Lutut Arindi lemas kala membaca berita itu. Hampir saja pertahanannya roboh, namun dengan sigap, Arfaaz segera menahan tubuhnya agar tidak jatuh."Rind, kuat Rind. Belum tentu itu Keenan," ujar Arfaaz menenangkan.Tangis Arindi mulai luruh seketika."Bagaimana kalau Keenan, Mas? Dia adalah duniaku. Kalau memang itu Keenan, Duniaku sudah hancur," keluh Arindi.Arfaaz menghela nafas pelan."Sudah. Lebih baik sekarang kita datangi saja lokasi kejadian. Untuk memastikanya. Aku rasa Keenan tidak seceroboh itu untuk main di area seperti itu," ajak Arfaaz.Arindi mengangguk. Namun tubuhnya lemas. Hatinya tak berhenti berdebar lebih kencang."Kenapa? Kamu tidak sanggup nyetir mobil sendiri?" tanya Arfaaz.Arindi mengangguk pelan."Aku hanya takut tidak bisa konsentrasi Mas ""Ya sudah. Biar anak buahku nanti yang membawa mobilmu pulang. Sekarang ikut di mobilku saja. Kita segera kesana."Tak ada kata yang keluar satupun saat perjalanan. Hanya ketakutan yang terus menggelayuti fikiran Arindi s
Arindi semakin penasaran oleh jawaban dari Keenandra."Nanti saja deh Ma ceritanya. Keenan capek, ngantukz" keluhnya sembari berlari masuk ke kamar.Arindi mendengkus kecewa."Sabar Rind. Kamu harus mencari momen dimana Keenan bisa mood. Yang terpenting saat ini Keenan bisa ketemu dulu," ujar Arfaaz.Namun sebagai ibu Arindi merasa tidak puas."Bagaimana aku bisa tenang Mas. Aku takut jika Keenan mengulang hal yang sama," keluh Arindi."Makanya Mbak. Yang becus jaga anak. Baru anak satu loh," kata Naina yang menambahi.Arindi sekilas menatap dengan tatapan yang tidak enak."Tau apa kamu? Memangnya kamu sudah punya anak? Sok menasihati aku segala?""Ya difikir pakai logika saja Mbak. Setiap ibu pasti ingin melindungi anaknya. Tetapi kok Mbak Arindi berbeda ya," Netra Arindi kini menatap tajam ke arah sang madu."Apa maksud kamu?""Duh please deh Mbak. Kalau ada yang tidak beres dengan sang anak. Itu artinya ada yang tidak beres juga dengan pola asuh orang tuanya." kata Naina dengan be
Arindi benar-benar terkesiap."Om baik siapa Keen? Mama tidak pernah tau?" tanya Arindi selembut mungkin agar Keenandra mau menjawabnya."Itu Ma yang pakai seragam. Keenandra lupa tadi siapa ya namanya," jawabnya.Arindi sejenak diam. Ia mengingat siapa kerabatnya yang memakai saragam. Ia menggeleng. Ya dia tidak punya kerabat berseragam ataupun yang duduk di bangku sekolah."Tadi juga Keenandra dikawal orang banyak Ma,"Arindi semakin melongo mendengar penuturan sang putra."Dikawal? Siapa?"Keenandra menggeleng."Nggak tau Ma. Ya sama pakai seragam juga."Arindi mengangguk. Berarti memang orang yang memiliki kuasa tinggi. Namun siapa?"Apakah pakaianya seperti ini?" tanya Arindi sembari memperlihatkan gambar yang ada di handphonenya.Keenandra mengangguk.Tebakan Arindi semakin mengarah benar. Ia pun mencari sesuatu lagi dari handphonemya."Apa ini orangnya?"Keeenandra mengangguk cepat. "Iya Ma. Mama kenal?"Bukanya menjawab, justru Arindi mengepalkan tanganya. Untuk sejenak, gigi
"Apa maksud kamu berbicara seperti itu?" tanya Arindi dengan netra yang mendelik tajam ke arah Herman.Herman mengalihkan pandang, sejenak menatap arah sudut lain. Ia mengambil nafas sejenak. Seperti hendak mengatakan suatu hal yang menurutnya penting."Keenandra adalah anak ku. Anak kandungku," ucap Herman penuh penekanan.Degg...Mereka semua melongo. Arindi menatap tak percaya. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak."Maksudmu apa?" bentak Arfaaz yang tidak sabar.Herman kembali mengangguk."Sesayang apapun kamu terhadap Keenandra, dia bukan anak kamu bukan? Tidak usah munafik. Dia anakku. Anak kandungku. Dan aku siap tes DNA denganya," ulang Herman penuh penekanan.Arindi meronta. Tubuhnya terasa lemas. Sementara Arfaaz bergantian menatap Arindi dengan tajam. Penuh tanda tanya. Arindi hanya menggelengkan kepala. Karena ia pun tidak tau arah pembicaraan Herman."Sebenarnya kamu siapa? Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Arindi."Pria yang merenggut harga dirimu dengan paksa mala
Arindi terperanjat dengan kalimat Arfaaz. Bahkan dari nada bicaranya terlihat bahwa hati Arfaaz tengah tidak baik baik saja."Mas Arfaaz marah?"Arfaaz menoleh dengan sinis."Marah? Untuk apa? Toh Keenandra sudah lahir bukan? Sudah besar malahan. Sekarang keputusan tinggal ada di kamu," kata Arfaaz dengan nada dingin.Alis Arindi bertaut."Keputusan? Maksud Mas Arfaaz apa? Aku benar-benar tidak mengerti,"Arfaaz mengibaskan tanganya di udara sembari tertawa kecil."Sudahlah. Jangan berlagak bodoh Rind. Sekarang kamu tau bukan siapa ayah biologis dari Keenandra? Bahkan dia bukan orang lain di masa lalu kamu Rind. Bisa saja kamu memilih kembali bukan? Memulai hidup baru dengan ayah dan ibu kandung Keenandra," kata Arfaaz yang justru terdengar seperti sebuah sindiran tersebut.Arindi menggeleng dengan cepat."Ternyata dangkal sekali fikiranmu ya Mas. Aku tak menyangka,"Arfaaz tetap mencoba untuk tenang."Tidak usah berbalik marah Rind. Bukankah apa yang aku ucapkan memang benar?""Lalu
Sebenarnya Bu Tami sedikit terkesiap denhan respon Arindi Namun sebisa mungkin ia menutupi agar gengsi dan wibawanya tidak turun.Sementara Arindi hanya menggerutu dalam hati, bagaimana mungkin ia mengandalkan nafkah dari Arfaaz untuk menggaji sopir, jika untuk makan saja tidak cukup. Ah entahlah serasa tidak ada habisnya jika membahas isi kepala si konglomerat itu.Sementara Arfaaz kini lebih banyak termenung. Ya tentang siapa ayah kandung Keenandra telah berhasil memporak porandakan hati dan fikiranya. Ia yang mencintai anak itu sepenuh jiwa, yang pertama kali mengumandangkan adzan di telinganya saat ia lahir, menyayanginya tanpa jeda seperti darah daging sendiri, kini telah dikoyak oleh hadirnya orang yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Apalagi orang itu bukan sembarangan orang di hidup Arindi.Tentang bagaimana kedepanya, bagaimana Herman nanti yang pasti akan terus mencina mendekati Keenandra juga Arindi kembali. Arfaaz berfikir cepat. Ia harus segera mengambil langkah tegas."
Bukanya menjawab Arfaaz hanya mendelik tajam, lalu bergantian pergi meninggalkan Naina.Naina membungkam mulutnya. 'Apa mungkin memang Mas Arfaaz mandul?' batinya dalam hati.Namun Naina menggeleng dengan cepat."Tidak. Ini tidak mungkin." katanya meyakinkan dirinya sendiri.Langkahnya justru mendekati Tami yang tengah melakukan perawatan kukunya."Ma, apa Mas Tama mandul?" tanya Naina tanpa basa basi.Reflek Tami terkesiap."Heh, ngomong apa kamu? Siapa yang bilang seperti itu Arindi?" jawab Tami dengan kaget."Bukan Ma,"Naina menunduk. Lalu sejenak kemudian ia menghela nafas dengan pelan."Bukan maksut aku menuduh Ma. Hanya saja semenjak Keenandra hilang, fokus Mas Tama seolah semua tertuju kepada anak itu. Apa dia juga tak mau memiliki anak sendiri. Dari aku misalnya. Untuk apa aku dinikahi kalau tidak ingin memiliki keturunan," ujar lirih Naina."Kamu jangan berfikir begitu Nan. Mana mungkin Arfaaz mandul. Dalan sejarah keturunan kami, tidak ada yang mandul. Kalau kamu resah kare
Pak Asmat dan Bu Asih sejenak terdiam dengan pengakuan Herman. Entah kaget atapun percaya dengan apa yang disampaikan Herman."Saya serius Pak Bu. Ma'afkan saya yang tidak bisa menjaga hawa nafsu. Saya begitu menyayangi Arindi. Dan saya tau Arindi wanita baik baik yang tidak mungkin melakukan hal terlarang itu." kata Herman dengan lirih dan tertunduk.Dada Pak Asmat tampak naik turun. Wajahnya mulai tampak tegang. Rahangnya mengeras. Dan ia bangkit. Tanpa aba-aba ia langsung menarik kerah baju Herman tanpa ampun."Dasar binatang. Mau kamu ku bunuh sekarang juga?" gertak Pak Asmat dengan emosi berapi-api. Bu Asih dibelakangnya juga tak kalah emosi dengan tangisnya yang terus berderai sembari menenangkan suaminya yang kalap."Kamu tau akibat perbuatanmu itu? Masa depan Arindi sudah rusak. Bagaimana ia tertatih tatih mengobati lukanya seorang diri? Bagaimana kami mencoba menguatkan walau hati kami juga ikut hancur? Ahh,"Pak Asmat melepaskan kerah Herman dengan kasar. Sementara Herman ma
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora