Arindi terperanjat dengan kalimat Arfaaz. Bahkan dari nada bicaranya terlihat bahwa hati Arfaaz tengah tidak baik baik saja."Mas Arfaaz marah?"Arfaaz menoleh dengan sinis."Marah? Untuk apa? Toh Keenandra sudah lahir bukan? Sudah besar malahan. Sekarang keputusan tinggal ada di kamu," kata Arfaaz dengan nada dingin.Alis Arindi bertaut."Keputusan? Maksud Mas Arfaaz apa? Aku benar-benar tidak mengerti,"Arfaaz mengibaskan tanganya di udara sembari tertawa kecil."Sudahlah. Jangan berlagak bodoh Rind. Sekarang kamu tau bukan siapa ayah biologis dari Keenandra? Bahkan dia bukan orang lain di masa lalu kamu Rind. Bisa saja kamu memilih kembali bukan? Memulai hidup baru dengan ayah dan ibu kandung Keenandra," kata Arfaaz yang justru terdengar seperti sebuah sindiran tersebut.Arindi menggeleng dengan cepat."Ternyata dangkal sekali fikiranmu ya Mas. Aku tak menyangka,"Arfaaz tetap mencoba untuk tenang."Tidak usah berbalik marah Rind. Bukankah apa yang aku ucapkan memang benar?""Lalu
Sebenarnya Bu Tami sedikit terkesiap denhan respon Arindi Namun sebisa mungkin ia menutupi agar gengsi dan wibawanya tidak turun.Sementara Arindi hanya menggerutu dalam hati, bagaimana mungkin ia mengandalkan nafkah dari Arfaaz untuk menggaji sopir, jika untuk makan saja tidak cukup. Ah entahlah serasa tidak ada habisnya jika membahas isi kepala si konglomerat itu.Sementara Arfaaz kini lebih banyak termenung. Ya tentang siapa ayah kandung Keenandra telah berhasil memporak porandakan hati dan fikiranya. Ia yang mencintai anak itu sepenuh jiwa, yang pertama kali mengumandangkan adzan di telinganya saat ia lahir, menyayanginya tanpa jeda seperti darah daging sendiri, kini telah dikoyak oleh hadirnya orang yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Apalagi orang itu bukan sembarangan orang di hidup Arindi.Tentang bagaimana kedepanya, bagaimana Herman nanti yang pasti akan terus mencina mendekati Keenandra juga Arindi kembali. Arfaaz berfikir cepat. Ia harus segera mengambil langkah tegas."
Bukanya menjawab Arfaaz hanya mendelik tajam, lalu bergantian pergi meninggalkan Naina.Naina membungkam mulutnya. 'Apa mungkin memang Mas Arfaaz mandul?' batinya dalam hati.Namun Naina menggeleng dengan cepat."Tidak. Ini tidak mungkin." katanya meyakinkan dirinya sendiri.Langkahnya justru mendekati Tami yang tengah melakukan perawatan kukunya."Ma, apa Mas Tama mandul?" tanya Naina tanpa basa basi.Reflek Tami terkesiap."Heh, ngomong apa kamu? Siapa yang bilang seperti itu Arindi?" jawab Tami dengan kaget."Bukan Ma,"Naina menunduk. Lalu sejenak kemudian ia menghela nafas dengan pelan."Bukan maksut aku menuduh Ma. Hanya saja semenjak Keenandra hilang, fokus Mas Tama seolah semua tertuju kepada anak itu. Apa dia juga tak mau memiliki anak sendiri. Dari aku misalnya. Untuk apa aku dinikahi kalau tidak ingin memiliki keturunan," ujar lirih Naina."Kamu jangan berfikir begitu Nan. Mana mungkin Arfaaz mandul. Dalan sejarah keturunan kami, tidak ada yang mandul. Kalau kamu resah kare
Pak Asmat dan Bu Asih sejenak terdiam dengan pengakuan Herman. Entah kaget atapun percaya dengan apa yang disampaikan Herman."Saya serius Pak Bu. Ma'afkan saya yang tidak bisa menjaga hawa nafsu. Saya begitu menyayangi Arindi. Dan saya tau Arindi wanita baik baik yang tidak mungkin melakukan hal terlarang itu." kata Herman dengan lirih dan tertunduk.Dada Pak Asmat tampak naik turun. Wajahnya mulai tampak tegang. Rahangnya mengeras. Dan ia bangkit. Tanpa aba-aba ia langsung menarik kerah baju Herman tanpa ampun."Dasar binatang. Mau kamu ku bunuh sekarang juga?" gertak Pak Asmat dengan emosi berapi-api. Bu Asih dibelakangnya juga tak kalah emosi dengan tangisnya yang terus berderai sembari menenangkan suaminya yang kalap."Kamu tau akibat perbuatanmu itu? Masa depan Arindi sudah rusak. Bagaimana ia tertatih tatih mengobati lukanya seorang diri? Bagaimana kami mencoba menguatkan walau hati kami juga ikut hancur? Ahh,"Pak Asmat melepaskan kerah Herman dengan kasar. Sementara Herman ma
Naina membanting tas yang ia bawa di tangan ke lantai dengan kasar. Tampak ia begitu marah sekali. Bahkan ia dengan kasar mengusap make up yang menempel di wajah cantiknya itu. Wajahnya langsung terlihat masam.Dan Arfaaz melihatnya di depan netranya sendiri. Naina benar benar kecewa."Mas, sudahlah. Aku tidak apa apa sendiri. Kamu harus memenuhi janji yang telah terlebih dahulu kamu buat. Kamu harus belajar konsisten," kata Arindi mencoba menjadi penengah di antara mereka. Sebelum mertuanya datang dan bisa memperkeruh suasana."Tetapi ini urgent Rind. Apa iya mereka juga tidak dapat mengerti?""Mas, dengarkan aku. Besok mama akan kembali ke luar negeri. Dan setidaknya kita harus membuat beliau senang malam ini. Tolong turuti kemauan mama kali ini. Setelah acaranya selesai, kamu boleh menyusulku ke rumah sakit," akta Arindi dengan panik."Yang benar kamu tidak apa-apa Rind jika pergi sendiri?" tanya Arfaaz tak kalah khawatirnya."Tenang saja. Aku sudah terlatih mandiri sedari dulu. Ak
Arindi berlari lari di lorong rumah sakit dengan perasaan panik dan air mata yang tidak bisa dibendung. Tak perduli dengan kehadiaran siapapun disitu, ia segera berlari ingin melihat keadaan sang ayah.Ibunya yang sudah ada di depan kamar perawatan hanya tertunduk sembari sesekali mengusap kedua sudut netranya."Bu, bagaiamana keadaan Ayah Bu? Dimana beliau? " tanya Arindi dengan panik."Tenang Rin. Ayah sudah ditangani dokter. Darah tingginya kambuh," Jawab Bu Asih mencoba tenang. Walaupun hatinya juga menyeruak sakit yang luar biasa.Arindi kaget."Hah? Kok bisa? Bukankan ayah sangat menjaga pola hidupnya? Ayah bahkan sangat berhati hati dalam memilih makanan Bu," tanya Arindi.Bu Asih seperti tidak mau menjawab. Hanya sesekali lirikan matanya menjadi jawabnua. Dan lirikan itu mengarah pada laki laki yang duduk agak jauh dari mereka. Herman.Arindi menatap masih dengan tatapan yang bingung."Bu ada apa sebenarnya? Apa karena dia penyebab ayah menjadi seperti ini? Apa yang dia lakuka
Mobil yang dikendarai Arfaaz, berhenti di salah satu restoran mewah. Tempat dimana dulu dia sangat mengfavoritkanya bersama Arindi. Dan kini ia bersama sang madu, berniat ingin mengukir kenangan yang sama seperti saat dengan Arindi.Namun lagi-lagi fikiran Arfaaz kalut dibuatnya. Tentang bagaimana Arindi? Dan bagaimana kondisi keluarganya. Arfaaz tidak tenang sama sekali.Sementara senyum manis terus terukir di wajah cantik Naina. Bagaimana tidak, mungkin ini kali pertama ia menginjakan kaki di restoran semewah dan semahal ini tentunya. Belum tentu kalau dengan orang selain Arfaaz, ia bisa merasakan ini Naina bergelayut manja di lengan kekar milik Arfaaz."Terimakasih ya Mas. Sudah mau membawaku kesini. Aku bahagia. Dan merasa tidak dibedakan," ujar Naina dengan lembut.Arfaaz tersenyum. Lebih tepatnya memaksakan senyum. Tapi tidak dengan hatinya yang dilanda panik luar biasa."Nah gitu dong Faaz. Kalau istri senang, maka rezeki suami juga akan mengalir deras. Siapa tau dengan rilek
Netra Naina membulat sempurna. Ya sepertinya ia memang tidak main main dengan ucapanya itu. Di belakang sang menantu, Bu Tami tampak terus mengusap punggungnya untuk menenangkannya.Sebenarnya Arfaaz sudah teramat panik. Namun ia pun harus pintar mengatur emosi agar situasi tidak bertambah semakin kacau.Sejenak ia mengatur nafas."Nan, ini bukan masalah condong ke salah satu. Bukan. Ini darurat Nan. Dan kamu harus mengerti. Oke, begini saja coba posisikan kamu di posisi Arindi. Kamu anak tunggal. Orang tuamu masuk rumah sakit. Sementara kamu punya suami. Tetapi kamu harus pontang panting seorang diri. Bagaimana perasaanmu? Kasihan bukan?"Bukanya menjawab. Naina justru melengos menatap arah lain."Nan," panggil Arfaaz sekali lagi "Baiklah. Kalau begitu bagaiamana jika Mbak Arindi ada di posisiku. Sudah diberi janjim Dan sudah mempunyai ekspektasi yang indah, namun sekejap mata semua hancur begitu saja. Aku tanya, dia kesal atau tidak?" balas Naina tak kalah kesalKepala Arfaaz mendo