Jam sudah menunjukkan waktu jam pulang kantor, tampak Jeno dan Arya keluar dari pintu lift dan langsung disambut oleh para karyawan yang masih berada di lantai dasar. "Selamat sore, Tuan," sapa mereka semua yang kebanyakan kaum hawa."Sore," jawab Arya, sementara Jeno hanya menanggapi mereka dengan anggukan dan senyuman tipis seraya berlalu dengan meninggalkan sejuta pesona bagi yang dilewatinya.Sudah berapa dekade? Senyum seorang Jeno menghiasi wajah tampannya yang selalu dingin, lantas saat ini seperti mentari yang memecah bola es yang tebal membuat banyak hati wanita berdebar kala melihatnya. "Hati-hati di jalan, Tuan!" seru mereka seraya tersipu malu dan senyum-senyum tak jelas.Namun, apapun respon mereka, Jeno seolah tak melihat dan tak peduli. Karena pada kenyataanya apa yang membuatnya terus tersenyum adalah karena hal yang baru ia dapatkan beberapa waktu ini, seolah memberinya hidup untuk yang kedua kalinya.Arya membukakan pintu mobil mempersilakan Jeno untuk masuk, sejak t
"Bu, apakah aku bisa batal ikut?" Jeno langsung melontarkan protes kala ia membuka pintu membuat Maryam sedikit terkejut."Apa yang kamu katakan? Ibu sudah berjanji akan membawamu malam ini. Kenapa ingin batal?" sungut sang Ibu sedikit kesal."Rasanya aneh jika aku ikut ke pertemuan ibu-ibu, Bu." Jeno menyugar rambutnya frustasi, enam tahun tinggal bersama ibunya setelah dua tahun berpisah karena pernikahannya dengan Rea dulu, sikap Maryam semakin menjadi.Enam tahun belakangan wanita paruh baya itu terus saja melibatkan dirinya di dalam segala urusan, jangankan hal penting sampai hal yang tidak penting seperti ini saja ia harus ikut, menyebalkan sekali bagi Jeno."Kata siapa cuma ibu-ibu yang datang? Sok tahu! Di sana ada para gadis dan ada Arya juga," sahut Maryam. "Mungkin saja nanti kamu bisa bersenang-senang dengan gadis-gadis putri teman ibu," lanjutnya berkata.Jeno membuang napas kasar, dia tidak butuh bersenang-senang dengan gadis. Namun, yang terpenting di sana ada Arya, tap
Jeno terus berjalan cepat mengikuti tiga orang di depan, sementara Maryam juga mengejar Jeno yang ia tidak mengerti kenapa putranya begitu panik. Jeno hanya ingin memastikan kalau wanita yang ia lihat adalah Rea dan anak kecil itu adalah putranya.Tampak Rea, Arfan dan Rayan sampai di area parkir restoran, mereka berjalan menuju mobil. Begitupun dengan Jeno yang sampai juga di sana, pria itu berhenti untuk memperhatikan dari kejauhan. Namun, Maryam datang dengan napas terengah-enggah. "Jeno, ada apa denganmu, hah?!"Suara yang cukup keras membuat Jeno terkejut, pria itu menoleh pada ibunya dengan wajah memucat. Tentu saja apa yang dia takutkan terjadi, Rea yang hendak masuk mobil pun menoleh kala mendengar seseorang memanggil nama pria yang begitu akrab di telinganya.Jeno menoleh ke arah Rea, begitupun wanita itu disusul Arfan dan juga Rayan. Pasang mata mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah 6 Tahun perpisahan. Kedua kaki Rea seolah terasa tak bertulang, bertemu Jeno membuatny
Sepasang netra itu terasa panas, memerah dan mengeluarkan air mata bak darah. Sesak terasa dadanya, seiring kelebatan bayangan menyakitkan barusan. Pria itu menyebut dirinya Ayah, lantas mengambil alih anak kecil itu dari gendongannya dan dia tidak bisa mencegah karena merasa tidak punya hak.Apakah benar Rayan putra dari Arfan? Apakah Rea dan Arfan sudah menikah? Jeno gila dibuatnya, pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatinya sakit seolah mengucurkan darah yang tak tertahankan."Aaaaaarrgh!" Pria itu berteriak, memukul setir dan mencengkramnya kuat-kuat, air matanya berderai, karena memang sesakit itu perasaannya saat ini.Tidak ada yang mampu membuat seseorang merasakan perih, selain pupusnya sebuah harapan. Kendaraan mewah milik Jeno melesat bak kekuatan angin, entah ke mana diri akan membawa hati yang terluka. Suara decit ban yang bergesekan dengan aspal terdengar tajam, ternyata bar lah yang jadi tujuan.Jeno membuka pintu dan keluar dari mobil, ia membantingnya lantas berjalan
Wanita malam itu benar-benar kaget dengan kedatangan Arya yang tiba-tiba dan menggagalkan rencananya. "Anda siapa? Kenapa tidak sopan sekali!" bentak wanita itu.Namun, Arya tidak menjawabnya, pria itu meraih lengan sang wanita dan menariknya menjauh dari tubuh bosnya. "Menyingkirlah!" ucapnya dingin.Wanita itu menjerit kala tubuh setengah telanjangnya terhempas ke lantai, menimbulkan rasa nyeri di pinggul dan rasa malu yang tak tertahankan. Arya dengan sigap mengancingkan semua kancing kemeja Jeno, lantas meraih lengan bosnya dan membawanya keluar meninggalkan sang wanita di kamar sendirian."Hey!" teriak si wanita sangat kesal, tapi Arya terus berjalan pergi membawa Jeno yang tak sadarkan diri meninggalkan club. "Ck, sial!" decak wanita itu benar-benar kesal, kini ia tidak tahu bagaimana cara mengembalikan uang yang sudah ia terima dari seseorang yang telah menyuruhnya untuk pekerjaan ini.***"Sial!" Seorang pria memadamkan sebatang rokok ke dalam asbak kristal di atas meja dengan
Sinar mentari begitu gagahnya menerobos cela-cela jendela yang tak tertutup gorden, menyoroti sesosok wajah tampan yang sedang terlelap. Jeno mengangkat satu tangan untuk menutupi wajahnyanya yang terkena silau lantas membuka matanya perlahan.Pria itu tertegun kala melihat seseorang kini berada di dalam kamarnya, iya dia ingat ini kamarnya. Wanita itu tersenyum memandangnya, ternyata dialah yang membukakan gorden jendela hingga sinar mentari masuk ke dalam ruangan."Re-rea!" panggilnya dengan suara parau, pria itu terduduk lantas mengusap kedua matanya yang masih terasa kantuk.Namun, wanita di hadapannya masih terasa nyata, dia justru tersenyum lebih manis kepadanya. "Selamat pagi, Suamiku. Mandilah, aku sudah buatkan sarapan kesukaanmu. Ray juga sudah menunggu di bawah," ucap sang Wanita."Apakah ini mimpi?" batin Jeno, tapi semua yang terlihat seperti nyata.Jeno memperhatikan wanitanya dari ujung kepala sampai ujung kaki, istrinya menggunakan dress selutut warna pink yang terliha
Di sebuah ruangan kerja seorang dokter, ini jam makan siang. Namun, Arfan belum juga keluar dari ruangannya. Pria itu merogoh saku jas warna putihnya dan mengambil sesuatu di dalamnya.Terlihat kotak kristal di tangannya, pria itu membuka kotak tersebut yang ternyata terdapat sebuah cincin berlian yang sangat indah. Sudah sangat lama ia mempersiapkan cincin itu untuk melamar Rea, tapi pada kenyataannya belum juga ia lakukan.Sejujurnya malam itu ia akan melamar wanita tersebut, tapi entah kenapa hatinya masih ragu. Hingga pada akhirnya rencana tinggallah rencana, sampai pada kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi.Arfan sedikitnya menyesali atas semua yang terjadi malam itu, andai ia tidak membawa Rea ke restoran tersebut mungkin pertemuan antara Rea dan Jeno tidak akan terjadi. Pertemuan yang mungkin saja sedikitnya mempengaruhi perasaan Rea, jujur Arfan takut Rea akan kembali pada pria itu, sungguh ia sangat tidak rela.Arfan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlaha
Di sepanjang perjalanan Rea hanya terus melamun, ada banyak beban pikiran yang ada di kepalanya. Terlebih soal kedekatan Ray dan Jeno, membuat Rea benar-benar khawatir."Nona, sudah sampai," kata Supir taksi, pria paruh baya itu melirik kaca spion di atas kepalanya untuk melihat penumpang di belakang yang tidak kunjung memberikan bayaran ataupun keluar dari taksi.Supir pun mengerutkan kening kala Rea masih saja berdiam diri. "Nona, Anda sudah sampai di tempat tujuan," kata Supir lagi, tentu dengan nada bicara yang tetap ramah.Kali ini sepertinya Rea terasadar, wanita itu segera mengangguk dan mengambil uang dari dompetnya. "Maaf, Pak. Ini," katanya seraya memberikan uang pas.Sang Supir pun menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Nona," sahutnya seraya tersenyum.Rea juga hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kecil lantas membuka pintu dan keluar dari taksi, mobil pun melaju pergi sementara Rea berjalan memasuki gerbang rumah.***Sore hari yang cerah, senja hari ini ru
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama