Di sepanjang perjalanan Rea hanya terus melamun, ada banyak beban pikiran yang ada di kepalanya. Terlebih soal kedekatan Ray dan Jeno, membuat Rea benar-benar khawatir."Nona, sudah sampai," kata Supir taksi, pria paruh baya itu melirik kaca spion di atas kepalanya untuk melihat penumpang di belakang yang tidak kunjung memberikan bayaran ataupun keluar dari taksi.Supir pun mengerutkan kening kala Rea masih saja berdiam diri. "Nona, Anda sudah sampai di tempat tujuan," kata Supir lagi, tentu dengan nada bicara yang tetap ramah.Kali ini sepertinya Rea terasadar, wanita itu segera mengangguk dan mengambil uang dari dompetnya. "Maaf, Pak. Ini," katanya seraya memberikan uang pas.Sang Supir pun menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Nona," sahutnya seraya tersenyum.Rea juga hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kecil lantas membuka pintu dan keluar dari taksi, mobil pun melaju pergi sementara Rea berjalan memasuki gerbang rumah.***Sore hari yang cerah, senja hari ini ru
"Arya, co-coba kamu jelaskan!" pinta Jeno dengan kalimat sedikit terbata saking kesalnya pada diri sendiri, karena kenapa pikirannya tidak sampai pada apa yang dipikirkan Arya?"Coba Anda pikirkan, saat nona Rea pergi dari Indonesia kala itu 6 Tahun yang lalu. Sementara usia tuan Ray sekarang 5 Tahun memasuki usia 6 Tahun, dan masa mengandung normalnya 9 bulan 10 hari, bisa lebih cepat atau lebih lama. Hanya ada waktu 2 bulan 20 hari jika memang saat nona Rea langsung menikah setelah meninggalkan Anda.Namun, dalam kondisi nona Rea yang sedang sakit, mungkinkah mereka melangsungkan pernikahan kala itu dan melakukan hubungan intim?Dia adalah seorang dokter pasti tahu hal itu tidak bisa dilakukan, setidaknya butuh beberapa bulan untuk pemulihan selepas melakukan operasi besar dan waktu 2 bulan 20 hari tidak akan cukup," jelas Arya, entah Jeno paham atau tidak, pria itu hanya mencoba menjelaskan meski ia tidak yakin kalau Jeno saat ini paham, terlihat dari wajahnya saja sudah tidak meny
"Apa hubungannya denganmu, hal itu tidak harus dilakukan karena aku tidak perlu membuktikan apapun kepadamu!" Rea menunjuk Jeno penuh emosional, hal itu terlihat oleh Jeno untuk menutupi kegugupan yang wanita itu rasakan.Jeno tersenyum miring merasa semakin yakin kalau Rayan adalah putra kandungnya. "Kenapa? Apa kamu takut kalau apa yang aku katakan itu terbukti? Berarti benar, Ray adalah putraku?" desak Jeno."Tidak! Dia bukan--""Baiklah, aku dan Rea setuju. Kamu boleh melakukan tes DNA terhadap Ray," sela Arfan seraya melangkah mendekat kepada Rea.Rea langsung menoleh kepada Arfan yang kini berdiri di sampingnya dengan rasa terkejut, bagaimana bisa Arfan setuju? Semuanya akan terbongkar dan Rea takut Jeno akan merebut Rayan darinya."Arfan! Apa yang kamu katakan?! Aku tidak setuju!" sergah Rea tak terima.Karena Rea terdengar terus-terusan berteriak, Rayan pun akhirnya penasaran dan mengintip di balik dinding. Anak kecil itu melihat Jeno, dia senang melihat pria itu ada di sana.
Jam makan siang pun tiba, setelah selesai memasak Rea pun berjalan menaiki tangga menuju kamar putranya. Setelah kejadian tadi pagi ia sampai melupakan Rayan yang pasti kesepian bermain sendirian karena dirinya sibuk mengurung diri di kamar.Setelah ia sampai di depan pintu kamar sang Putra, segera ia menekan handle pintu dan mendorongnya. "Wah, keren, bagus sekali mobil-mobilannya!" Terdengar suara Rayan yang sepertinya sedang berbicara sendiri.Rea membuka pintu lebih lebar lantas terkejut saat melihat putranya memainkan mobil-mobilan yang tadi pagi Jeno bawa untuk anak kecil itu. Seketika Rea jadi tidak suka dan melangkah mendekat. "Ray!" panggilnya, lantas merebut remote control yang dipegang Rayan.Wanita itu lantas mematikan koneksi remote ke mainan, lalu menatap Rayan dengan kesal. Rayan juga terlihat terkejut, dia takut Rea marah padanya. "Apa ini, Ray?" tanyanya menahan kesal.Sepasang mata kelinci itu terlihat sedih dan takut. "Maaf, Ibu. Ray hanya bosan sendirian," jawabnya
Pagi-pagi Jeno menyempatkan diri mampir ke kediaman Arfan, meski kemarin ia sempat ditolak. Perasaan Jeno untuk Rayan begitu kuat, dia mengkhawatirkan anak itu entah kenapa.Seorang penjaga melihat kedatangan mobil Jeno, buru-buru ia berlari ke arah pintu gerbang dan mendekat ke mobil Jeno. "Selamat pagi, Tuan," sapa pria berseragam itu.Jeno yang akan turun pun urung karena sang Penjaga sudah menghampirinya lebih dulu. "Pagi, ada apa, Pak?" tanya Jeno."Apakah Anda akan menemui Tuan Ray?" tanya Penjaga itu."Ya, apakah Ray sudah berangkat sekolah?""Tidak, Tuan Ray semalam dilarikan ke rumah sakit tempat Tuan Arfan bekerja," kata Penjaga."Apa? Apa yang terjadi pada Ray?""Tuan Ray demem tinggi lagi," jawabnya lantas tanpa tunggu banyak waktu Jeno segera menyalakan mesin mobil lagi.Jeno menoleh sejenak pada Penjaga. "Terima kasih, Pak," katanya setelah itu sang Penjaga mengangguk dan mobil Jeno pun kembali melaju.***Jeno sampai di rumah sakit tempat Arfan bekerja, pria itu berjala
Jeno segera menerima panggilan dari sang Ibu. "Ya, Bu?" sapanya."Nak, kamu di mana? Kata Arya kamu belum juga sampai kantor? Kamu di mana sebenarnya?" tanya Maryam beruntun."Iya, aku lupa memberi kabar pada Arya kalau aku hari ini tidak ke kantor. Aku sedang ada di rumah sakit," jawab Jeno, pria itu lantas mengangguk kecil saat pelayan datang menata makanan di atas meja.Mendengar hal itu Maryam merasa kaget. "Di rumah sakit? Siapa yang sakit, Jen?" "Ray, Bu."Maryam sedikit bingung, dia berpikir apakah Rayan? "Ray ....""Iya, Bu. Ray putraku sakit, sekarang dia ada di rumah sakit kota," sela Jeno seraya tersenyum, dirinya memang sudah sangat yakin kalau Rayan benar-benar putranya sehingga ia berkata demikian."Nak, apakah kamu yakin kalau Ray putramu?" tanya Maryam memastikan, dia hanya takut kalau Jeno hanya berharap, dan harapan itu hanya bisa membuat luka saja.Jeno tersenyum. "Iya, aku sangat yakin. Tadi pagi aku sudah melakukan test DNA, hasilnya akan keluar seminggu atau dua
Sesampainya di rumah Jeno dan ibunya keluar dari mobil lantas berjalan memasuki rumah. Jeno yang hendak menaiki anak tangga pun ditahan oleh sang Ibu. "Apakah kamu tahu sekarang Aruna ada di mana?" Jeno berhenti ketika Maryam tiba-tiba menanyakan soal wanita jalang itu. "Aku tidak tahu," jawabnya singkat tanpa menoleh sedikit pun, lantas melanjutkan langkahnya."Ibu beberapa kali mendapatkan pesan aneh dari orang yang tidak tahu siapa." Perkataan Maryam lagi-lagi membuat Jeno berhenti berjalan, pria itu kali ini berbalik badan.Jeno menatap sang Ibu. "Pesan seperti apa itu?" tanyanya seraya menyipitkan kelopak mata."Semacam ancaman, dia ingin membalas dendam padamu. Apa yang kamu lakukan padanya, Nak?" tanya Maryam dengan nada cemas."Aku tidak melakukan apa-apa pada wanita itu. Ibu tidak perlu khawatir." Setelah berbicara demikian Jeno kembali berbalik badan dan melanjutkan langkah."Tapi, Nak!" Sejujurnya Maryam masih penasaran akan menghilangnya Aruna, dia curiga putranya menyemb
Setelah mendapatkan pesan itu seperti biasa Maryam segera menghubungi nomor tak dikenal itu. Beberapa kali ia mencoba, tapi sambungan tetap tidak terhubung sama sekali.Maryam tampak bingung, wanita paruh baya itu merasa semakin cemas dengan keadaan Jeno. Kali ini ia ingin menunjukkan pesan ini pada putranya agar lebih berhati-hati. Segera ia bangkit dari duduk dan berjalan cepat keluar dari kamar."Jeno harus tahu semua ini, dia harus berhati-hati. Aku memang tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini, tapi kenapa feeling-ku mengatakan kalau ini adalah wanita itu. Menghilangnya Aruna selama bertahun-tahun aku pikir dia sudah tidak akan lagi mengganggu putraku, tapi aku salah," kata Maryam bermonolog seraya terus berjalan menuju pintu kamar Jeno.Sesampainya di sana Maryam segera mengetuk pintu beberapa kali, hingga Jeno yang memang belum tidur pun segera membukakan pintu. "Ibu," sapanya saat ia mendapati ibunya malam-malam begini malah berada di depan kamarnya. "Ada apa Ibu ada di sini
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama