Sinar mentari begitu gagahnya menerobos cela-cela jendela yang tak tertutup gorden, menyoroti sesosok wajah tampan yang sedang terlelap. Jeno mengangkat satu tangan untuk menutupi wajahnyanya yang terkena silau lantas membuka matanya perlahan.Pria itu tertegun kala melihat seseorang kini berada di dalam kamarnya, iya dia ingat ini kamarnya. Wanita itu tersenyum memandangnya, ternyata dialah yang membukakan gorden jendela hingga sinar mentari masuk ke dalam ruangan."Re-rea!" panggilnya dengan suara parau, pria itu terduduk lantas mengusap kedua matanya yang masih terasa kantuk.Namun, wanita di hadapannya masih terasa nyata, dia justru tersenyum lebih manis kepadanya. "Selamat pagi, Suamiku. Mandilah, aku sudah buatkan sarapan kesukaanmu. Ray juga sudah menunggu di bawah," ucap sang Wanita."Apakah ini mimpi?" batin Jeno, tapi semua yang terlihat seperti nyata.Jeno memperhatikan wanitanya dari ujung kepala sampai ujung kaki, istrinya menggunakan dress selutut warna pink yang terliha
Di sebuah ruangan kerja seorang dokter, ini jam makan siang. Namun, Arfan belum juga keluar dari ruangannya. Pria itu merogoh saku jas warna putihnya dan mengambil sesuatu di dalamnya.Terlihat kotak kristal di tangannya, pria itu membuka kotak tersebut yang ternyata terdapat sebuah cincin berlian yang sangat indah. Sudah sangat lama ia mempersiapkan cincin itu untuk melamar Rea, tapi pada kenyataannya belum juga ia lakukan.Sejujurnya malam itu ia akan melamar wanita tersebut, tapi entah kenapa hatinya masih ragu. Hingga pada akhirnya rencana tinggallah rencana, sampai pada kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi.Arfan sedikitnya menyesali atas semua yang terjadi malam itu, andai ia tidak membawa Rea ke restoran tersebut mungkin pertemuan antara Rea dan Jeno tidak akan terjadi. Pertemuan yang mungkin saja sedikitnya mempengaruhi perasaan Rea, jujur Arfan takut Rea akan kembali pada pria itu, sungguh ia sangat tidak rela.Arfan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlaha
Di sepanjang perjalanan Rea hanya terus melamun, ada banyak beban pikiran yang ada di kepalanya. Terlebih soal kedekatan Ray dan Jeno, membuat Rea benar-benar khawatir."Nona, sudah sampai," kata Supir taksi, pria paruh baya itu melirik kaca spion di atas kepalanya untuk melihat penumpang di belakang yang tidak kunjung memberikan bayaran ataupun keluar dari taksi.Supir pun mengerutkan kening kala Rea masih saja berdiam diri. "Nona, Anda sudah sampai di tempat tujuan," kata Supir lagi, tentu dengan nada bicara yang tetap ramah.Kali ini sepertinya Rea terasadar, wanita itu segera mengangguk dan mengambil uang dari dompetnya. "Maaf, Pak. Ini," katanya seraya memberikan uang pas.Sang Supir pun menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Nona," sahutnya seraya tersenyum.Rea juga hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kecil lantas membuka pintu dan keluar dari taksi, mobil pun melaju pergi sementara Rea berjalan memasuki gerbang rumah.***Sore hari yang cerah, senja hari ini ru
"Arya, co-coba kamu jelaskan!" pinta Jeno dengan kalimat sedikit terbata saking kesalnya pada diri sendiri, karena kenapa pikirannya tidak sampai pada apa yang dipikirkan Arya?"Coba Anda pikirkan, saat nona Rea pergi dari Indonesia kala itu 6 Tahun yang lalu. Sementara usia tuan Ray sekarang 5 Tahun memasuki usia 6 Tahun, dan masa mengandung normalnya 9 bulan 10 hari, bisa lebih cepat atau lebih lama. Hanya ada waktu 2 bulan 20 hari jika memang saat nona Rea langsung menikah setelah meninggalkan Anda.Namun, dalam kondisi nona Rea yang sedang sakit, mungkinkah mereka melangsungkan pernikahan kala itu dan melakukan hubungan intim?Dia adalah seorang dokter pasti tahu hal itu tidak bisa dilakukan, setidaknya butuh beberapa bulan untuk pemulihan selepas melakukan operasi besar dan waktu 2 bulan 20 hari tidak akan cukup," jelas Arya, entah Jeno paham atau tidak, pria itu hanya mencoba menjelaskan meski ia tidak yakin kalau Jeno saat ini paham, terlihat dari wajahnya saja sudah tidak meny
"Apa hubungannya denganmu, hal itu tidak harus dilakukan karena aku tidak perlu membuktikan apapun kepadamu!" Rea menunjuk Jeno penuh emosional, hal itu terlihat oleh Jeno untuk menutupi kegugupan yang wanita itu rasakan.Jeno tersenyum miring merasa semakin yakin kalau Rayan adalah putra kandungnya. "Kenapa? Apa kamu takut kalau apa yang aku katakan itu terbukti? Berarti benar, Ray adalah putraku?" desak Jeno."Tidak! Dia bukan--""Baiklah, aku dan Rea setuju. Kamu boleh melakukan tes DNA terhadap Ray," sela Arfan seraya melangkah mendekat kepada Rea.Rea langsung menoleh kepada Arfan yang kini berdiri di sampingnya dengan rasa terkejut, bagaimana bisa Arfan setuju? Semuanya akan terbongkar dan Rea takut Jeno akan merebut Rayan darinya."Arfan! Apa yang kamu katakan?! Aku tidak setuju!" sergah Rea tak terima.Karena Rea terdengar terus-terusan berteriak, Rayan pun akhirnya penasaran dan mengintip di balik dinding. Anak kecil itu melihat Jeno, dia senang melihat pria itu ada di sana.
Jam makan siang pun tiba, setelah selesai memasak Rea pun berjalan menaiki tangga menuju kamar putranya. Setelah kejadian tadi pagi ia sampai melupakan Rayan yang pasti kesepian bermain sendirian karena dirinya sibuk mengurung diri di kamar.Setelah ia sampai di depan pintu kamar sang Putra, segera ia menekan handle pintu dan mendorongnya. "Wah, keren, bagus sekali mobil-mobilannya!" Terdengar suara Rayan yang sepertinya sedang berbicara sendiri.Rea membuka pintu lebih lebar lantas terkejut saat melihat putranya memainkan mobil-mobilan yang tadi pagi Jeno bawa untuk anak kecil itu. Seketika Rea jadi tidak suka dan melangkah mendekat. "Ray!" panggilnya, lantas merebut remote control yang dipegang Rayan.Wanita itu lantas mematikan koneksi remote ke mainan, lalu menatap Rayan dengan kesal. Rayan juga terlihat terkejut, dia takut Rea marah padanya. "Apa ini, Ray?" tanyanya menahan kesal.Sepasang mata kelinci itu terlihat sedih dan takut. "Maaf, Ibu. Ray hanya bosan sendirian," jawabnya
Pagi-pagi Jeno menyempatkan diri mampir ke kediaman Arfan, meski kemarin ia sempat ditolak. Perasaan Jeno untuk Rayan begitu kuat, dia mengkhawatirkan anak itu entah kenapa.Seorang penjaga melihat kedatangan mobil Jeno, buru-buru ia berlari ke arah pintu gerbang dan mendekat ke mobil Jeno. "Selamat pagi, Tuan," sapa pria berseragam itu.Jeno yang akan turun pun urung karena sang Penjaga sudah menghampirinya lebih dulu. "Pagi, ada apa, Pak?" tanya Jeno."Apakah Anda akan menemui Tuan Ray?" tanya Penjaga itu."Ya, apakah Ray sudah berangkat sekolah?""Tidak, Tuan Ray semalam dilarikan ke rumah sakit tempat Tuan Arfan bekerja," kata Penjaga."Apa? Apa yang terjadi pada Ray?""Tuan Ray demem tinggi lagi," jawabnya lantas tanpa tunggu banyak waktu Jeno segera menyalakan mesin mobil lagi.Jeno menoleh sejenak pada Penjaga. "Terima kasih, Pak," katanya setelah itu sang Penjaga mengangguk dan mobil Jeno pun kembali melaju.***Jeno sampai di rumah sakit tempat Arfan bekerja, pria itu berjala
Jeno segera menerima panggilan dari sang Ibu. "Ya, Bu?" sapanya."Nak, kamu di mana? Kata Arya kamu belum juga sampai kantor? Kamu di mana sebenarnya?" tanya Maryam beruntun."Iya, aku lupa memberi kabar pada Arya kalau aku hari ini tidak ke kantor. Aku sedang ada di rumah sakit," jawab Jeno, pria itu lantas mengangguk kecil saat pelayan datang menata makanan di atas meja.Mendengar hal itu Maryam merasa kaget. "Di rumah sakit? Siapa yang sakit, Jen?" "Ray, Bu."Maryam sedikit bingung, dia berpikir apakah Rayan? "Ray ....""Iya, Bu. Ray putraku sakit, sekarang dia ada di rumah sakit kota," sela Jeno seraya tersenyum, dirinya memang sudah sangat yakin kalau Rayan benar-benar putranya sehingga ia berkata demikian."Nak, apakah kamu yakin kalau Ray putramu?" tanya Maryam memastikan, dia hanya takut kalau Jeno hanya berharap, dan harapan itu hanya bisa membuat luka saja.Jeno tersenyum. "Iya, aku sangat yakin. Tadi pagi aku sudah melakukan test DNA, hasilnya akan keluar seminggu atau dua