Setelah mendapatkan pesan itu seperti biasa Maryam segera menghubungi nomor tak dikenal itu. Beberapa kali ia mencoba, tapi sambungan tetap tidak terhubung sama sekali.Maryam tampak bingung, wanita paruh baya itu merasa semakin cemas dengan keadaan Jeno. Kali ini ia ingin menunjukkan pesan ini pada putranya agar lebih berhati-hati. Segera ia bangkit dari duduk dan berjalan cepat keluar dari kamar."Jeno harus tahu semua ini, dia harus berhati-hati. Aku memang tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini, tapi kenapa feeling-ku mengatakan kalau ini adalah wanita itu. Menghilangnya Aruna selama bertahun-tahun aku pikir dia sudah tidak akan lagi mengganggu putraku, tapi aku salah," kata Maryam bermonolog seraya terus berjalan menuju pintu kamar Jeno.Sesampainya di sana Maryam segera mengetuk pintu beberapa kali, hingga Jeno yang memang belum tidur pun segera membukakan pintu. "Ibu," sapanya saat ia mendapati ibunya malam-malam begini malah berada di depan kamarnya. "Ada apa Ibu ada di sini
"Mmm, ya aku di sini, aku kemarin sudah janji kan pada Ray kalau hari ini akan kembali. Jadi, apakah benar siang ini Ray sudah boleh pulang?" tanya Jeno seraya berjalan mendekat, nada bicara pria itu dibuat santai, seolah mereka kini telah menjadi teman. Padahal siapa yang tahu jantung keduanya masih berdegup kuat kala bertatapan mata seperti ini.Rea tampak memutar bola mata malas mendengar jawaban dari pria di hadapannya ini. "Ya maksudnya tidak sepagi ini juga, Tuan Jeno Bramantio ...."Mendengar Rea menyebutnya demikian membuat Jeno jadi tertawa kecil, percakapan ini bagi dia seperti percakapan saat mereka baru pertama kali bertemu di sekolah dasar dulu. Namun, bedanya kali ini Rea yang jutek, bukan dirinya lagi."Haha, iya maafkan aku, aku sangat rindu Ray. Makanya pagi-pagi sudah berangkat dari rumah, dari sini nanti langsung ke kantor." Tanpa ditanya Jeno memberi laporan, membuat Rea tersenyum kecut 'memangnya siapa yang tanya?'.Melihat Rea merespon ucapannya hanya dengan seny
Mendengar pertanyaan Arfan yang tiba-tiba membuat Jeno sedikit terkejut lantas mengangkat wajah menatap pria di hadapannya juga. Pria itu tertawa kecil, karena tidak pernah ia pungkiri kalau hal itu memang benar."Apa maksud Anda? Aku tidak mungkin--""Ya, sebaiknya jangan berharap lagi. Aku tekankan kepada Anda." Arfan menyela ucapan Jeno, seolah tidak memberi kesempatan untuk pria itu mengatakan ketidak benaran hubungan dirinya dengan Rea yang sebenarnya.Jeno kembali tersenyum seraya mengangguk, pria itu tampak tenang dan santai menanggapi Arfan yang sepertinya sedang terbakar api cemburu. "Oke, baiklah. Namun, jika aku mengetahui sesuatu yang memberiku kesempatan, jangan salahkan aku jika Rea akan kembali ke dalam pelukanku lagi."Mendengar hal itu Arfan mencoba menahan diri, mengepalkan tinjunya di atas meja. Dia harus bisa mengendalikan diri karena ini di tempat yang tidak sesuai untuk baku hantam. Meski hatinya kini sedang terbakar api, dia harus bisa mengendalikan.Pelayan dat
Waktu yang ditunggu-tunggu oleh Jeno pun akhirnya tiba, kini dia telah berada di rumah sakit untuk mengambil hasil test DNA dirinya dengan Rayan. Dia juga telah mengundang Rea, Arfan dan sang Ibu untuk ikut serta, meski sebagian dari mereka sudah tahu apa hasilnya. Tetap saja, Jeno ingin mengumpulkan mereka semua untuk satu tujuan."Silakan, ini hasil DNA Anda, Tuan." Seorang dokter memberikan amplop putih pada Jeno, pria itu segera menerimanya dengan senyum bahagia karena ia sudah yakin akan hasilnya.Rea dan Arfan hanya terdiam, tentu saja karena hal ini pasti akan menimbulkan masalah baru ke depannya. Namun, meski begitu apa yang harus terjadi, terjadilah.Jeno tidak menunggu lama lagi, segera ia membuka amplop dan mengambil selembar kertas dari dalamnya. Pria itu membaca isi dari pernyataan yang ada, bahwa Rayan Lee memang positif benar-benar darah daging dari Jeno Bramantio.Hal itu yang membuat senyum di wajah pria itu semakin mengembang. Selesai membaca, pria itu lalu menatap R
Sebuah pesawat mendarat sempurna pada lapangan terbang sebuah bandara, tak lama pintu pesawat bergerak terbuka dan para penumpang pun satu per satu keluar.Jeno dan Arya terlihat menuruni tangga pesawat disusul Arfan dan Rea yang menggendong Rayan. Arya tampak berjalan di depan memandu mereka semua menuju dalam bandara. "Itu mereka, Tuan," tunjuk Arya pada beberapa orang yang tampak menunggu mereka."Silakan ikut kami, Tuan," kata salah satu pria bersetelan serba hitam dengan penampilan rapi itu.Mereka semua mengikuti langkah pria itu menuju luar bandara dan yang lain mengurus hal lain, terdapat dua mobil mewah warna hitam lengkap dengan supir di dalamnya. Masing-masing supir membukakan pintu dan mempersilakan mereka untuk masuk.Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama Rea dan Arfan karena anak itu sedang tidur. Mobil mereka melaju meninggalkan halaman bandara setelah semua barang yang dibawakan pengawal mereka sudah dimuat rapi ke dalam mobil.Di sepanjang perjalanan Jeno terus berpi
Saat mereka semua keluar dari hotel, berjalan ke arah timur untuk menuju area pantai. Sudah terasa angin sepoy menerpa tubuh mereka dari arah laut, hanya ada beberapa meja bundar yang telah ditempati pengunjung lain.Lalu mereka juga menuju meja bundar lainnya yang memang khusus disediakan untuk mereka. Ini adalah area pantai private, hanya orang tertentu saja yang mendapatkan pelayanan demikian.Karena untuk tamu biasa mereka berada di area pantai bagian lain dan itu cukup ramai. Namun, mereka kini bisa duduk nyaman, menikmati debur ombak, pasir putih dan matahari terbenam dengan tenang.Rea tersenyum saat matahari perlahan turun, semburat jingga di langit membuatnya sangat bahagia. Diam-diam Jeno menoleh pada wanita itu dan tersenyum memperhatikannya. Sungguh, ia sangat merindukan senyum itu, senyum yang tidak pernah berubah sejak dulu.Namun, senyum yang biasanya untuk dia, kini sudah tidak lagi untuknya, melainkan untuk pria lain. Jeno melirik pada Arfan yang kini terseyum bersama
Malam sudah cukup larut, Rea tampak nyenyak tidur malam ini. Semua yang disediakan hotel memang begitu spesial untuk menyamankan pengunjung, Rea yang terlihat nyenyak pun tampak berbalut selimut tebal nan halus serta memeluk guling empuknya.Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Suara gedoran di pintu luar membuatnya terkaget, wanita itu segera terduduk dan menatap pintu dengan heran. Melihat jam sudah tengah malam, siapa orang gila yang menggedor pintunya malam-malam begini?Segera Rea turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu, dia mengintip lebih dulu dari lubang kecil di permukaan pintu. Seketika kelopak matanya melebar kala ternyata Jeno yang ada di luar sana dengan piyama tidurnya."Sedang apa dia malam-nalam di sini? Dasar orang gila!" umpatnya kesal.Rea reflek akan membuka pintu, tapi tak lama ia menepuk keningnya karena ada yang terlupa. "Arfan! Aku harus bangunkan Arfan juga, aku tidak bisa mengambil resiko kalau Jeno tahu kami tidur terpisah kamar. Ya ya, aku
Hari ini adalah hari kedua mereka berlibur, seperti hari kemarin hari ini juga Rayan hanya bisa bersenang-senang menikmati liburannya bersama Rea dan Arfan. Sementara Jeno dan Arya berpura-pura sibuk pergi bertemu klien di luar seperti pagi ini, Jeno dan Arya sudah tampak rapi dengan setelan jasnya.Mereka bertemu di koridor saat Rea, Arfan dan Rayan keluar dari kamar. Terlihat ketiganya menggunakan pakaian casual, tampak seperti keluarga kecil yang sangat harmonis. "Selamat pagi," sapa Jeno, dan ketiga orang itu menoleh. "Sudah mau bersiap jalan-jalan?" lanjutnya kepada mereka."Ya, kami akan berangkat sekarang ke suatu tempat. Anda juga, semoga urusan bisnisnya lancar," sahut Rea.Jeno mengangguk seraya tersenyum. "Terima kasih, dan selamat bersenang-senang," timpal Jeno.Kemudian mereka semua berjalan menuju lift dan keluar hotel pun bersama, hanya saja mereka berpisah di tempat parkir. Jeno dan Arya kini masih berada di dalam mobil, menunggu mobil yang dikendarai Arfan melaju lebi
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama