Arindi semakin penasaran oleh jawaban dari Keenandra."Nanti saja deh Ma ceritanya. Keenan capek, ngantukz" keluhnya sembari berlari masuk ke kamar.Arindi mendengkus kecewa."Sabar Rind. Kamu harus mencari momen dimana Keenan bisa mood. Yang terpenting saat ini Keenan bisa ketemu dulu," ujar Arfaaz.Namun sebagai ibu Arindi merasa tidak puas."Bagaimana aku bisa tenang Mas. Aku takut jika Keenan mengulang hal yang sama," keluh Arindi."Makanya Mbak. Yang becus jaga anak. Baru anak satu loh," kata Naina yang menambahi.Arindi sekilas menatap dengan tatapan yang tidak enak."Tau apa kamu? Memangnya kamu sudah punya anak? Sok menasihati aku segala?""Ya difikir pakai logika saja Mbak. Setiap ibu pasti ingin melindungi anaknya. Tetapi kok Mbak Arindi berbeda ya," Netra Arindi kini menatap tajam ke arah sang madu."Apa maksud kamu?""Duh please deh Mbak. Kalau ada yang tidak beres dengan sang anak. Itu artinya ada yang tidak beres juga dengan pola asuh orang tuanya." kata Naina dengan be
Arindi benar-benar terkesiap."Om baik siapa Keen? Mama tidak pernah tau?" tanya Arindi selembut mungkin agar Keenandra mau menjawabnya."Itu Ma yang pakai seragam. Keenandra lupa tadi siapa ya namanya," jawabnya.Arindi sejenak diam. Ia mengingat siapa kerabatnya yang memakai saragam. Ia menggeleng. Ya dia tidak punya kerabat berseragam ataupun yang duduk di bangku sekolah."Tadi juga Keenandra dikawal orang banyak Ma,"Arindi semakin melongo mendengar penuturan sang putra."Dikawal? Siapa?"Keenandra menggeleng."Nggak tau Ma. Ya sama pakai seragam juga."Arindi mengangguk. Berarti memang orang yang memiliki kuasa tinggi. Namun siapa?"Apakah pakaianya seperti ini?" tanya Arindi sembari memperlihatkan gambar yang ada di handphonenya.Keenandra mengangguk.Tebakan Arindi semakin mengarah benar. Ia pun mencari sesuatu lagi dari handphonemya."Apa ini orangnya?"Keeenandra mengangguk cepat. "Iya Ma. Mama kenal?"Bukanya menjawab, justru Arindi mengepalkan tanganya. Untuk sejenak, gigi
"Apa maksud kamu berbicara seperti itu?" tanya Arindi dengan netra yang mendelik tajam ke arah Herman.Herman mengalihkan pandang, sejenak menatap arah sudut lain. Ia mengambil nafas sejenak. Seperti hendak mengatakan suatu hal yang menurutnya penting."Keenandra adalah anak ku. Anak kandungku," ucap Herman penuh penekanan.Degg...Mereka semua melongo. Arindi menatap tak percaya. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak."Maksudmu apa?" bentak Arfaaz yang tidak sabar.Herman kembali mengangguk."Sesayang apapun kamu terhadap Keenandra, dia bukan anak kamu bukan? Tidak usah munafik. Dia anakku. Anak kandungku. Dan aku siap tes DNA denganya," ulang Herman penuh penekanan.Arindi meronta. Tubuhnya terasa lemas. Sementara Arfaaz bergantian menatap Arindi dengan tajam. Penuh tanda tanya. Arindi hanya menggelengkan kepala. Karena ia pun tidak tau arah pembicaraan Herman."Sebenarnya kamu siapa? Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Arindi."Pria yang merenggut harga dirimu dengan paksa mala
Arindi terperanjat dengan kalimat Arfaaz. Bahkan dari nada bicaranya terlihat bahwa hati Arfaaz tengah tidak baik baik saja."Mas Arfaaz marah?"Arfaaz menoleh dengan sinis."Marah? Untuk apa? Toh Keenandra sudah lahir bukan? Sudah besar malahan. Sekarang keputusan tinggal ada di kamu," kata Arfaaz dengan nada dingin.Alis Arindi bertaut."Keputusan? Maksud Mas Arfaaz apa? Aku benar-benar tidak mengerti,"Arfaaz mengibaskan tanganya di udara sembari tertawa kecil."Sudahlah. Jangan berlagak bodoh Rind. Sekarang kamu tau bukan siapa ayah biologis dari Keenandra? Bahkan dia bukan orang lain di masa lalu kamu Rind. Bisa saja kamu memilih kembali bukan? Memulai hidup baru dengan ayah dan ibu kandung Keenandra," kata Arfaaz yang justru terdengar seperti sebuah sindiran tersebut.Arindi menggeleng dengan cepat."Ternyata dangkal sekali fikiranmu ya Mas. Aku tak menyangka,"Arfaaz tetap mencoba untuk tenang."Tidak usah berbalik marah Rind. Bukankah apa yang aku ucapkan memang benar?""Lalu
Sebenarnya Bu Tami sedikit terkesiap denhan respon Arindi Namun sebisa mungkin ia menutupi agar gengsi dan wibawanya tidak turun.Sementara Arindi hanya menggerutu dalam hati, bagaimana mungkin ia mengandalkan nafkah dari Arfaaz untuk menggaji sopir, jika untuk makan saja tidak cukup. Ah entahlah serasa tidak ada habisnya jika membahas isi kepala si konglomerat itu.Sementara Arfaaz kini lebih banyak termenung. Ya tentang siapa ayah kandung Keenandra telah berhasil memporak porandakan hati dan fikiranya. Ia yang mencintai anak itu sepenuh jiwa, yang pertama kali mengumandangkan adzan di telinganya saat ia lahir, menyayanginya tanpa jeda seperti darah daging sendiri, kini telah dikoyak oleh hadirnya orang yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Apalagi orang itu bukan sembarangan orang di hidup Arindi.Tentang bagaimana kedepanya, bagaimana Herman nanti yang pasti akan terus mencina mendekati Keenandra juga Arindi kembali. Arfaaz berfikir cepat. Ia harus segera mengambil langkah tegas."
Bukanya menjawab Arfaaz hanya mendelik tajam, lalu bergantian pergi meninggalkan Naina.Naina membungkam mulutnya. 'Apa mungkin memang Mas Arfaaz mandul?' batinya dalam hati.Namun Naina menggeleng dengan cepat."Tidak. Ini tidak mungkin." katanya meyakinkan dirinya sendiri.Langkahnya justru mendekati Tami yang tengah melakukan perawatan kukunya."Ma, apa Mas Tama mandul?" tanya Naina tanpa basa basi.Reflek Tami terkesiap."Heh, ngomong apa kamu? Siapa yang bilang seperti itu Arindi?" jawab Tami dengan kaget."Bukan Ma,"Naina menunduk. Lalu sejenak kemudian ia menghela nafas dengan pelan."Bukan maksut aku menuduh Ma. Hanya saja semenjak Keenandra hilang, fokus Mas Tama seolah semua tertuju kepada anak itu. Apa dia juga tak mau memiliki anak sendiri. Dari aku misalnya. Untuk apa aku dinikahi kalau tidak ingin memiliki keturunan," ujar lirih Naina."Kamu jangan berfikir begitu Nan. Mana mungkin Arfaaz mandul. Dalan sejarah keturunan kami, tidak ada yang mandul. Kalau kamu resah kare
Pak Asmat dan Bu Asih sejenak terdiam dengan pengakuan Herman. Entah kaget atapun percaya dengan apa yang disampaikan Herman."Saya serius Pak Bu. Ma'afkan saya yang tidak bisa menjaga hawa nafsu. Saya begitu menyayangi Arindi. Dan saya tau Arindi wanita baik baik yang tidak mungkin melakukan hal terlarang itu." kata Herman dengan lirih dan tertunduk.Dada Pak Asmat tampak naik turun. Wajahnya mulai tampak tegang. Rahangnya mengeras. Dan ia bangkit. Tanpa aba-aba ia langsung menarik kerah baju Herman tanpa ampun."Dasar binatang. Mau kamu ku bunuh sekarang juga?" gertak Pak Asmat dengan emosi berapi-api. Bu Asih dibelakangnya juga tak kalah emosi dengan tangisnya yang terus berderai sembari menenangkan suaminya yang kalap."Kamu tau akibat perbuatanmu itu? Masa depan Arindi sudah rusak. Bagaimana ia tertatih tatih mengobati lukanya seorang diri? Bagaimana kami mencoba menguatkan walau hati kami juga ikut hancur? Ahh,"Pak Asmat melepaskan kerah Herman dengan kasar. Sementara Herman ma
Naina membanting tas yang ia bawa di tangan ke lantai dengan kasar. Tampak ia begitu marah sekali. Bahkan ia dengan kasar mengusap make up yang menempel di wajah cantiknya itu. Wajahnya langsung terlihat masam.Dan Arfaaz melihatnya di depan netranya sendiri. Naina benar benar kecewa."Mas, sudahlah. Aku tidak apa apa sendiri. Kamu harus memenuhi janji yang telah terlebih dahulu kamu buat. Kamu harus belajar konsisten," kata Arindi mencoba menjadi penengah di antara mereka. Sebelum mertuanya datang dan bisa memperkeruh suasana."Tetapi ini urgent Rind. Apa iya mereka juga tidak dapat mengerti?""Mas, dengarkan aku. Besok mama akan kembali ke luar negeri. Dan setidaknya kita harus membuat beliau senang malam ini. Tolong turuti kemauan mama kali ini. Setelah acaranya selesai, kamu boleh menyusulku ke rumah sakit," akta Arindi dengan panik."Yang benar kamu tidak apa-apa Rind jika pergi sendiri?" tanya Arfaaz tak kalah khawatirnya."Tenang saja. Aku sudah terlatih mandiri sedari dulu. Ak