Di sebuah kafe yang cukup tersembunyi di sudut kota, suasana yang biasanya tenang dan santai hari itu terasa lebih berat. Sari duduk di salah satu sudut, memandang jendela besar yang menghadap ke jalanan. Secangkir kopi hangat berada di depannya, namun ia tak menyentuhnya sama sekali. Perhatiannya tertuju pada ponsel yang terus-menerus ia cek, seolah-olah menunggu pesan yang tak kunjung datang. Ketika pintu kafe berbunyi, matanya segera beralih ke pintu masuk. Ben, dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apapun, memasuki kafe dan langsung menuju meja tempat Sari menunggunya. Tanpa sepatah kata pun, Ben duduk di depan Sari, pandangannya lurus ke depan. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja menelan pil pahit, dan memang begitulah yang ia rasakan. Hubungannya dengan Sari semakin membelitnya dalam jaringan yang sulit untuk ia lepaskan. Ia menyadari bahwa tak ada lagi jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Sari mengangkat alisnya, menyadari ketegangan yang jelas di wajah Ben. "
Setelah bel sekolah berbunyi menandakan akhir hari, Rain menjemput Haru seperti biasa. Haru, dengan ransel yang lebih besar dari tubuhnya, berlari kecil menuju mobil Rain. Rain tersenyum melihat anak itu, dan membukakan pintu untuknya. "Bagaimana hari kamu di sekolah, Haru?" tanya Rain sambil menghidupkan mesin mobil dan mulai melaju perlahan. Haru yang biasanya ceria tampak sedikit murung. Dia duduk diam sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan apa yang ingin dia ceritakan. "Baik-baik saja, Om. Haru main sama teman-teman, jajan, belajar... oh iya! Haru juga ikutin kata-katanya ibu buat nggak bicara sama orang asing." Rain melirik Haru dari kaca spion dalam, merasa ada sesuatu yang janggal. "Emangnya ada orang yang ngajak Haru ngobrol?" Haru mengangguk. "Ada, Om. Ada Om-om yang tadi datang ke sekolah waktu jam istirahat," jawab Haru, matanya menatap lurus ke depan. "Dia bilang dia temannya ibu." Rain merasakan napasnya tertahan sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang tidak b
Malam itu, setelah Haru tertidur lelap di kamarnya, Rain dan Summer duduk bersama di ruang tamu rumah Summer. Malam telah cukup larut, namun mereka tetap terjaga, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Suasana di antara mereka tenang, namun ada kekhawatiran yang menggelayuti hati mereka berdua. Rain duduk di sofa, sementara Summer duduk di kursi di seberangnya, memandangi Rain dengan sorot mata penuh perhatian. "Masih belum ada petunjuk," tanya Summer akhirnya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Rain menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu bahwa ia harus menceritakan pertemuannya dengan Sari kepada Summer. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun darinya, terutama tentang hal-hal yang menyangkut Haru. "Aku ketemu dengan Sari sore tadi," ujar Rain, suaranya terdengar serius namun tenang. Summer mengernyitkan alisnya, sedikit terkejut mendengar hal itu. "Oh? Jadi gimana? Dia bilang apa aja?" Rain kembali menarik napasnya, pelan. "Aku tanya ke dia
Sari duduk di kursi empuk di kantornya, matanya berbinar penuh kepuasan. Segelas anggur merah berada di tangannya, dan senyum tipis melengkung di bibirnya. Hari ini, dia merasa berhasil mengendalikan semua kepingan catur dalam permainan yang ia rancang dengan cermat. "Ayah dan anak...," gumamnya, sambil memutar gelas anggur dalam genggamannya. "Itu ikatan yang nggak akan mungkin bisa dipisahkan dengan mudah." Dia tahu betul bahwa Ben sedang berada di ambang kehancuran mental. Rasa bersalah akan terus menghantui Ben, menggerogoti pikirannya, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak atau berpikir jernih. Sari bisa melihat bagaimana Ben akan mulai kehilangan ketenangannya, bagaimana tekanan dari kenyataan bahwa dia adalah ayah dari Haru akan terus menghantamnya dari berbagai sisi. "Rasa bersalah... adalah senjata yang paling ampuh," bisik Sari pada dirinya sendiri, senyumnya semakin lebar. "Ben akan dihancurkan oleh perasaannya sendiri. Dan aku nggak perlu melakukan banyak hal untuk itu
Di kantornya yang mewah, Sari duduk dengan anggun di kursi kulitnya yang mahal, ruangan itu dipenuhi dengan hiasan dan perabotan yang mencerminkan kesuksesan dan kekuasaan yang telah ia raih selama bertahun-tahun. Namun, kesuksesan materi bukanlah satu-satunya hal yang ia kejar; ada permainan yang lebih besar yang sedang ia mainkan, sebuah permainan yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Ponsel Sari berbunyi, dan dia dengan tenang mengangkatnya. Suara dari ujung telepon adalah suara yang sudah tidak asing lagi baginya—satpam yang telah ia bayar untuk selalu mengawasi Haru dan semua orang yang terhubung dengan anak itu. Ia membayar orang tersebut untuk memberinya informasi yang berguna, informasi yang bisa ia gunakan untuk mencapai tujuannya. "Lapor, Bu Sari," suara pria di seberang telepon terdengar sedikit gugup, tetapi jelas, "Hari ini saya liat Pak Rain berbicara dengan Pak Ben di depan sekolah. Mereka keliatan seperti sedang bertengkar, Bu. Wajah mereka tegang, dan kelihatanny
Malam telah tiba, menyelimuti Jakarta dengan kehangatan yang melembutkan hiruk-pikuk kota. Di apartemen milik Rain, Summer merasa ada sesuatu yang berbeda. Meskipun Rain berusaha tampak tenang, tatapan matanya yang kosong dan gerakan tubuhnya yang seakan berat memberitahukan Summer bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Summer meletakkan cangkir teh hangat di atas meja, lalu berjalan mendekati Rain yang sedang duduk di sofa, memandangi layar televisi yang sebenarnya tidak ia perhatikan. Suara-suara dari televisi hanya menjadi latar belakang yang tak terdengar di antara mereka. "Rain, ada apa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Summer dengan lembut, duduk di sampingnya. Ia menyentuh lengan Rain, mencoba menarik perhatiannya. Rain menoleh, tatapan matanya bertemu dengan mata Summer. Namun, alih-alih menjawab, ia hanya tersenyum tipis, seakan mencoba meyakinkan Summer bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Aku baik-baik aja, Summer," jawabnya, meski nada suaranya terdengar sedikit
Setelah pertemuan yang penuh emosi di depan gerbang sekolah Haru, perjalanan pulang terasa seperti berjalan dalam kabut yang pekat. Heningnya suasana di dalam mobil Rain menciptakan dinding tak terlihat antara dirinya dan Summer yang duduk diam di kursi sebelahnya. Tatapan Rain sesekali mencuri pandang ke arah Summer, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh wanita yang ia cintai itu. Namun, ekspresi Summer tetap kosong, matanya menatap lurus ke depan, seolah-olah tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk. Setibanya di apartemen, Rain memarkirkan mobilnya dengan perlahan, seolah-olah tidak ingin memecah kesunyian yang terasa begitu berat. Summer keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa, dan Rain mengikutinya masuk ke dalam apartemen. Pintu apartemen tertutup di belakang mereka dengan suara lembut, tetapi tetap saja, suasana yang menggelayut di antara mereka terasa begitu tegang. Rain mengambil inisiatif untuk meletakkan tas dan kunci mobil, sementara Summer
Wulan kembali ke apartemennya dengan perasaan yang campur aduk. Seluruh kejadian beberapa hari terakhir terus menghantui pikirannya, terutama perilaku Ben yang semakin sulit dipahami. Setelah percakapan makan siang yang membuatnya merasa tidak dihargai, ia pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Begitu tiba di apartemen, Wulan segera melepaskan tasnya dan melemparkan dirinya ke sofa. Air mata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya tumpah. Ia terisak dalam keheningan ruangan yang sepi. Seringkali ia memikirkan apakah keputusannya untuk terus bersama Ben adalah keputusan yang benar. Namun, setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya, perilaku Ben selalu memberinya alasan untuk ragu. Pertemuan mereka di restoran tadi membuat perasaan Wulan semakin tidak karuan. Ia tak bisa menghilangkan perasaan kalau Ben sedang menyembunyikan sesuatu darinya, dan intuisi kuat Wulan menuntunnya untuk menyelidiki keraguan dalam hatinya. Setelah tangisnya mereda, Wulan menghapus air matanya dan mencoba