2014, Indonesia.
Acara wisuda Universitas Garuda, menjadi akhir dari para wisudawan, menempuh pendidikan tinggi untuk meraih gelar sarjana. Setelah acara wisuda tersebut berakhir, banyak mahasiswa dari berbagai jurusan yang berfoto bersama dengan teman-teman mereka dan juga keluarga. Di tengah-tengah keramaian tersebut, ada beberapa pria yang berkumpul sambil mendiskusikan masa depan mereka lebih lanjut. "Akhirnya kita resmi jadi pengangguran," ucap Radit, sambil tersenyum. Soni ikut tersenyum, mendengarkan kata-kata Radit. "Orang kayak lo bakal jadi pengangguran?" Radit mengerutkan keningnya. "Emang kenapa? Gue kan nggak ada kerjaan." Bastian yang sejak tadi mendengar percakapan teman-temanya, akhirnya ikut membuka suara. "Radit? Orang tua lo punya firma hukum sendiri. Lo jangan buat gue yang harus ikut tes CPNS jadi patah semangat karena kata-kata lo." Radit mengedikan bahunya. "Itu kan perusahaan orang tua gue, bukan gue. Mereka juga nggak bakalan nerima gue gitu aja." Soni menyipitkan matanya. "Mereka nggak terima lo jadi karyawan, karena mereka bakal buat lo jadi direktur firma hukum mereka, kan?" Radit tersenyum lebar, lalu menjawab, "gue juga harap gitu, sih." Bastian langsung menggelengkan kepalanya. "Hah... Inilah nasib anak dari keluarga sederhana. Capek-capek kuliah, masih harus ikut banyak tes sama wawancara. Bagus kalau langsung keterima." Radit mengerutkan keningnya. "Kalau nggak, kenapa?" Bastian mendesah panjang. "Gue udah bisa bayangin mulut tetangga-tetangga gue yang suka nyinyir. Pasti pada ngatain, kuliah capek-capek, ujungnya ngojek juga." Walau Bastian sedang curhat tentang masalah hidupnya, tapi teman-temannya malah menertawainya. "Terus lo gimana?" tanya Soni, pada seorang laki-laki yang sejak tadi hanya diam. Kini pandangan mereka bertiga tertuju pada laki-laki dengan potongan rambut two block, kulit putih dengan postur tubuh ideal. "Nggak tau. Gue belum mikir mau ngapain." Soni kembali menggelengkan kepalanya. "Rain? Sejak masuk kuliah, emang lo satu-satunya orang yang nggak pernah ada tujuan hidup, ya? Ditanya apapun, pasti jawabannya nggak tau." Rain, laki-laki yang kerap kali menarik perhatian mahasiswi di Universitas Garuda, membalas kata-kata Soni dengan mengedikan bahu. "Emang lo nggak niat lanjutin bisnis hotel orang tua lo?" tanya Bastian. Rain berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bastian. Orang tua Rain adalah pengusaha terkenal yang bergerak di bidang perhotelan. Karena itu teman-teman Rain selalu mengira kalau ia tidak perlu mengkhawatirkan hidupnya. Tapi ada hal yang tidak mereka tahu tentang kehidupan Rain. Rain Frederick Jansen adalah anak dari Andreas Jansen dan Lili Tri Utami-Jansen. Sejak kecil, Andreas sudah mendidik Rain dengan sangat keras. Sedangkan Lili juga sibuk dengan urusan sosial dan kemanusiaan di banyak organisasi dan yayasan. Karena kesibukan orang tuanya, Rain tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Rain tidak tahu, apakah ia akan melanjutkan hotel orang tuanya, karena ia tidak berniat untuk terjun ke bisnis tersebut. Faktanya, Rain lebih suka menulis, menggambar, dan bernyanyi. Segala hal yang berhubungan dengan seni, Rain begitu menyukainya. Namun pernah ada satu waktu, di saat Rain mengungkapkan keinginan untuk sekolah seni, orang tuanya malah menentang Rain, dan memaksa Rain untuk mengambil jurusan ekonomi manajemen. Seperti itulah, Rain berakhir di Universitas Garuda, dengan gelar Sarjana Ekonomi. "Gue nggak tau." Lagi, Rain menjawab dengan jawaban yang sama. Setelah itu ia pamit pergi. "Gue balik dulu." Radit tersenyum, melepas kepergian Rain. Sedangkan Soni menyadari sesuatu yang aneh, setelah sekian lama berteman dengan Rain. "Orang tua Rain kok nggak datang hari ini?" Bastian menatap Soni. "Mungkin mereka pada sibuk dengan bisnisnya." Soni mengangguk perlahan. Ia berpikir, sesibuk apapun orang tua Rain, mereka seharusnya menyempatkan diri untuk hadir pada moment bahagia seperti ini. Namun Soni tidak ingin berpikir lebih jauh, karena ia juga punya banyak masalah yang harus ia pikirkan. *** Rain berjalan, menyusuri bangunan jurusan ekonomi yang akan ia tinggalkan sebentar lagi. Ada banyak kenangan yang terjadi di gedung ini, salah satunya tentang wanita cantik bernama Summer Liliana Widjaja. Wanita yang kerap disapa Summer itu, menjadi salah satu alasan mengapa Rain selalu datang ke kampus. Wanita itu pintar dan energik. Tidak hanya itu, ia juga memiliki hati seperti ibu peri. Namun kekaguman Rain hanya bisa Rain simpan, karena Summer sudah memiliki pasangan. Saat Rain ingin meninggalkan gedung tersebut, suara seorang wanita tiba-tiba terdengar dari dalam kelas. "Gue hamil, Ben!!! Lo harus tanggung jawab!!!" Rain terdiam. Suara itu tidak asing di telinganya. Apalagi nama Ben yang baru saja terucap. "Terus gue harus gimana?!!" Yang baru saja berbicara adalah seorang laki-laki, jadi Rain langsung mengambil kesimpulan kalau itu adalah Ben. Namun, Rain berharap kalau wanita yang sedang berbicara dengan Ben bukanlah Summer. "Kita baru aja lulus kuliah! Kita belum punya kerjaan! Gimana kita bisa hidupin bayi dalam kandungan lo, Summer?!! Please, mikir pakai otak lo yang pintar itu!!" Rain seperti jatuh ke dalam lubang tak berujung. Ia tahu Summer sudah lama menjalin hubungan dengan Ben. Bukan hanya dia, tapi hampir seluruh fakultas juga tahu tentang fakta itu. Tapi apa yang baru saja mereka bicarakan??? Summer hamil??? "Gue tau, Ben! Gue tau itu! Tapi itu bukan alasan untuk lo sama gue nolak kehadiran anak ini, Ben! Ini anak kita!" Di telinga Rain, suara Summer seperti sedang menahan tangis. "Summer?! Dia itu belum ada! Dia masih dalam bentuk janin! Lo mau karena ini, mimpi lo jadi hilang?! Bukannya lo mau jadi wanita karir?!" Rain bergerak perlahan, mendekati ruangan tempat Ben dan Summer berdebat. Ia menyandarkan punggungnya di tembok, dan tidak menunjukkan dirinya pada Ben dan Summer. "Gue memang punya mimpi, tapi gue nggak mau jadi pembunuh, Ben." Suara Summer mulai melunak. "Ini anak kita, dan gue mau kita berdua ambil tanggung jawab ini." "Shitt!! Gue nggak tau lo sebego ini!! Dia itu hanya kesalahan, dan dia bukan bagian dari rencana kita saat ini!! Gue pengen lanjut S2 di London, dan gue nggak mau mimpi gue hancur, hanya karena bayi dalam perut lo!!" Rain terkejut. Bagaimana bisa Ben mengeluarkan kata-kata sejahat itu? "Gue nggak nyangka, selama ini gue udah kasih hati dan hidup gue ke cowok brangsek kayak lo, Ben!" "Gue nggak peduli! Gugurin kandungan lo, dan kita anggap semua ini nggak pernah terjadi. Oke?!" Hening sejenak, sebelum Summer kembali membuka mulutnya. "Gue nggak akan gugurin kandungan gue. Ini anak gue, dan gue akan bertanggung jawab." "Lo udah gila!!" "Tenang aja. Gue nggak minta lo buat ikut tanggung jawab, Ben. Gue juga nggak sudi anak gue punya ayah, laki-laki bajingan kayak lo! Mulai detik ini, kita nggak punya hubungan apa-apa lagi!!" Setelah berkata seperti itu, Summer keluar dari ruangan tersebut. Ia pikir tidak ada yang mendengar pertengkaran dirinya dan Ben, namun ternyata ia salah. Di luar kelas, ia menangkap sosok pria yang selalu menarik perhatian para wanita di fakultas ekonomi. Jantung Summer seperti akan meledak. Matanya bergetar karena takut. "Rain??? Lo dengar semuanya???" ***Rain tetap diam di tempatnya. Terang saja ia mendengar semuanya, tapi ia tetap menutup mulutnya. "Summer?!" Summer menoleh ke arah Ben yang juga ikut keluar dari dalam ruangan tersebut."Lo harus..." Kata-kata Ben terhenti karena sosok Rain yang juga ia tangkap dengan kedua matanya, sedang berdiri menatap ke arahnya dan Summer.Kini ketiga orang itu saling menatap, dengan pemikiran mereka masing-masing. "Lo ngapain di sini?" tanya Ben, setelah hening yang cukup mencekam.Dengan tatapan datarnya, Rain membalas kata-kata Ben. "Emang ada larangan buat gue nggak boleh ada di sini?"Ben terdiam. Ia sudah mengajukan pertanyaan yang bodoh kepada Rain. Namun jika Rain ada di sini, itu berarti ia juga telah mendengarkan pertengkaran Ben dan Summer. Ben ingin mengkonfirmasi hal tersebut, tapi ia tidak punya keberanian untuk membuka mulutnya.Sedangkan Summer juga sama khawatirnya seperti Ben. Apalagi Rain juga tidak menjawab pertanyaannya. Suasana yang canggung itu akhirnya diakhiri oleh Ra
Summer masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa??? Lo bilang apa barusan???" Rain menarik nafasnya dalam-dalam. Untuk yang ketiga kalinya, ia mengulangi kalimat dengan maksud yang sama. "Gue bakal jadi ayah dari bayi dalam kandungan lo." Summer terdiam. Apa Rain sedang bercanda dengannya? Atau, apa mungkin kondisi Summer saat ini begitu menyedihkan, sampai-sampai seseorang yang dikenal dingin dan cuek seperti Rain bisa mengeluarkan kalimat seperti itu? Entah mana yang benar, namun Summer tidak merasa senang dengan kata-kata Rain. Kondisinya tidak bisa dijadikan lelucon. Ia juga tidak ingin Rain menganggap remeh dirinya. Ia tidak ingin dikasihani oleh Rain, dan harga dirinya menolak untuk bersikap lemah. "Lo pikir ini lucu?" ucap Summer dengan ekspresi dingin. "Terima kasih karena udah nolong gue. Tapi, gue nggak butuh rasa kasihan lo, atau kata-kata penghiburan dari lo. Gue tau keadaan gue sekarang benar-benar kacau, tapi bukan berarti lo seenaknya aja ngomo
"Ibu?!" Summer begitu terkejut saat melihat ibunya menampar Rain. Tanpa pikir panjang, Summer langsung melompat dari tempat tidur, walau kondisinya masih belum pulih. "Ibu apa-apaan?!! Kenapa ibu nampar dia?!!" Meilani menatap Summer yang kini sudah berdiri di antara dirinya dan laki-laki yang baru saja ia tampar. "Dia yang sudah hamilin kamu, kan?!! Dasar laki-laki kurang-""Bukan, Bu!! Bukan dia yang hamilin Summer!!" potong Summer, dengan suara kencang. "Ibu jangan buat malu Summer di depan dia!! Dia yang sudah bawa Summer ke rumah sakit!! Dia nggak tau apa-apa soal ini!!"Angga yang tadi sempat mematung, juga ikut bergerak ke sisi Meilani dan buru-buru menenangkan Meilani. "Maaf, istri saya sudah bertindak di luar batas," ucap Angga kepada Rain. "Kamu bohong, kan?!! Pasti kamu bohong hanya karena mau lindungi dia!!" "Meilani!" Suara Angga yang sejak tadi tenang, kini mulia meninggi. "Tenangin diri kamu!""Tapi Mas-""Meilani?" Angga menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Janga
Ceklek Bunyi pintu yang ditutup membuat Meilani menoleh. "Mas dari mana aja?" tanya Meilani.Angga tersenyum singkat, lalu menjawab pertanyaan Meilani. "Aku tadi bicara dengan teman Summer di bawah."Meilani tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Kalian bicara apa aja? Gimana soal yang tadi? Mas sudah bicara baik-baik dengan dia?" Angga mengangguk. "Kalau soal salah paham yang tadi, dia nggak marah atau tersinggung. Mama nggak perlu khawatir."Meilani langsung menghembuskan nafasnya, lega. "Syukur kalau gitu. Aku harus minta maaf langsung ke dia, nanti. Aku benar-benar nyesal sudah nampar dia."Angga tersenyum, sambil menepuk bahu Meilani. "Gimana keadaan Summer?" tanya Angga.Meilani menoleh, menatap Summer yang sudah tertidur pulas. "Dia langsung tidur waktu Mas keluar. Oh iya, Mas sudah tau siapa laki-laki yang berhubungan dengan Summer?"Angga menggelengkan kepalanya. "Belum."Meilani mengatup rahangnya rapat-rapat. "Laki-laki kurang ajar!! Kita harus laporin dia ke poli
Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya. ***Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar.Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu."Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk.Suara di ujung telepon terden
Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer. "Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summ
Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia