa menemani Tante lama-lama.""Tante yang salah, Rafael. Kalau begitu kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Kapan-kapan kalau kau sedang libur, mampirlah ke rumah. Tampaknya sudah lama sekali tante melihatmu bermain di rumah."Shena menipiskan bibirnya, tidak senang akan tawaran sang ibu pada Rafael. Apabila itu dulu, dia s