Mata lelaki itu berkaca-kaca saat dipanggil kembali dan dinyatakan lolos. Aksa diminta ikut bergabung dalam proyek pembuatan hotel ini.Setitik air matanya menetes karena Tuhan mengabulkan apa yang biatkan dengan tulus. Membahagiakan Hayu dengan hasil usaha sendiri."Kapan Saya harus bergabung, Pak?" tanya lelaki itu."Awal bulan depan kita mulai proyeknya.""Kira-kira berapa lama, Pak?""Dua bulan bahkan bisa jadi lebih.""Anda siap?""Ya, Pak. Saya siap. Cuma memang harus izin keluarga dan curi kuliah.""Kamu memang berbakat. Padahal belum punya gelar.""Memang suka gambar dari kecil, Pak." Aksa mengucapkan itu dengan mantap hati, sehingga semua orang di ruangan itu benar-benar yakin akan kinerjanya."Kami memilih Anda karena design-nya yang unik juga berani dan tidak seperti yang beredar dipasaran."Aksa mengucap syukur berulang kali dalam hati dan akhirnya keluar ruangan dengan hati lega. Saat pintu tertutup, dia bersujud di lantai dengan bercucuran air mata karena tak kuasa mena
Aksa menatap satu persatu wajah dihadapannya. Hari ini mereka berkumpul di rumah Papa Danu. Awalnya ingin menjemput Ammar, tapi dia sekaligus akan berpamitan. "Ada apa, Aksa. Bicara saja," kata Danu saat melihat keraguan di wajah menantunya. Selama ini memang banyak yang mereka bantu, bahkan menaggung sebagian kebutuhan Ammar. Namun, Danu dan Sarah ikhlas sama seperti Setya dan Rani. Bukan memanjakan, namun menolong karena anak-anak sedang kesulitan."Aku mau minta izin, pindah ke Bali untuk sementara waktu."Semua orang terkejut mendengarnya, terutama Hayu. Ada apa gerangan sang suami berkata seperti itu."Emang ada apa disana?" tanya Hayu dengan cepat."Aku menang tender."Mata wanita itu terbelalak. Sementara itu Sarah menutup mulut dan Danu tersenyum senang. "Tender apa? Kamu kok gak cerita?" Hayu benar-benar penasaran dengan ucapan suaminya. "Aku mau cerita, tapi tolong didengarkan dulu. Aku berharap semua memberikan restu," kata Aksa dengan yakin.Lalu di menceritakan semua
Aksa membuka pintu kamar sebuah kosan yang akan dia tempati selama 2 bulan ini. Sebuah ruang berukuran 3×4 lengkap dengan segala macam fasilitas. Ada kamar mandi, kasur, lemari, meja kursi juga AC.Dia mendapatkan fasilitas selama tinggal disini namun sesuai standar. Aksa tak mempermasalahkan seandainya gaji yang diberikan kepadanya lebih rendah dibanding 4 arsitek yang lain. Mendapatkan kesempatan ini saja dia sudah sangat bersyukur.Nanti di acara peresmian hotel, dia akan datang bersama anak istri juga orang tuanya. Aksa ingin semua orang yang dikasihi ikut menyaksikan kesuksesannya.Setelah meletakkan barang-barang, dia membersihkan diri di kamar mandi. Tubuhnya cukup lelah seharian ini.Teringat tadi saat di bandara Hayu menangis melepas kepergiannya. Juga Ammar yang meminta digendong terus dan menangis saat diambil kembali oleh mamanya. Ponselnya berdering."Udah nyampai?" Suara Hayu terdengar di seberang sana."Baru nyampai di kosan. Tadi pas landing lansung jalan kesini. Cape
Langkah kaki Aksa begitu mantap saat memasuki ruangan. Mereka diberikan ruangan di hotel cabang sebelumnya, dan berkantor disitu. "Hallo." Mereka saling menyapa satu dengan yang lain. Berkenalan juga berbincang-bincang. Hari pertama tidak formal, masih sebatas pengenalan diri. Aksa yang paling muda diantara mereka, semnetar yang lain sudah kawakan dari segi pengalaman kerja juga usia. "Hebat kamu. Masih kuliah pegang tender gede gini.""Rezeki anak istri, Pak.""Loh, sudah menikah rupanya.""Nak calon 2, Pak. Istri ditinggal hamil pas kesini," katanya."Umur kamu berapa?""Jalan 25.""Ckckck. Pasti nikah muda, nih?""Iya, Pak. Udah gak tahan. Daripada zina, lamar aja langsung."Mereka tergelak saat mendengar jawabannya. Aksa memang humoris dan suka bercanda. Gaya bicara yang blak-blakan menjadi ciri khasnya. "Kita ngapain aja hari ini?""Paling ntar kenalan ma direksi. Tunggu aja."Mereka duduk di sofa dan menunggu. Tak lama pintu dibuka lalu masuklah beberapa orang. Satu persatu
Sepi. Sudah 1 minggu ini Hayu uring-uringan karena berjauhan dengan sang suami. Efeknya dia suka marah-marah tidak jelas, sehingga Ammar setiap malam tidur dengan neneknya.Ditambah hasil pemeriksan dari dokter yang mrnyatakan dia positif hamil. Kasihan Ammar sebenarnya. Bayi itu masih butuh ASI sekalipun masih dicampur susu formula.Kadang, Ammar merajuk hingga menangis cukup lama, namun Hayu tak sanggup mengurusnya karena kondisi tubuh yang drop setelah pulang berkerja."Minum ini." Sarah menyerahkan segelas air jahe kepada putrinya. Tadi dia meminta bibik untuk membuatkan."Perutku kembung, Ma," jawabnya. Sejak pagi hingga makan siang hanya sedikit yang bisa masuk. Hayu bahkan harus memakia masker selama bekerja karena tak tahan membau aroma macam-macam, dari parfum ruangan bahkan bau badan orang-orang."Sini mama pijetin." Sarah meraih kepala putrinya dan mulai memijat pelipis dengan lembut. Dengan sabar dia mengurus anak dan cucunya sekalipun lelah."Hayu pengen ke Bali, Ma. I
Hayu merasakan perutnya bergejolak hebat. Padahal sejak tadi sudah memakai masker agar bau apa pun tak tercium walaupun terasa pengap. Dia juga memakai sweater karena tidak tahan dengan suhu ruangan yang dirasa dingin. Pernah hidungnya mimisan hanya karena seharian di ruangan dan tidak keluar makan siang karena badannya tidak enak. Hoek!Dia segera keluar ruangan karena tidak tahan dengan rasa mual yang semakin menghebat. Tanpa melihat kanan kiri, dia berjalan cepat.Bruk!Hayu membentur tubuh liat dihadapannya dan terjatuh di lantai. "Na!" teriak lelaki itu saat meilhatnya terjatuh."Are you okay?"Hayu menatap wajah Tama sesaat kemudian segera berlari menuju toilet. Bisa-bisa dia mengeluarkan isi perut jika masih berlama-lama disini. Tama termenung melihat kepergiannya. Dalam hati bertanya apa Hayu begitu benci kepadanya sehingga bertemu lagi pun tidak mau?Lalu dia merasa khwatir dan menyusul ke toilet. Pasti kaki wanita itu sakit karena terhantam lantai. Lelaki itu berdiri di
Seperti biasanya. Aksa masuk ke kantor setiap pagi dan pulang di sore bahkan menjelang malam. Begitulah selama satu bulan ini. Komunikasi dengan keluarga lancar. Hanya merasa sedih saat Hayu menceritakan kondisinya yang semakin drop di usia kandungan memasuki 3 bulan. Kata orang, jika mulai memasuki trisemester kedua, maka rasa mual dan muntah akan berkurang. Namun tidak dengan dirinya."Aku gak kuat, Sa.""Kalau gitu resign. Di rumah. Aku juga tinggal 1 bulan lagi. Bicara sama Mama Sarah," kata lelaki itu menyarankan. Bagaimana rezeki keluarga mereka nanti biarlah Tuhan yang mengatur. Dia percaya akan hal itu. "Aku nyusul ke sana, ya.""Aku sibuk, Sayang. Nanti kamu malah sendirian disini. Mana kosannya laki-laki semua.""Kalau gitu kamu pulang lah sebentar. Gak kangen Ammar apa?" "Kangen, lah. Apalagi sama mamanya. Kangen banget.""Sama aku juga.""Tinggal 1 bulan lagi. Mana tau hasilnya bagus terus mereka puas dan aku dapat job lagi disini.""Lah kok disana?""Kamu pengen tingg
Aksa melambaikan tangan kepada temannya yang mengantar pulang dan melangkahkan kaki memasuki kosan. Ini minggu terakhir mereka berkantor dan akan direview kembali hasila kerja selama 2 bulan. Rencananya, dia akan memberitahukan keluarga jika semua benar-benar rampung. Rasanya tak sabar ingin bertemu dengan mereka semua.Hari-harinya hanya berkutat dengan design, presentasi dan meeting. Bosan? Pastinya, namun dia harus menguatkan diri demi impian yang ingin dicapai. Semua orang yang sukses mengalami fase sulit. Dia masih beruntung, banyak kemudahan yang didapat. Saat membuka pintu kos, matanya terbelalak melihat pemandangan di hadapan. Apakah dia sedang bermimpi atau berkhayal?"Sa!" Hayu berlari memeluk suaminya. Sementara itu Ammar menangis dalam gendongan Mama Sarah. "Loh, Kapan kalian datang?" ucapnya masih tak percaya. Ingin menyubit pipi tapi dia yakin ini bukan mimpi. "Tadi siang. Cuma kamu masih kerja. Jadi aku nungguin di hotel sampai jam pulang.""Kok gak ngabarin?""Bi