Kembali ke masa sekarang... Saat matahari mulai terbenam di Pulau Komodo, Rain dan Summer mengajak Haru untuk berjalan di pinggir pantai. Pemandangan langit yang berubah warna dari oranye ke ungu memberikan latar belakang yang mempesona. Haru, yang masih bersemangat dari snorkeling, berlari dengan bebas, menikmati sentuhan angin dan pasir halus di kakinya. Sementara Rain dan Summer berjalan dengan lambat sambil bergandengan tangan. Mereka tetap memperhatikan Haru yang berlari di depan mereka. “Liat langitnya,” kata Rain sambil memandang ke arah langit yang berwarna-warni. “Ini luar biasa. Langit Jakarta nggak akan pernah kayak gini.” Summer, berdiri di samping Rain, merasakan suasana yang tenang dan damai. “Iya, pemandangan di sini benar-benar indah. Aku nggak bisa bayangin kalau kita bisa liat langit yang indah gini tiap hari. Aku Oro banget sama orang-orang sini.” Rain menatap Summer dengan lembut. “Iya, apalagi aku bisa nikmatin semua ini dengan kamu. Bagi aku, ini jadi sala
Setelah kembali dari liburan yang singkat namun penuh kenangan di Labuan Bajo, kehidupan kembali ke rutinitas sehari-hari. Jakarta yang sibuk menanti mereka dengan segudang aktivitas yang sudah menunggu. Summer kembali bekerja sebagai asisten rumah tangga di apartemen Rain. Meski lelah karena aktivitas di rumah Rain, dia merasa lebih segar setelah liburan, seperti ada energi baru yang membuatnya lebih fokus dan bersemangat. Rain, di sisi lain, mulai tenggelam kembali dalam pekerjaannya, terutama dalam persiapan acara launching produk kecantikan terbaru milik Wulan. Meskipun sibuk, pikirannya sering kembali pada momen-momen indah bersama Summer dan Haru di Labuan Bajo. Di sekolah, Haru tampak ceria dan penuh semangat saat menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya. "Kalian harus lihat pasir pink itu sendiri! Rasanya seperti di dunia lain!" ujarnya dengan antusias. Cerita tentang pantai, komodo, dan snorkeling membuatnya menjadi pusat perhatian di kalangan teman-temannya. Nam
Wulan berdiri di luar pintu kantor Ben, merasakan denyut jantungnya yang tak menentu. Tangannya sedikit gemetar ketika dia hendak mengetuk pintu, namun rasa penasaran dan kecemasan memaksanya untuk segera masuk tanpa basa-basi. Dia tidak ingin menunda konfrontasi ini lebih lama lagi. Begitu pintu terbuka, ia melihat Ben duduk di balik meja kerjanya, tampak terkejut saat melihatnya."Wulan?" Ben mengangkat alis, bingung dengan kedatangan mendadak tunangannya. "Ada apa? Kok nggak bilang kalau mau ke sini?"Wulan tak membuang waktu. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan pesan yang ia terima kepada Ben. "Ini apa, Ben? Kamu bisa jelasin ke aku?"Ben mengambil ponsel Wulan, menatap layar dengan wajah yang perlahan memucat. Ia memang tidak mengenal nomor telepon tersebut, tapi hanya ada orang yang bisa ia pikirkan dalam situasi serba kebetulan seperti ini. Sudah jelas, ini adalah ulah Sari yang juga mengancamnya beberapa waktu lalu. Sepertinya wanita i
Ben duduk sendirian di sudut bar yang remang-remang, dengan segelas bourbon di tangannya. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya imajinasi Ben yang terlalu terbebani dengan pikirannya. Setiap tegukan bourbon terasa berat, seperti beban di hatinya yang semakin menekan.Pikirannya terus berputar, memikirkan ancaman Sari yang semakin lama semakin intensif. Sari, dengan segala kecerdikannya, telah berhasil mengoyak ketenangan hidup Ben. Dan kini, Ben merasa terjebak dalam skenario yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semua keputusan yang diambilnya selama ini tampak sia-sia di hadapan ancaman Sari yang begitu nyata."Ben," katanya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tenggelam oleh musik jazz yang lembut di latar belakang. "Kamu harus cari jalan keluar dari semua ini. Kalau nggak, semuanya akan hancur berantakan."Ben tahu bahwa posisinya saat ini sangatlah rentan. Jika Wulan sampai tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya hubungannya dengan Wula
Malam itu, suasana di rumah Summer terasa lebih hening dari biasanya. Rain duduk di sofa, menyusuri layar ponselnya dan sesekali mengetik sesuatu pada laptop yang ada di depannya. Sesekali, dia meletakkan ponselnya dan memijat pelipisnya yang terasa berat. Pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran yang tak berkesudahan—tentang pekerjaan, dan terutama tentang permintaan ibunya. Rain mendesah, karena ternyata liburan tidak menghilangkan pikiran dan kenyataan yang ada. Summer sedang berada di dapur, menyiapkan teh hangat untuk mereka berdua. Dia tahu bahwa Rain tampak lebih murung belakangan ini, meski Rain berusaha menutupinya dengan senyuman yang dipaksakan. Tetapi Summer cukup peka untuk merasakan perubahan halus dalam diri Rain. “Tehnya sudah siap,” ujar Summer, mencoba menyelipkan sedikit keceriaan dalam suaranya saat ia menghampiri Rain dengan dua cangkir teh. “Terima kasih, Summer,” jawab Rain dengan senyum tipis, menerima cangkir dari tangan Summer. Saat mereka mulai menyeruput t
Setelah menenangkan Haru yang akhirnya tertidur dengan lelap, Summer dan Rain menuju ruang televisi. Meski malam sudah cukup larut, tak ada tanda-tanda kelelahan di wajah mereka. Malam ini, lebih dari sekadar jam tidur yang terlewatkan, mereka dibayangi oleh kecemasan yang masih belum terjawab.Summer duduk di sofa dengan posisi tubuh yang sedikit membungkuk, wajahnya terlihat lelah dan penuh dengan rasa bersalah. Rain menyusul, duduk di sampingnya, menyandarkan punggungnya ke sofa, mencoba mengusir kepenatan yang terasa di sekujur tubuhnya. Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan itu, hanya suara detak jarum jam yang terdengar, menghitung setiap detik yang berlalu.Summer tahu, kejadian tadi mungkin menimbulkan tanda tanya pada Rain. Karena itu, Summer berusaha untuk menjelaskan pada Rain. "Aku... Aku bilang ke Haru kalau Ben sudah meninggal," ucap Summer dengan suara serak, memecah kesunyian. Rain mengangguk pelan, tidak terkejut dengan pengakuan itu. Ia sudah tahu tentang hal i
Keesokan harinya, matahari baru saja menyembul di ufuk timur ketika Rain bersiap mengantar Haru ke sekolah. Meski pikirannya masih penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, ia berusaha menjaga sikapnya tetap tenang di depan Haru. Anak kecil itu tampak ceria seperti biasanya, mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi dan memeluk tas punggung kecilnya. Rain tersenyum, berusaha menyingkirkan kekhawatiran yang sempat menghantuinya sepanjang malam. Summer yang melepaskan kepergian mereka, melambaikan tangannya sambil tersenyum. Ia harap hari ini akan menjadi hari yang lebih baik, Haru maupun ia dan Rain. Perjalanan ke sekolah Haru diisi dengan percakapan ringan, lebih banyak tentang pelajaran dan teman-temannya. Haru, meski semalam sempat menangis dan bertanya tentang ayahnya, kini tampak ceria kembali. Namun, Rain tahu bahwa di balik senyuman polos Haru, ada sebuah keingintahuan besar yang masih mengganjal. Setibanya di sekolah, Rain mengantar Haru ke kelasnya, melambaikan
Di sebuah kafe yang cukup tersembunyi di sudut kota, suasana yang biasanya tenang dan santai hari itu terasa lebih berat. Sari duduk di salah satu sudut, memandang jendela besar yang menghadap ke jalanan. Secangkir kopi hangat berada di depannya, namun ia tak menyentuhnya sama sekali. Perhatiannya tertuju pada ponsel yang terus-menerus ia cek, seolah-olah menunggu pesan yang tak kunjung datang. Ketika pintu kafe berbunyi, matanya segera beralih ke pintu masuk. Ben, dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apapun, memasuki kafe dan langsung menuju meja tempat Sari menunggunya. Tanpa sepatah kata pun, Ben duduk di depan Sari, pandangannya lurus ke depan. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja menelan pil pahit, dan memang begitulah yang ia rasakan. Hubungannya dengan Sari semakin membelitnya dalam jaringan yang sulit untuk ia lepaskan. Ia menyadari bahwa tak ada lagi jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Sari mengangkat alisnya, menyadari ketegangan yang jelas di wajah Ben. "