Friska Indira, seorang artis terkenal ibu kota yang memulai karirnya menjadi model sebuah pakaian brand terkenal di Perancis.
Sejak debutnya didunia akting, namanya meledak di kancah industri perfilman dan berhasil menyabet penghargaan artis pendatang baru serta penghargaan-penghargaan lainnya setelah tiga tahun memulai debutnya. Tak hanya namanya menjadi terkenal, ia pun didapuk sebagai ambasador dari brand-brand terkenal Amerika serta Eropa.
Kehidupan pribadinya selalu menjadi pusat perhatian publik, dan karena itulah bahkan statusnya yang sebagai tunangan dari Mahendra tak luput dari sasaran media. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan kehidupan pribadi Friska yang hampir telanjang di mata publik, sang tunangannya sendiri yaitu Mahendra terkenal dengan kemisteriusannya. Tak banyak momen yang berhasil ditangkap oleh paparazi yang muncul di internet. Sebagian besar, wajah tampan Mahendra berubah blur hingga membuat sebagian besar penggemar Friska bertanya-tanya seperti apakah sosok pria yang berhasil menggaet dewi mereka.
Tak sampai hari ini, di mana keduanya sedang mengadakan konferensi pers demi memberitahu khalayak umum tentang pembubaran pertunangan kedua belah keluarga.
Setengah jam sebelum acara dimulai, di dalam kamar hotel, Friska yang baru selesai menangis terduduk di lantai yang dingin. Sang manajer beserta asistennya telah kehabisan akal serta cara untuk membujuk wanita itu agar bersikap lebih masuk akal.
"Kau saja yang masuk." Laura menyuruh Shena agar menggantikan dirinya masuk ke dalam kamar bernomor 6002.
Beberapa menit yang lalu saat mereka sedang makan di kafetaria, seorang manajer yang keduanya kenal datang bersama dengan Rafael. Shena yang mulanya ingin beranjak dari kursinya terpaksa duduk kembali begitu manajer Ardi turut datang bersama Rafael.
Ia pikir akan ada berita penting sampai-sampai sang manajer repot-repot segala datang sendiri hanya untuk mencari dirinya dan Laura. Tak tahunya, mereka diperintahkan agar melayani atau membantu seorang tamu penting yang datang ke hotel. Dan tamu penting itu tak lain merupakan artis yang seharian ini telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan para karyawan The Muneer Hotel.
"Aku tidak bisa melakukannya sendirian," tolak Shena yang entah mengapa tak mau masuk ke dalam.
"Dia menakutkan, Shena. Tak seperti yang selama ini aku kenal atau publik beritakan tentangnya." keluh Laura mengingat kejadian semenit lalu dimana dia baru saja dimaki habis-habisan oleh Friska. Hal itu membuat dia trauma sekaligus takut untuk masuk kembali ke dalam.
Tak berdaya, Shena pun setuju. Ia mengambil alih troli yang dibawa oleh Laura sedangkan dia menyuruh agar temannya itu berganti pakaian. Dari sekali pandang, ia tahu apa yang terjadi pada temannya tersebut.
"Terima kasih banyak. Aku berhutang padamu atas bantuan ini. Setelah pulang nanti, aku akan mentratirkmu makan ayam goreng." ucapnya berjanji lalu pergi dari lorong hotel yang tampak lengang, meninggalkan Shena sendirian menghadapi artis bertemperamen kasar itu.
Tok, tok, tok!
Sebelum masuk Shena tak lupa mengetuk pintu. Setelah dia mendengar kata masuk dari dalam, ia pun membawa troli yang berisi sebotol anggur kualitas terbaik dan baki berisi es batu dan gelas.
"Selamat Siang. Saya menerima pesanan dari manajer kami untuk membawa sebotol anggur ini pada Anda." Shena menyapa dengan ramah ketiga orang di dalam kamar disertai dengan senyuman cantik dari bibirnya yang terpoles lipstik berwarna pink.
Cheryl, sang manajer artis tersebut mempersilahkan Shena mendekat.
"Friska, jangan seperti ini. Di luar sudah banyak wartawan yang datang untuk meliput dirimu. Kalau kau sampai tak mau hadir, tuan akan memarahi kami habis-habisan." Asistennya mencoba membujuk sang artis yang masih duduk di lantai.
"Aku tidak peduli!" Friska melotot marah. Masih tidak terima dengan kenyataan bahwa ayahnya pun bersedia begitu saja dengan permintaan Mahendra untuk membatalkan pertunangan mereka.
Shena yang tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa berdiri di pinggir. Berharap keberadaannya tidak terlihat meski rasanya mustahil.
Friska berdiri dengan langkah terhuyung-huyung. Ia berjalan menuju ke tempat Shena berada. "Beri aku segelas anggur!"
Alis Shena bergerak samar, tidak terlalu suka dengan suara keras Friska. Tapi dia tetap melakukan tugasnya untuk melayani dengan sabar.
"Isi sampai penuh!"
"Kau tidak boleh banyak minum sekarang." Cheryl mencoba menghentikan Friska yang bertindak kekanak-kanakan. Dan Shena bingung dibuatnya apakah mengisi gelas itu setengah atau penuh.
"Aku bilang isi penuh gelasnya!" teriak Friska kembali emosi seraya menendang keras troli tersebut. Membuat troli itu bergoyang dan hampir saja jatuh ke samping apabila Shena tidak memegangnya dengan sigap.
Namun karena gerakannya yang tiba-tiba, anggur di dalam gelas tumpah sedikit membasahi tangannya.
"Apa kau sudah selesai membuat gaduh?"
Bukan hanya ketiga orang di dalam ruangan itu saja yang terkejut mendengar suara dalam itu, tapi Shena yang tadi menunduk tak dapat menghentikan dirinya untuk melihat asal sumber suara yang seperti tak asing baginya.
"Tuan Mahendra." sapaan itu terdengar dari Cheryl dan sang asisten. Sedangkan Friska yang melihat kedatangan Mahendra kemudian berjalan menuju pria itu berdiri, ingin melemparkan dirinya ke dalam pelukan sang tunangan tapi Mahendra menghindar dengan cepat.
Mahendra mengerutkan alisnya, pertanda tak suka dengan sikap Friska.
"Aku mendengar kau tidak mau turun, jadi aku datang untuk menjemputmu." katanya dingin tanpa intonasi. Pria itu masih belum menyadari keberadaan Shena yang berada di belakang asisten Friska.
"Sayang, bisakah kita batalkan saja acara ini?" Friska memeluk lengan Mahendra kuat seraya memohon. "Kau tahu kalau aku tidak setuju dengan pembatalan pertunangan kita."
"Friska, jangan main-main. Keluarga kita sudah sepakat atas putusan ini, dan aku pun setuju juga. Lebih baik bagi kita jika kita tidak melanjutkan hubungan yang rusak ini."
"Tapi aku tidak mau!" Friska menjerit, menyuarakan penolakannya, frustasinya.
Dengan dingin Mahendra menyentak tangan Friska yang bergelayut manja, "Kau pikir aku peduli?!"
"Seharusnya, saat kau memilih tidur dengan pria itu, kau sudah tahu konsekuensi yang akan kau hadapi dariku!"
"Itu karena kau juga tidak sekalipun menyayangi aku!" seru Friska kembali menangis, "Seandainya kau peduli sedikit saja padaku, sedikit saja memperhatikan aku. Aku tak akan mungkin melakukan itu padamu!"
"Kau tak pernah percaya padaku, Mahendra!" kata Friska seraya memandang pria yang menjadi tunangannya dengan raut sedih dan terluka.
Ia tak berharap bahwa rencananya untuk membuat tunangannya itu cemburu malah berbuah petaka padanya. Tidak saja dia kehilangan keperawanannya yang selama ini dijaga, ia juga kehilangan satu-satunya pria yang ia cinta. Ia menyesal, sangat menyesali tindakannya. Tapi Mahendra bahkan tidak mau mendengarkan setiap penjelasannya dan tetap menuduhnya sebagai wanita murahan.
Mahendra bergeming. Tidak merasakan emosi apa pun. Bukannya dia tidak tahu kebenarannya, hanya saja dia tak mau mengerti saja. Lagipula diantara mereka, bukan hanya Friska saja yang telah menodai hubungan ini, melainkan dia juga telah melakukan hal yang sama.
Saat dia mengingat satu malam bergairah yang dia habiskan dengan wanita itu, sepasang matanya kemudian terangkat dan sosok wanita yang baru saja dirinya lamunkan muncul dibidang penglihatannya.
Shena tanpa sadar melangkah mundur, merasa takut sekaligus gemetar tanpa sadar begitu dihadapkan dengan sepasang mata yang membara dari pria itu.
Tanpa mengalihkan tatapannya dari melihat Shena, Mahendra berkata, "Friska, apa kau ingin tahu kebusukan macam apa yang telah aku perbuat di belakangmu?"
Secara perlahan namun pasti, Mahendra berdiri menjulang di depan Shena yang tidak bisa mengalihkan tatapannya.
Friska dan dua orang lainnya yang ada di kamar itu tanpa sadar melihat punggung lebar Mahendra yang baru saja melewati mereka.
"A-Apa maksudmu?" Tersentak dengan tubuh menggigil, Friska bertanya takut.
Mahendra mengulurkan tangannya ke depan, "Saat aku tahu kau tidur dengan laki-laki lain, aku juga tidur dengan wanita asing untuk yang pertama kalinya." katanya mengejutkan keempat orang di dalam sana.
"Dan wanita itu ...."
Shena menggelengkan kepalanya ketakutan. Jangan, jangan katakan!
"A-Apa yang baru saja kau katakan?" Dengan bibir bergetar Friska bertanya kembali. Tidak yakin dengan apa yang baru saja dirinya dengarMahendra menatap lurus ke depan. Sepasang tangan yang tadi terulur meraih botol wine yang dipegang oleh Shena. "Aku katakan, aku juga tidur dengan wanita lain tepat saat kau berselingkuh dengan aktor cilik itu."Friska terperanjat, sedangkan Shena memiliki keringat dingin di punggungnya. Tanpa sadar ia menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam pria itu yang kini penuh selidik mengamatinya.Mahendra menuangkan sendiri minumannya di gelas kaca yang ada di troli, mengisinya separuh lalu menenggaknya di tempat sampai habis. Sebelum dia membalikkan badannya, ia melirik ke arah name-tag di dada Shena."Aku menunggumu di tempat pertemuan. Kau hadir atau tidak, tidak akan menghentikan pembatalan pertunangan ini!""Tunggu ... Mahendra tunggu. Kau harus jelaskan padaku maksud perkataanmu!" Friska terhuyung-huyung menyamai langkah panjang Mahendra tap
Lorong itu begitu sepi, tidak ada seorang pun yang tampak untuk diminta bantuan oleh Shena. Walau dia percaya Rafael tak akan berbuat hal buruk padanya, tapi tetap saja dia merasakan takut berduaan saja dengan pria ini."Dengarkan aku," Rafael mencengkram kedua bahu Shena kuat. Tatkala dia melihat wajah meringis sang wanita, barulah ia melonggarkan pegangannya. "Yang aku katakan padamu saat itu benar adanya, Shena. Aku sama sekali tidak mencampurkan obat apapun ke dalam minumanmu. Memang benar bahwa aku lah yang memberikan minuman itu padamu, tapi sungguh, aku tidak tahu sama sekali kalau ada obat di dalamnya."Shena terdiam, namun tatapannya awas memandang Rafael yang kini tampak kalut dan frustasi."Kau tahu aku selalu memercayaimu, Raf. Dan kau hanya perlu jujur tentang kau lah orangnya yang menjebakku malam itu." ucap Shena getir."Aku bersyukur karena menjadi orang yang kau percaya. Tapi tolong, untuk kali ini jangan ragukan aku. Bagaimana mungkin aku melakukan hal buruk seperti
Hedi menggelengkan kepalanya menolak. "Maafkan saya. Saya hanya mematuhi perintah Presdir saja."Tak punya pilihan, akhirnya Shena bersedia meski dengan terpaksa menemui Mahendra. Tepat ketika dia mengikuti langkah Hedi yang telah berjalan lebih dulu di depannya, Rafael menghentikannya kembali."Apa hubunganmu dengan Presdir kita, Shena?" tanya pria itu penasaran. Perasaan cemburu yang dirasakannya tak disembunyikannya oleh Rafael untuk dilihat oleh Shena."Apalagi memangnya selain atasan dan bawahan?" "Tetapi bagaimana bisa Presdir ingin bertemu denganmu? Pria super sibuk itu? Orang yang jarang sekali terlihat berinteraksi dengan bawahannya? Bagaimana mungkin meminta bertemu denganmu kalau bukan karena kalian saling mengenal?"Apa yang ditanyakan Rafael tidaklah salah. Dengan identitas yang dimiliki oleh Mahendra serta keterkenalannya akan sifat dingin dan acuh tak acuhnya, bagaimana bisa kenal dengan orang seperti dia?Jika bukan karena satu malam yang mereka habiskan bersama malam
Mahendra berdiri di sisi ranjang dalam postur diam. Tidak menginterupsi sang dokter wanita yang telah dihubungi untuk datang memeriksa keadaan Shena. Di atas tempat tidur, Shena yang tidak sadarkan diri diperiksa oleh dokter. Kejatuhannya tadi yang tiba-tiba mengejutkan pria itu dan sekaligus menimbulkan rasa khawatir yang belum pernah ada. Setelah beberapa menit dalam keadaan hening, dokter itu merapikan peralatan medis yang dibawa. Masih duduk di posisi yang sama, ia kemudian bertanya pada pria di samping yang membuat dia agak gugup sejak pertama kali bertemu. "Bolehkah saya bertanya apa Anda memiliki hubungan dengan wanita ini?" Pertanyaan yang diajukan cukup aneh. Kening pria itu berkerut dalam, bingung memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Sepertinya, jawaban yang dikeluarkan dapat menentukan suatu hal penting lain. "Saya kekasihnya," Dokter wanita itu tampak menghela napas lega. "Jadi begini, saya masih belum tahu apakah diagnosa saya ini akurat atau tidak.
Blam! Suara pintu mobil yang ditutup keras membuat Shena tersentak. Kedua tangannya bergetar hebat di atas lutut dikarenakan takut. Ia tak menyangka bahwa Mahendra akan bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan penolakannya. Saat dia berkata bahwa anak di dalam perutnya bukanlah miliknya, Mahendra tidak percaya. Dan alasan lain yang coba dirinya berikan akhirnya menyulut kemarahan laki-laki itu. Mahendra benar-benar membuktikan perkataannya langsung seketika itu juga pada Shena. Terbukti dengan pria itu yang menyeret Shena keluar dari hotel, lalu membawa wanita itu pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes apakah Shena benar hamil atau tidak. "Anda tidak bisa melakukan ini pada saya!" Walau Shena takut menghadapi pria yang marah di sampingnya, ia tetap memberanikan diri bicara. Ia tidak mau pergi ke rumah sakit. Ia tidak mau laki-laki ini tahu kebenarannya. Tanpa menolehkan kepalanya, Mahendra menyahut, "Bisa atau tidak, terserah padaku yang memutuskan!" "Presdir, bahkan jika ana
"A-Apa yang baru saja Anda lakukan?" Shena mendorong Mahendra menjauh. Wajah cantiknya tampak shock. Tidak mengerti mengapa laki-laki ini menciumnya.Jika bertanya pada Mahendra pun, pria itu tak akan tahu jawabannya. Karena tadi itu tindakan spontan dikarenakan melihat kecantikan yang mengagumkan terpapar dalam jarak pandangnya.Mahendra memundurkan tubuhnya. Kedua telinganya berubah merah lantaran malu karena sembarangan mencium wanita. Apalagi wanita itu seperti Shena. Polos dan naif seperti wanita baik-baik yang tidak pernah terlibat dengan para lelaki."Maaf. Tadi aku, tidak sengaja." ujarnya seraya memalingkan muka ke samping. Ia mengusap hidung mancungnya, ingin bersin tapi tidak jadi.Shena pun ikutan kikuk. Masih terasa bekas ciuman tadi di bibirnya yang kini sedikit lembab, dan kehangatan dari pria itu tampaknya belum pudar dari sana."Apa kita jadi masuk ke dalam atau tidak?" Ia bertanya mengingatkan. Untuk apa pria itu membawanya ke rumah sakit."Tentu. Meski kau telah men
Shena tinggal bersama dengan temannya di sebuah apartemen untuk sementara waktu. Di saat dia berpikir akan mencari kontrakan baru, tawaran tak terduga dari anak buah Mahendra datang padanya.Itu adalah hari liburnya, saat seorang wanita berusia 40-an mengetuk pintu dan datang khusus untuk bertemu dengannya."Saya disuruh oleh Presdir untuk menyampaikan beberapa pesan pada Anda, Ms. Shena. Saya harap saya tidak mengganggu waktu istirahat Anda.""Tidak, tidak. Anda sama sekali tidak mengganggu.Wanita yang diketahui bernama Hannah itu tersenyum. "Kalau begitu saya akan langsung saja. Anda dapat membaca surat-surat ini dulu sebelum mendengarkan penjelasan dari saya."Sebuah map berwarna kuning diserahkan kepada Shena untuk dia baca. Walau awalnya bingung, ia tetap melakukan perintah wanita itu. Ia membaca isi di dalam surat itu yang katanya pesanan dari Mahendra.Selama dia membacanya, raut wajahnya tampak berubah-ubah."Apa maksudnya ini?""Presdir telah mengetahui kondisi Anda, Ms. She
Shena di jemput oleh sopir di sore harinya selepas pemberitahuan dari Hannah."Kau yakin akan pergi?" Maria yang notabene teman Shena bertanya."Aku dengar kakakmu akan datang kemari, kan. Jadi aku memutuskan lebih baik pergi lebih awal sebelum kakakmu datang."Maria berjalan masuk ke dalam, lalu duduk di kursi menghadap Shena yang sedang membereskan pakaiannya. "Aku tidak keberatan kalau kau tinggal bersamaku lebih lama, Shena. Lagi pula kakakku hanya sebulan saja menumpang di sini. Setelah itu, aku tinggal sendirian lagi di apartemen besar ini. Itu akan membosankan seperti biasa."Shena menggelengkan kepalanya. Walau dia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk terus tinggal. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa ditutupi. Selama dia masih bersikeras ingin mempertahankan bayi yang dikandungnya, menerima tawaran dari Mahendra adalah satu-satunya cara terbaik yang dapat membantu menyelesaikan kegundahannya. Memikirkan pria itu, dia tidak
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan