Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer.
"Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summer tentu menolak tawaran Misel. Walau Misel bilang murah, tapi tetap saja itu adalah jumlah uang yang cukup besar. "Nggak. Gue yang bayar," tegas Summer. "Udah cukup lo bantu gue." Misel menyipitkan matanya. "Summer? Lo bakal pergi ke Korea, dan di sana nggak ada siapa-siapa yang bisa lo andalin. Gue juga nggak bisa bantu lo kalau lo udah di sana. Jadi selama gue sanggup bantu lo di sini, gue minta lo nggak usah nolak bantuan gue. Oke?" Mata Summer berkaca-kaca karena haru. "Lo emang teman paling best yang gue punya!" Misel mendengus sambil memukul dadanya. "Gue emang yang terbaik, makasih." Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Misel akhirnya menyelesaikan pemesanan tiket. "Oke, tiket udah beres. Sekarang kita harus mikir, di mana lo tinggal nanti kalau lo udah sampai di Korea." Sumber juga memikirkan hal tersebut. "Gue juga belum tau bakal tinggal di mana." Misel tersenyum angkuh sambil mengangkat dagunya. "Lo punya Misel di sini. Lo nggak perlu khawatir." Summer ikut tersenyum, mengangkat dua jari jempolnya. "Gue ngandelin lo." Misel, yang merupakan seorang selebgram dengan banyak pengikut, memutuskan untuk menggunakan jaringan sosial medianya. Ia membuka aplikasi sosial media miliknya dan mulai menghubungi teman-temannya. "Gue coba tanya teman-teman gue yang ada di Korea, siapa tau ada yang bisa bantu." Ia mulai mengirim pesan satu per satu kepada teman-temannya yang tinggal di Korea atau yang pernah tinggal di sana. “Hey, aku butuh bantuan. Temanku sedang dalam situasi darurat dan perlu tempat tinggal di Korea. Ada yang bisa bantu?” Tidak butuh waktu lama bagi Misel untuk mendapatkan beberapa tanggapan. Salah satu temannya, seorang influencer bernama Ji-hye, merespon dengan cepat. "Hai, Misel. Temanmu bisa tinggal di apartemenku selama seminggu, sampai dia menemukan tempat lain. Beri tahu aku kapan dia tiba." Misel menunjukkan pesan itu kepada Summer, yang langsung terlihat lega. "Kita punya tempat untuk lo tinggal sementara," kata Misel sambil tersenyum. Summer merasa sedikit lega, meskipun masalah utamanya belum sepenuhnya terselesaikan. "Terima kasih, Misel. gue benar-benar nggak tau harus gimana kalau nggak ada lo." Misel menepuk pundak Summer dengan lembut. "Gue ini sahabat lo, Summer. Gue hanya minta lo kuat buat hadapin hidup lo ke depannya. Sekarang pastiin semua dokumen lo udah siap. Paspor, visa, semuanya." Summer memeriksa tasnya untuk memastikan semua dokumen penting sudah ada di dalamnya. "Semua udah siap. Kita hanya perlu nunggu sampai waktu berangkat." Misel tersenyum, puas. "Kalau gitu kita cari makan dulu. Gue lapar banget soalnya." Summer mengangguk, kemudian mengikuti Misel keluar dari kamar hotel. *** Rain mengemudikan mobilnya ke rumah Misel, yang ia tahu adalah teman baik Summer. Pikirannya terus-menerus memikirkan Summer. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus ia sampaikan, sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka berdua. Tapi sekarang, dengan Summer yang menghilang, Rain merasa putus asa. Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Rain menghubungi seseorang bernama David yang terkenal dengan kemampuannya melacak orang. "Gimana David? Lo udah ketemu jejaknya Summer?" "Gue butuh waktu, Rain. Gue lagi ngelacak pergerakan hp dia, tapi hp dia nggak aktif. Gue lagi coba cara lain sekarang," tutur David, menjelaskan. Rain mengembuskan nafas, kasar. "Hah! Oke, kabarin gue kalau ada informasi baru." "Gue bakal kabarin lo secepatnya," jawab David, kemudian memutuskan sambungan telepon. *** Di lain sisi, David mulai bekerja dengan cepat. Ia memeriksa rekaman CCTV di sekitar rumah sakit dan mendapati jejak Summer yang meninggalkan rumah sakit. Ia juga mengamati gerak-gerik Misel, sahabat Summer yang sangat aktif di media sosial. Waktu berlalu tanpa David sadari kalau hari mulai gelap. Setelah beberapa jam menyelidiki, David akhirnya menemukan jejak Misel. Di salah satu sosial media miliknya, Misel sempat membalas beberapa komentar dan bertanya mengenai Korea. Dari situ, David mulai menyelidiki lebih jauh, dan akhirnya ia mendapat informasi terkait Summer. Tanpa berlama-lama, David langsung menghubungi Rain untuk menyampaikan informasi tersebut. *** "Misel aktif beberapa jam yang lalu di sosial media. Dia nanya soal Korea, dan bilang kalau ada temannya yang butuh bantuan soal tempat tinggal di Korea." Suara David yang tenang namun tegas, membuat Rain merasa hatinya semakin berat. "Jadi lo ambil kesimpulan kalau temannya Misel itu, Summer?" Dari seberang, David menjawab pertanyaan Rain. "Gue yakin 80 persen. Lagian lo ke rumah Misel, orang tua Misel bilang dia nggak ada, kan?" Rain diam, mendengarkan penjelasan David, dan segala jejak Misel yang bisa David temukan. Penjelasan David juga mulai terdengar masuk akal di benak Rain. "Lo bisa cari tau, kapan mereka berangkat?" tanya Rain. Ia mengambil kunci mobil, kemudian bergegas keluar kamar. "Ada penerbangan ke Korea jam 11 malam ini. Gue yakin mereka bakal ada di bandara." Rain masuk ke mobilnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. "Oke, gue ke bandara sekarang." Rain memutuskan sambungan telepon, lalu memacu mobilnya menuju bandara dengan kecepatan tinggi. Ia berharap kalau ia belum terlambat. *** Di bandara, Summer dan Misel berdiri berhadapan, mata mereka berkaca-kaca. "Misel, terima kasih buat semuanya," ujar Summer, suaranya bergetar. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada Misel. Ia pikir ia sudah siap untuk pergi, tapi ternyata perpisahan terasa lebih menyedihkan dan menyiksa. Misel menarik Summer ke dalam pelukannya, dana memeluknya erat. "Jaga diri lo baik-baik di sana, Summer. Kita akan selalu kontekan. Jangan ragu buat hubungi gue kapan aja." Summer menahan air mata, tapi gagal. "Gue pasti bakal rindu banget sama lo." Misel melepas pelukannya, kemudian menyeka air mata Summer. "Gue juga bakal rindu lo. Tetap kuat, ya." Summer mengangguk. "Gue harus masuk sekarang." Misel ikut mengangguk. "Ingat, kabarin gue kalau lo udah sampai sana." Summer tersenyum, kemudian berbalik dengan berat hati. Pilihan yang ia ambil akan mengubah seluruh hidupnya, namun ia akan menghadapi kehidupan yang ia pilih dengan berani. Sambil memegang perutnya, ia menguatkan diri dan bayi yang ada di dalam kandungan. Namun belum jauh Summer melangkah, suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar dari kejauhan. "Summer?!!!" ***Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen yang telah disediakan Misel, suasana mobil dipenuhi oleh antusiasme Misel. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang bagaimana kehidupan Summer di Korea, apakah Haru sudah beradaptasi dengan baik, dan bagaimana perasaan Summer setelah kembali ke Indonesia. Summer menjawab dengan singkat, sambil sesekali tersenyum. Walau raga Summer kini sedang bersama Misel dan Haru, tapi pikirannya terus melayang ke Rain. Ia masih teringat dengan jelas betapa tampannya Rain saat mereka bertemu di bandara. Penampilannya yang semi-casual, potongan rambut two block yang trendi, dan aroma parfum yang khas masih membekas dalam ingatannya. Rain terlihat semakin menawan dan dewasa. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Rain terlewatkan, meninggalkan Summer dengan rasa penyesalan yang mengganggu. "Summer?" Summer mengerjap beberapa kali. "Iya, Sel?" "Lo lagi mikirin apa?" tanya Misel, menyelidik. Summer langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ngg
Pameran lukisan yang diadakan Rain di Korea telah menjadi acara yang sukses besar. Galeri tersebut dipenuhi dengan pengunjung yang terpesona oleh karya-karya seni Rain. Beberapa kolektor seni terkemuka bahkan bersedia membayar dengan harga yang fantastis untuk membawa pulang salah satu karyanya. Di tengah keramaian, Rain berdiri dengan senyum bangga, merasa bahwa semua usaha dan kerja kerasnya terbayar lunas. Para wartawan dari berbagai media bergegas mendekatinya, dan mulai melemparkan pertanyaan. Rain memaksakan seulas senyum dan bersikap ramah pada para wartawan. Ada banyak pertanyaan yang datang seputar pameran dan lukisan-lukisan miliknya. Ada juga beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadi, tapi Rain tidak ingin terlalu terbuka kepada para wartawan. Salah satu wartawan, seorang wanita dengan senyum ramah berhasil menarik perhatian Rain. "Tuan Jansen, selamat atas kesuksesan besar pameran Anda malam ini! Apa rencana Anda selanjutnya?" Rain berpikir sejenak sebelum men
Rain tiba di Hotel The Guardian, hotel mewah yang dikelola oleh keluarga Jansen. Begitu melangkah masuk, ia disambut dengan hangat oleh staf hotel yang sudah mengenalnya dari berbagai sumber. Hotel ini adalah salah satu ikon kota, dikenal tidak hanya karena kemewahannya tetapi juga karena pelayanan yang luar biasa. Di lobi hotel, Andreas dan Lili Jansen memperkenalkan Rain kepada para karyawan hotel. Tak hanya itu, banyak yang menghampiri Rain untuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Sebenarnya Rain sudah sangat lelah, tapi ia tetap meladeni karyawan The Guardian Hotel dengan ramah dan sabar. Setelah penyambutan yang memakan energi, Andreas mengajak Rain untuk makan di restoran yang terletak di lantai paling atas. Sambil berjalan menuju lift VIP, Andreas menepuk bahu Rain dengan bangga. "Papa bangga sama kamu, Nak. Kesuksesan kamu sebagai pelukis benar-benar luar biasa. Pameran kamu juga buat nama keluarga dan hotel kita semakin terkenal." Rain tersenyum, merasakan kebanggaa
Usai menata apartemen barunya, Rain memutuskan untuk mengunjungi beberapa gedung milik ayahnya. Ia mencari gedung yang tidak hanya strategis secara lokasi, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi galeri seni yang menarik dan fungsional. Rain mengendarai mobil Jeep miliknya yang sering ia gunakan saat kuliah dulu, menuju pusat kota, di mana ayahnya memiliki beberapa properti. Ia berhenti di depan sebuah gedung yang tampak megah dan elegan. Gedung ini terletak di salah satu jalan utama yang ramai dengan lalu lintas dan pejalan kaki. Lokasinya strategis, dekat dengan berbagai restoran, kafe, dan tempat-tempat populer lainnya. Gedung itu memiliki arsitektur yang menarik. Dinding-dinding luar terbuat dari kaca besar, memberikan pandangan yang luas ke dalam gedung serta memancarkan kesan modern dan transparan. Di lantai dasar, terdapat sebuah lobi luas dengan lantai marmer mengkilap dan langit-langit tinggi yang dihiasi dengan lampu gantung kristal yang mewah. Rain memasuki gedung dan