Share

ART Kesayangan Tuan Rain
ART Kesayangan Tuan Rain
Author: Andromeda Timur

01

2014, Indonesia.

Acara wisuda Universitas Garuda, menjadi akhir dari para wisudawan, menempuh pendidikan tinggi untuk meraih gelar sarjana.

Setelah acara wisuda tersebut berakhir, banyak mahasiswa dari berbagai jurusan yang berfoto bersama dengan teman-teman mereka dan juga keluarga.

Di tengah-tengah keramaian tersebut, ada beberapa pria yang berkumpul sambil mendiskusikan masa depan mereka lebih lanjut.

"Akhirnya kita resmi jadi pengangguran," ucap Radit, sambil tersenyum.

Soni ikut tersenyum, mendengarkan kata-kata Radit. "Orang kayak lo bakal jadi pengangguran?"

Radit mengerutkan keningnya. "Emang kenapa? Gue kan nggak ada kerjaan."

Bastian yang sejak tadi mendengar percakapan teman-temanya, akhirnya ikut membuka suara. "Radit? Orang tua lo punya firma hukum sendiri. Lo jangan buat gue yang harus ikut tes CPNS jadi patah semangat karena kata-kata lo."

Radit mengedikan bahunya. "Itu kan perusahaan orang tua gue, bukan gue. Mereka juga nggak bakalan nerima gue gitu aja."

Soni menyipitkan matanya. "Mereka nggak terima lo jadi karyawan, karena mereka bakal buat lo jadi direktur firma hukum mereka, kan?"

Radit tersenyum lebar, lalu menjawab, "gue juga harap gitu, sih."

Bastian langsung menggelengkan kepalanya. "Hah... Inilah nasib anak dari keluarga sederhana. Capek-capek kuliah, masih harus ikut banyak tes sama wawancara. Bagus kalau langsung keterima."

Radit mengerutkan keningnya. "Kalau nggak, kenapa?"

Bastian mendesah panjang. "Gue udah bisa bayangin mulut tetangga-tetangga gue yang suka nyinyir. Pasti pada ngatain, kuliah capek-capek, ujungnya ngojek juga."

Walau Bastian sedang curhat tentang masalah hidupnya, tapi teman-temannya malah menertawainya.

"Terus lo gimana?" tanya Soni, pada seorang laki-laki yang sejak tadi hanya diam.

Kini pandangan mereka bertiga tertuju pada laki-laki dengan potongan rambut two block, kulit putih dengan postur tubuh ideal.

"Nggak tau. Gue belum mikir mau ngapain."

Soni kembali menggelengkan kepalanya. "Rain? Sejak masuk kuliah, emang lo satu-satunya orang yang nggak pernah ada tujuan hidup, ya? Ditanya apapun, pasti jawabannya nggak tau."

Rain, laki-laki yang kerap kali menarik perhatian mahasiswi di Universitas Garuda, membalas kata-kata Soni dengan mengedikan bahu.

"Emang lo nggak niat lanjutin bisnis hotel orang tua lo?" tanya Bastian.

Rain berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bastian.

Orang tua Rain adalah pengusaha terkenal yang bergerak di bidang perhotelan. Karena itu teman-teman Rain selalu mengira kalau ia tidak perlu mengkhawatirkan hidupnya. Tapi ada hal yang tidak mereka tahu tentang kehidupan Rain.

Rain Frederick Jansen adalah anak dari Andreas Jansen dan Lili Tri Utami-Jansen.

Sejak kecil, Andreas sudah mendidik Rain dengan sangat keras. Sedangkan Lili juga sibuk dengan urusan sosial dan kemanusiaan di banyak organisasi dan yayasan. Karena kesibukan orang tuanya, Rain tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup.

Rain tidak tahu, apakah ia akan melanjutkan hotel orang tuanya, karena ia tidak berniat untuk terjun ke bisnis tersebut. Faktanya, Rain lebih suka menulis, menggambar, dan bernyanyi. Segala hal yang berhubungan dengan seni, Rain begitu menyukainya.

Namun pernah ada satu waktu, di saat Rain mengungkapkan keinginan untuk sekolah seni, orang tuanya malah menentang Rain, dan memaksa Rain untuk mengambil jurusan ekonomi manajemen.

Seperti itulah, Rain berakhir di Universitas Garuda, dengan gelar Sarjana Ekonomi.

"Gue nggak tau." Lagi, Rain menjawab dengan jawaban yang sama. Setelah itu ia pamit pergi. "Gue balik dulu."

Radit tersenyum, melepas kepergian Rain.

Sedangkan Soni menyadari sesuatu yang aneh, setelah sekian lama berteman dengan Rain. "Orang tua Rain kok nggak datang hari ini?"

Bastian menatap Soni. "Mungkin mereka pada sibuk dengan bisnisnya."

Soni mengangguk perlahan. Ia berpikir, sesibuk apapun orang tua Rain, mereka seharusnya menyempatkan diri untuk hadir pada moment bahagia seperti ini. Namun Soni tidak ingin berpikir lebih jauh, karena ia juga punya banyak masalah yang harus ia pikirkan.

***

Rain berjalan, menyusuri bangunan jurusan ekonomi yang akan ia tinggalkan sebentar lagi.

Ada banyak kenangan yang terjadi di gedung ini, salah satunya tentang wanita cantik bernama Summer Liliana Widjaja.

Wanita yang kerap disapa Summer itu, menjadi salah satu alasan mengapa Rain selalu datang ke kampus. Wanita itu pintar dan energik. Tidak hanya itu, ia juga memiliki hati seperti ibu peri.

Namun kekaguman Rain hanya bisa Rain simpan, karena Summer sudah memiliki pasangan.

Saat Rain ingin meninggalkan gedung tersebut, suara seorang wanita tiba-tiba terdengar dari dalam kelas.

"Gue hamil, Ben!!! Lo harus tanggung jawab!!!"

Rain terdiam. Suara itu tidak asing di telinganya. Apalagi nama Ben yang baru saja terucap.

"Terus gue harus gimana?!!"

Yang baru saja berbicara adalah seorang laki-laki, jadi Rain langsung mengambil kesimpulan kalau itu adalah Ben. Namun, Rain berharap kalau wanita yang sedang berbicara dengan Ben bukanlah Summer.

"Kita baru aja lulus kuliah! Kita belum punya kerjaan! Gimana kita bisa hidupin bayi dalam kandungan lo, Summer?!! Please, mikir pakai otak lo yang pintar itu!!"

Rain seperti jatuh ke dalam lubang tak berujung. Ia tahu Summer sudah lama menjalin hubungan dengan Ben. Bukan hanya dia, tapi hampir seluruh fakultas juga tahu tentang fakta itu. Tapi apa yang baru saja mereka bicarakan??? Summer hamil???

"Gue tau, Ben! Gue tau itu! Tapi itu bukan alasan untuk lo sama gue nolak kehadiran anak ini, Ben! Ini anak kita!"

Di telinga Rain, suara Summer seperti sedang menahan tangis.

"Summer?! Dia itu belum ada! Dia masih dalam bentuk janin! Lo mau karena ini, mimpi lo jadi hilang?! Bukannya lo mau jadi wanita karir?!"

Rain bergerak perlahan, mendekati ruangan tempat Ben dan Summer berdebat. Ia menyandarkan punggungnya di tembok, dan tidak menunjukkan dirinya pada Ben dan Summer.

"Gue memang punya mimpi, tapi gue nggak mau jadi pembunuh, Ben." Suara Summer mulai melunak. "Ini anak kita, dan gue mau kita berdua ambil tanggung jawab ini."

"Shitt!! Gue nggak tau lo sebego ini!! Dia itu hanya kesalahan, dan dia bukan bagian dari rencana kita saat ini!! Gue pengen lanjut S2 di London, dan gue nggak mau mimpi gue hancur, hanya karena bayi dalam perut lo!!"

Rain terkejut. Bagaimana bisa Ben mengeluarkan kata-kata sejahat itu?

"Gue nggak nyangka, selama ini gue udah kasih hati dan hidup gue ke cowok brangsek kayak lo, Ben!"

"Gue nggak peduli! Gugurin kandungan lo, dan kita anggap semua ini nggak pernah terjadi. Oke?!"

Hening sejenak, sebelum Summer kembali membuka mulutnya. "Gue nggak akan gugurin kandungan gue. Ini anak gue, dan gue akan bertanggung jawab."

"Lo udah gila!!"

"Tenang aja. Gue nggak minta lo buat ikut tanggung jawab, Ben. Gue juga nggak sudi anak gue punya ayah, laki-laki bajingan kayak lo! Mulai detik ini, kita nggak punya hubungan apa-apa lagi!!"

Setelah berkata seperti itu, Summer keluar dari ruangan tersebut. Ia pikir tidak ada yang mendengar pertengkaran dirinya dan Ben, namun ternyata ia salah. Di luar kelas, ia menangkap sosok pria yang selalu menarik perhatian para wanita di fakultas ekonomi.

Jantung Summer seperti akan meledak. Matanya bergetar karena takut. "Rain??? Lo dengar semuanya???"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status