Jeno segera menerima panggilan dari sang Ibu. "Ya, Bu?" sapanya."Nak, kamu di mana? Kata Arya kamu belum juga sampai kantor? Kamu di mana sebenarnya?" tanya Maryam beruntun."Iya, aku lupa memberi kabar pada Arya kalau aku hari ini tidak ke kantor. Aku sedang ada di rumah sakit," jawab Jeno, pria itu lantas mengangguk kecil saat pelayan datang menata makanan di atas meja.Mendengar hal itu Maryam merasa kaget. "Di rumah sakit? Siapa yang sakit, Jen?" "Ray, Bu."Maryam sedikit bingung, dia berpikir apakah Rayan? "Ray ....""Iya, Bu. Ray putraku sakit, sekarang dia ada di rumah sakit kota," sela Jeno seraya tersenyum, dirinya memang sudah sangat yakin kalau Rayan benar-benar putranya sehingga ia berkata demikian."Nak, apakah kamu yakin kalau Ray putramu?" tanya Maryam memastikan, dia hanya takut kalau Jeno hanya berharap, dan harapan itu hanya bisa membuat luka saja.Jeno tersenyum. "Iya, aku sangat yakin. Tadi pagi aku sudah melakukan test DNA, hasilnya akan keluar seminggu atau dua
Sesampainya di rumah Jeno dan ibunya keluar dari mobil lantas berjalan memasuki rumah. Jeno yang hendak menaiki anak tangga pun ditahan oleh sang Ibu. "Apakah kamu tahu sekarang Aruna ada di mana?" Jeno berhenti ketika Maryam tiba-tiba menanyakan soal wanita jalang itu. "Aku tidak tahu," jawabnya singkat tanpa menoleh sedikit pun, lantas melanjutkan langkahnya."Ibu beberapa kali mendapatkan pesan aneh dari orang yang tidak tahu siapa." Perkataan Maryam lagi-lagi membuat Jeno berhenti berjalan, pria itu kali ini berbalik badan.Jeno menatap sang Ibu. "Pesan seperti apa itu?" tanyanya seraya menyipitkan kelopak mata."Semacam ancaman, dia ingin membalas dendam padamu. Apa yang kamu lakukan padanya, Nak?" tanya Maryam dengan nada cemas."Aku tidak melakukan apa-apa pada wanita itu. Ibu tidak perlu khawatir." Setelah berbicara demikian Jeno kembali berbalik badan dan melanjutkan langkah."Tapi, Nak!" Sejujurnya Maryam masih penasaran akan menghilangnya Aruna, dia curiga putranya menyemb
Setelah mendapatkan pesan itu seperti biasa Maryam segera menghubungi nomor tak dikenal itu. Beberapa kali ia mencoba, tapi sambungan tetap tidak terhubung sama sekali.Maryam tampak bingung, wanita paruh baya itu merasa semakin cemas dengan keadaan Jeno. Kali ini ia ingin menunjukkan pesan ini pada putranya agar lebih berhati-hati. Segera ia bangkit dari duduk dan berjalan cepat keluar dari kamar."Jeno harus tahu semua ini, dia harus berhati-hati. Aku memang tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini, tapi kenapa feeling-ku mengatakan kalau ini adalah wanita itu. Menghilangnya Aruna selama bertahun-tahun aku pikir dia sudah tidak akan lagi mengganggu putraku, tapi aku salah," kata Maryam bermonolog seraya terus berjalan menuju pintu kamar Jeno.Sesampainya di sana Maryam segera mengetuk pintu beberapa kali, hingga Jeno yang memang belum tidur pun segera membukakan pintu. "Ibu," sapanya saat ia mendapati ibunya malam-malam begini malah berada di depan kamarnya. "Ada apa Ibu ada di sini
"Mmm, ya aku di sini, aku kemarin sudah janji kan pada Ray kalau hari ini akan kembali. Jadi, apakah benar siang ini Ray sudah boleh pulang?" tanya Jeno seraya berjalan mendekat, nada bicara pria itu dibuat santai, seolah mereka kini telah menjadi teman. Padahal siapa yang tahu jantung keduanya masih berdegup kuat kala bertatapan mata seperti ini.Rea tampak memutar bola mata malas mendengar jawaban dari pria di hadapannya ini. "Ya maksudnya tidak sepagi ini juga, Tuan Jeno Bramantio ...."Mendengar Rea menyebutnya demikian membuat Jeno jadi tertawa kecil, percakapan ini bagi dia seperti percakapan saat mereka baru pertama kali bertemu di sekolah dasar dulu. Namun, bedanya kali ini Rea yang jutek, bukan dirinya lagi."Haha, iya maafkan aku, aku sangat rindu Ray. Makanya pagi-pagi sudah berangkat dari rumah, dari sini nanti langsung ke kantor." Tanpa ditanya Jeno memberi laporan, membuat Rea tersenyum kecut 'memangnya siapa yang tanya?'.Melihat Rea merespon ucapannya hanya dengan seny
Mendengar pertanyaan Arfan yang tiba-tiba membuat Jeno sedikit terkejut lantas mengangkat wajah menatap pria di hadapannya juga. Pria itu tertawa kecil, karena tidak pernah ia pungkiri kalau hal itu memang benar."Apa maksud Anda? Aku tidak mungkin--""Ya, sebaiknya jangan berharap lagi. Aku tekankan kepada Anda." Arfan menyela ucapan Jeno, seolah tidak memberi kesempatan untuk pria itu mengatakan ketidak benaran hubungan dirinya dengan Rea yang sebenarnya.Jeno kembali tersenyum seraya mengangguk, pria itu tampak tenang dan santai menanggapi Arfan yang sepertinya sedang terbakar api cemburu. "Oke, baiklah. Namun, jika aku mengetahui sesuatu yang memberiku kesempatan, jangan salahkan aku jika Rea akan kembali ke dalam pelukanku lagi."Mendengar hal itu Arfan mencoba menahan diri, mengepalkan tinjunya di atas meja. Dia harus bisa mengendalikan diri karena ini di tempat yang tidak sesuai untuk baku hantam. Meski hatinya kini sedang terbakar api, dia harus bisa mengendalikan.Pelayan dat
Waktu yang ditunggu-tunggu oleh Jeno pun akhirnya tiba, kini dia telah berada di rumah sakit untuk mengambil hasil test DNA dirinya dengan Rayan. Dia juga telah mengundang Rea, Arfan dan sang Ibu untuk ikut serta, meski sebagian dari mereka sudah tahu apa hasilnya. Tetap saja, Jeno ingin mengumpulkan mereka semua untuk satu tujuan."Silakan, ini hasil DNA Anda, Tuan." Seorang dokter memberikan amplop putih pada Jeno, pria itu segera menerimanya dengan senyum bahagia karena ia sudah yakin akan hasilnya.Rea dan Arfan hanya terdiam, tentu saja karena hal ini pasti akan menimbulkan masalah baru ke depannya. Namun, meski begitu apa yang harus terjadi, terjadilah.Jeno tidak menunggu lama lagi, segera ia membuka amplop dan mengambil selembar kertas dari dalamnya. Pria itu membaca isi dari pernyataan yang ada, bahwa Rayan Lee memang positif benar-benar darah daging dari Jeno Bramantio.Hal itu yang membuat senyum di wajah pria itu semakin mengembang. Selesai membaca, pria itu lalu menatap R
Sebuah pesawat mendarat sempurna pada lapangan terbang sebuah bandara, tak lama pintu pesawat bergerak terbuka dan para penumpang pun satu per satu keluar.Jeno dan Arya terlihat menuruni tangga pesawat disusul Arfan dan Rea yang menggendong Rayan. Arya tampak berjalan di depan memandu mereka semua menuju dalam bandara. "Itu mereka, Tuan," tunjuk Arya pada beberapa orang yang tampak menunggu mereka."Silakan ikut kami, Tuan," kata salah satu pria bersetelan serba hitam dengan penampilan rapi itu.Mereka semua mengikuti langkah pria itu menuju luar bandara dan yang lain mengurus hal lain, terdapat dua mobil mewah warna hitam lengkap dengan supir di dalamnya. Masing-masing supir membukakan pintu dan mempersilakan mereka untuk masuk.Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama Rea dan Arfan karena anak itu sedang tidur. Mobil mereka melaju meninggalkan halaman bandara setelah semua barang yang dibawakan pengawal mereka sudah dimuat rapi ke dalam mobil.Di sepanjang perjalanan Jeno terus berpi
Saat mereka semua keluar dari hotel, berjalan ke arah timur untuk menuju area pantai. Sudah terasa angin sepoy menerpa tubuh mereka dari arah laut, hanya ada beberapa meja bundar yang telah ditempati pengunjung lain.Lalu mereka juga menuju meja bundar lainnya yang memang khusus disediakan untuk mereka. Ini adalah area pantai private, hanya orang tertentu saja yang mendapatkan pelayanan demikian.Karena untuk tamu biasa mereka berada di area pantai bagian lain dan itu cukup ramai. Namun, mereka kini bisa duduk nyaman, menikmati debur ombak, pasir putih dan matahari terbenam dengan tenang.Rea tersenyum saat matahari perlahan turun, semburat jingga di langit membuatnya sangat bahagia. Diam-diam Jeno menoleh pada wanita itu dan tersenyum memperhatikannya. Sungguh, ia sangat merindukan senyum itu, senyum yang tidak pernah berubah sejak dulu.Namun, senyum yang biasanya untuk dia, kini sudah tidak lagi untuknya, melainkan untuk pria lain. Jeno melirik pada Arfan yang kini terseyum bersama