Ben duduk sendirian di sudut bar yang remang-remang, dengan segelas bourbon di tangannya. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya imajinasi Ben yang terlalu terbebani dengan pikirannya. Setiap tegukan bourbon terasa berat, seperti beban di hatinya yang semakin menekan.Pikirannya terus berputar, memikirkan ancaman Sari yang semakin lama semakin intensif. Sari, dengan segala kecerdikannya, telah berhasil mengoyak ketenangan hidup Ben. Dan kini, Ben merasa terjebak dalam skenario yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semua keputusan yang diambilnya selama ini tampak sia-sia di hadapan ancaman Sari yang begitu nyata."Ben," katanya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tenggelam oleh musik jazz yang lembut di latar belakang. "Kamu harus cari jalan keluar dari semua ini. Kalau nggak, semuanya akan hancur berantakan."Ben tahu bahwa posisinya saat ini sangatlah rentan. Jika Wulan sampai tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya hubungannya dengan Wula
Malam itu, suasana di rumah Summer terasa lebih hening dari biasanya. Rain duduk di sofa, menyusuri layar ponselnya dan sesekali mengetik sesuatu pada laptop yang ada di depannya. Sesekali, dia meletakkan ponselnya dan memijat pelipisnya yang terasa berat. Pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran yang tak berkesudahan—tentang pekerjaan, dan terutama tentang permintaan ibunya. Rain mendesah, karena ternyata liburan tidak menghilangkan pikiran dan kenyataan yang ada. Summer sedang berada di dapur, menyiapkan teh hangat untuk mereka berdua. Dia tahu bahwa Rain tampak lebih murung belakangan ini, meski Rain berusaha menutupinya dengan senyuman yang dipaksakan. Tetapi Summer cukup peka untuk merasakan perubahan halus dalam diri Rain. “Tehnya sudah siap,” ujar Summer, mencoba menyelipkan sedikit keceriaan dalam suaranya saat ia menghampiri Rain dengan dua cangkir teh. “Terima kasih, Summer,” jawab Rain dengan senyum tipis, menerima cangkir dari tangan Summer. Saat mereka mulai menyeruput t
Setelah menenangkan Haru yang akhirnya tertidur dengan lelap, Summer dan Rain menuju ruang televisi. Meski malam sudah cukup larut, tak ada tanda-tanda kelelahan di wajah mereka. Malam ini, lebih dari sekadar jam tidur yang terlewatkan, mereka dibayangi oleh kecemasan yang masih belum terjawab.Summer duduk di sofa dengan posisi tubuh yang sedikit membungkuk, wajahnya terlihat lelah dan penuh dengan rasa bersalah. Rain menyusul, duduk di sampingnya, menyandarkan punggungnya ke sofa, mencoba mengusir kepenatan yang terasa di sekujur tubuhnya. Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan itu, hanya suara detak jarum jam yang terdengar, menghitung setiap detik yang berlalu.Summer tahu, kejadian tadi mungkin menimbulkan tanda tanya pada Rain. Karena itu, Summer berusaha untuk menjelaskan pada Rain. "Aku... Aku bilang ke Haru kalau Ben sudah meninggal," ucap Summer dengan suara serak, memecah kesunyian. Rain mengangguk pelan, tidak terkejut dengan pengakuan itu. Ia sudah tahu tentang hal i
Keesokan harinya, matahari baru saja menyembul di ufuk timur ketika Rain bersiap mengantar Haru ke sekolah. Meski pikirannya masih penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, ia berusaha menjaga sikapnya tetap tenang di depan Haru. Anak kecil itu tampak ceria seperti biasanya, mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi dan memeluk tas punggung kecilnya. Rain tersenyum, berusaha menyingkirkan kekhawatiran yang sempat menghantuinya sepanjang malam. Summer yang melepaskan kepergian mereka, melambaikan tangannya sambil tersenyum. Ia harap hari ini akan menjadi hari yang lebih baik, Haru maupun ia dan Rain. Perjalanan ke sekolah Haru diisi dengan percakapan ringan, lebih banyak tentang pelajaran dan teman-temannya. Haru, meski semalam sempat menangis dan bertanya tentang ayahnya, kini tampak ceria kembali. Namun, Rain tahu bahwa di balik senyuman polos Haru, ada sebuah keingintahuan besar yang masih mengganjal. Setibanya di sekolah, Rain mengantar Haru ke kelasnya, melambaikan
Di sebuah kafe yang cukup tersembunyi di sudut kota, suasana yang biasanya tenang dan santai hari itu terasa lebih berat. Sari duduk di salah satu sudut, memandang jendela besar yang menghadap ke jalanan. Secangkir kopi hangat berada di depannya, namun ia tak menyentuhnya sama sekali. Perhatiannya tertuju pada ponsel yang terus-menerus ia cek, seolah-olah menunggu pesan yang tak kunjung datang. Ketika pintu kafe berbunyi, matanya segera beralih ke pintu masuk. Ben, dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apapun, memasuki kafe dan langsung menuju meja tempat Sari menunggunya. Tanpa sepatah kata pun, Ben duduk di depan Sari, pandangannya lurus ke depan. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja menelan pil pahit, dan memang begitulah yang ia rasakan. Hubungannya dengan Sari semakin membelitnya dalam jaringan yang sulit untuk ia lepaskan. Ia menyadari bahwa tak ada lagi jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Sari mengangkat alisnya, menyadari ketegangan yang jelas di wajah Ben. "
Setelah bel sekolah berbunyi menandakan akhir hari, Rain menjemput Haru seperti biasa. Haru, dengan ransel yang lebih besar dari tubuhnya, berlari kecil menuju mobil Rain. Rain tersenyum melihat anak itu, dan membukakan pintu untuknya. "Bagaimana hari kamu di sekolah, Haru?" tanya Rain sambil menghidupkan mesin mobil dan mulai melaju perlahan. Haru yang biasanya ceria tampak sedikit murung. Dia duduk diam sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan apa yang ingin dia ceritakan. "Baik-baik saja, Om. Haru main sama teman-teman, jajan, belajar... oh iya! Haru juga ikutin kata-katanya ibu buat nggak bicara sama orang asing." Rain melirik Haru dari kaca spion dalam, merasa ada sesuatu yang janggal. "Emangnya ada orang yang ngajak Haru ngobrol?" Haru mengangguk. "Ada, Om. Ada Om-om yang tadi datang ke sekolah waktu jam istirahat," jawab Haru, matanya menatap lurus ke depan. "Dia bilang dia temannya ibu." Rain merasakan napasnya tertahan sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang tidak b
Malam itu, setelah Haru tertidur lelap di kamarnya, Rain dan Summer duduk bersama di ruang tamu rumah Summer. Malam telah cukup larut, namun mereka tetap terjaga, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Suasana di antara mereka tenang, namun ada kekhawatiran yang menggelayuti hati mereka berdua. Rain duduk di sofa, sementara Summer duduk di kursi di seberangnya, memandangi Rain dengan sorot mata penuh perhatian. "Masih belum ada petunjuk," tanya Summer akhirnya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Rain menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu bahwa ia harus menceritakan pertemuannya dengan Sari kepada Summer. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun darinya, terutama tentang hal-hal yang menyangkut Haru. "Aku ketemu dengan Sari sore tadi," ujar Rain, suaranya terdengar serius namun tenang. Summer mengernyitkan alisnya, sedikit terkejut mendengar hal itu. "Oh? Jadi gimana? Dia bilang apa aja?" Rain kembali menarik napasnya, pelan. "Aku tanya ke dia
Sari duduk di kursi empuk di kantornya, matanya berbinar penuh kepuasan. Segelas anggur merah berada di tangannya, dan senyum tipis melengkung di bibirnya. Hari ini, dia merasa berhasil mengendalikan semua kepingan catur dalam permainan yang ia rancang dengan cermat. "Ayah dan anak...," gumamnya, sambil memutar gelas anggur dalam genggamannya. "Itu ikatan yang nggak akan mungkin bisa dipisahkan dengan mudah." Dia tahu betul bahwa Ben sedang berada di ambang kehancuran mental. Rasa bersalah akan terus menghantui Ben, menggerogoti pikirannya, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak atau berpikir jernih. Sari bisa melihat bagaimana Ben akan mulai kehilangan ketenangannya, bagaimana tekanan dari kenyataan bahwa dia adalah ayah dari Haru akan terus menghantamnya dari berbagai sisi. "Rasa bersalah... adalah senjata yang paling ampuh," bisik Sari pada dirinya sendiri, senyumnya semakin lebar. "Ben akan dihancurkan oleh perasaannya sendiri. Dan aku nggak perlu melakukan banyak hal untuk itu