Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh.
Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "Terus apa yang lo mau? Hubungannya sama nikahin gue apa?" "Gue mau jadi pelukis, Summer. Itu mimpi gue dari dulu." "Gue hargain mimpi lo, dan gue dukung, Rain. Tapi gue nggak bisa ketemu hubungannya sama gue apa. Lo ngerti, kan?" tandas Summer. "Dengar dulu," tutur Rain. "Kalau gue nikah dengan lo, orang tua gue bakal berhenti ikut campur dengan hidup gue. Setelah itu gue bisa ngejar mimpi gue. Gue udah susun semuanya. Setelah nikah, kita bakal pindah ke Paris. Di sana gue mau belajar lebih banyak soal seni. Lo juga bisa lakuin apa aja yang lo mau di sana. Gue bakal dukung lo sepenuhnya." Misel menatap Rain dengan mata terbuka lebar, tak menyangka akan penjelasan tersebut. Sementara itu, Summer merasa dilema, hatinya berkecamuk. Summer mengambil napas dalam-dalam, menatap mata Rain. "Rain, gue menghargai karena lo udah mau jujur. Tapi maaf, gue nggak bisa nikah dengan lo, hanya untuk buat lo bisa lari dari tuntutan orang tua lo. Gue juga nggak mau jadi beban buat lo. Apalagi lo tau, kan? Gue sekarang lagi mengandung anaknya Ben. Tanggung jawab lo akan makin berat kalau lo nikah dengan gue." "Gue nggak masalah soal itu. Gue siap ambil tanggung jawab sebagai ayahnya. Gue-" "Stop Rain!" potong Summer. ia tampak lelah dengan semua ini. "Gue nggak ada perasaan ke lo. Gue nggak bisa hidup dengan orang yang nggak gue cinta." Rain terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Summer. Ia berpikir kalau tawarannya benar-benar menggiurkan, tapi ternyata ada hal yang lebih penting, dan itu adalah cinta. Jika saja ia mengatakan kalau ia mempunyai rasa pada Summer, apakah semuanya akan berubah? "Gue harus pergi sekarang, Rain," ucap Summer. Rain menarik nafas dalam-dalam. Kali ini ia tidak akan lagi menahan Summer. "Gue ngerti." Summer tersenyum, sedikit canggung. "Jaga diri lo baik-baik. Gue harap lo bisa sukses dan jadi pelukis terkenal." Rain memaksakan seulas senyuman. "Selamat tinggal. Semoga lo sukses dengan jalan yang lo pilih." Kali ini Summer berbalik tanpa ragu. Ia pergi, meninggalkan semua hal yang ada di belakangnya. Cinta, persahabatan, harapan, dan juga putus asa. Yang menunggu di depan sana adalah jalan baru yang tidak pernah ia lalui. Namun dengan tekad yang kuat, Summer yakin kalau ia akan hidup dengan baik. Setelah Summer pergi, Rain juga berbalik dengan tekad yang baru. Jika Summer mampu melawan dunia dan memutuskan hidupnya sendiri, maka Rain juga akan melakukan yang sama. Daripada menjadikan orang lain sebagai alasan, ia akan bertemu dengan orang tuanya dan mengatakan dengan tegas, apa yang ia inginkan dalam hidupnya. *** Di atas pesawat, Summer merasakan campuran antara ketakutan dan harapan. Ia tahu bahwa perjalanannya menuju Korea adalah awal dari hidup yang baru. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan menulis pesan perpisahan untuk orang tuanya. "Ibu, Ayah, Summer minta maaf karena Summer harus pergi seperti ini. Summer tau keputusan ini mungkin sulit untuk dipahami, tapi Summer harus ambil keputusan ini untuk cari jalan hidup Summer sendiri. Summer janji bakal jaga diri dan berusaha yang terbaik di tempat baru Summer. Tolong jangan khawatir soal Summer. Summer selalu cinta dan mendoakan yang terbaik untuk ayah sama ibu. Summer." Setelah mengirim pesan tersebut, Summer mematikan ponselnya dan meletakkannya di tasnya. Ia menatap keluar jendela, melihat pemandangan malam yang gelap. Dengan berat hati, ia mencoba untuk menenangkan dirinya dan bersiap untuk penerbangan yang akan mengubah hidupnya. *** Sementara itu, di rumah orang tua Summer, ketegangan memenuhi udara. Angga dan Meilani duduk di ruang tamu, terkejut dan bingung setelah menerima pesan dari Summer. Awalnya mereka berniat melaporkan polisi jika Summer tidak kunjung pulang. Mereka pikir mungkin Summer butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya. Tapi yang mereka dapat malah pesan perpisahan dari anak mereka. Meilani memegang ponselnya dengan tangan gemetar, air mata mengalir di pipinya. "Mas, Summer benar-benar pergi, Mas...." Angga merasakan kemarahan dan kekecewaan mendidih dalam dirinya. "Kenapa dia milih pergi? Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Ada laki-laki baik yang mau tanggung jawab, tapi kenapa dia malah pergi?" Angga menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa mengerti jalan pikirannya." Meilani menangis semakin keras. "Aku nggak tau, Mas. Mungkin kita terlalu keras sama Summer? Mungkin selama ini kita nggak jadi pendengar yang cukup baik buat Summer." Namun, kemarahan Angga menguasai dirinya. "Sudah cukup! Kalau dia memang sudah tentukan pilihan dia buat pergi, aku juga akan tentukan keputusan aku sekarang. Mulai saat ini, aku nggak punya anak yang seperti dia." Meilani menatap Angga dengan ekspresi wajah sedih bercampur bingung. "Maksud kamu apa, Mas?!" "Kata-kata aku sudah jelas. Mulai sekarang Summer bukan lagi anak kita." Meilani terkejut mendengar kata-kata suaminya. "Angga?! Tarik kata-kata kamu! Dia itu anak kita! Aku yang ngelahirin dia!" Angga yang termakan emosi, menatap Meilani dengan kokoh. "Terus di mana dia sekarang, hah?! Setelah buat masalah dan buat malu kita, dia malah lebih pilih untuk kabur?! Dia sudah dewasa tapi ini yang dia pilih?!" Pertengkaran hebat mulai terjadi antara Angga dan Meilani. Tidak ada yang mau mengalah, hingga akhirnya mereka menutup hari itu dengan saling melukai perasaan masing-masing. *** Sementara itu di kediaman keluarga Jansen, Rain berdiri dengan kokoh di hadapan kedua orang tuanya. "Perempuan yang mau kamu nikahin kabur, dan sekarang kamu bilang kamu mau ke Paris untuk belajar lukis?" Rain mengangguk. "Iya, Pa. Aku sudah pikir baik-baik, dan ini jalan hidup yang aku mau." Andreas diam sejenak, sembari menatap mata Rain lekat-lekat. Ia sadar kalau anaknya telah dewasa. Rain berhak untuk memilih jalan hidupnya. "Baik, tapi papa punya satu syarat untuk kamu." Rain terkejut. Ia tidak menyangka kalau ruang negosiasi akan terbuka semudah ini. "Syarat apa, pa?" "Kalau dalam 5 tahun kamu nggak bisa sukses jadi seorang pelukis, kamu harus menyerah dengan mimpi kamu, dan kembali untuk ngurus hotel milik papa. Bagaimana?" Tanpa pikir panjang, Rain langsung menyanggupi syarat tersebut. "Baik, Pa! Aku akan buktikan ke papa kalau aku bisa sukses sebagai pelukis!" Pada akhirnya, Rain dan Summer telah mengambil langkah mereka masing-masing, dan menghadapi tantangan yang sebenarnya dalam hidup. ***Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen yang telah disediakan Misel, suasana mobil dipenuhi oleh antusiasme Misel. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang bagaimana kehidupan Summer di Korea, apakah Haru sudah beradaptasi dengan baik, dan bagaimana perasaan Summer setelah kembali ke Indonesia. Summer menjawab dengan singkat, sambil sesekali tersenyum. Walau raga Summer kini sedang bersama Misel dan Haru, tapi pikirannya terus melayang ke Rain. Ia masih teringat dengan jelas betapa tampannya Rain saat mereka bertemu di bandara. Penampilannya yang semi-casual, potongan rambut two block yang trendi, dan aroma parfum yang khas masih membekas dalam ingatannya. Rain terlihat semakin menawan dan dewasa. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Rain terlewatkan, meninggalkan Summer dengan rasa penyesalan yang mengganggu. "Summer?" Summer mengerjap beberapa kali. "Iya, Sel?" "Lo lagi mikirin apa?" tanya Misel, menyelidik. Summer langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ngg
Pameran lukisan yang diadakan Rain di Korea telah menjadi acara yang sukses besar. Galeri tersebut dipenuhi dengan pengunjung yang terpesona oleh karya-karya seni Rain. Beberapa kolektor seni terkemuka bahkan bersedia membayar dengan harga yang fantastis untuk membawa pulang salah satu karyanya. Di tengah keramaian, Rain berdiri dengan senyum bangga, merasa bahwa semua usaha dan kerja kerasnya terbayar lunas. Para wartawan dari berbagai media bergegas mendekatinya, dan mulai melemparkan pertanyaan. Rain memaksakan seulas senyum dan bersikap ramah pada para wartawan. Ada banyak pertanyaan yang datang seputar pameran dan lukisan-lukisan miliknya. Ada juga beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadi, tapi Rain tidak ingin terlalu terbuka kepada para wartawan. Salah satu wartawan, seorang wanita dengan senyum ramah berhasil menarik perhatian Rain. "Tuan Jansen, selamat atas kesuksesan besar pameran Anda malam ini! Apa rencana Anda selanjutnya?" Rain berpikir sejenak sebelum men
Rain tiba di Hotel The Guardian, hotel mewah yang dikelola oleh keluarga Jansen. Begitu melangkah masuk, ia disambut dengan hangat oleh staf hotel yang sudah mengenalnya dari berbagai sumber. Hotel ini adalah salah satu ikon kota, dikenal tidak hanya karena kemewahannya tetapi juga karena pelayanan yang luar biasa. Di lobi hotel, Andreas dan Lili Jansen memperkenalkan Rain kepada para karyawan hotel. Tak hanya itu, banyak yang menghampiri Rain untuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Sebenarnya Rain sudah sangat lelah, tapi ia tetap meladeni karyawan The Guardian Hotel dengan ramah dan sabar. Setelah penyambutan yang memakan energi, Andreas mengajak Rain untuk makan di restoran yang terletak di lantai paling atas. Sambil berjalan menuju lift VIP, Andreas menepuk bahu Rain dengan bangga. "Papa bangga sama kamu, Nak. Kesuksesan kamu sebagai pelukis benar-benar luar biasa. Pameran kamu juga buat nama keluarga dan hotel kita semakin terkenal." Rain tersenyum, merasakan kebanggaa
Usai menata apartemen barunya, Rain memutuskan untuk mengunjungi beberapa gedung milik ayahnya. Ia mencari gedung yang tidak hanya strategis secara lokasi, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi galeri seni yang menarik dan fungsional. Rain mengendarai mobil Jeep miliknya yang sering ia gunakan saat kuliah dulu, menuju pusat kota, di mana ayahnya memiliki beberapa properti. Ia berhenti di depan sebuah gedung yang tampak megah dan elegan. Gedung ini terletak di salah satu jalan utama yang ramai dengan lalu lintas dan pejalan kaki. Lokasinya strategis, dekat dengan berbagai restoran, kafe, dan tempat-tempat populer lainnya. Gedung itu memiliki arsitektur yang menarik. Dinding-dinding luar terbuat dari kaca besar, memberikan pandangan yang luas ke dalam gedung serta memancarkan kesan modern dan transparan. Di lantai dasar, terdapat sebuah lobi luas dengan lantai marmer mengkilap dan langit-langit tinggi yang dihiasi dengan lampu gantung kristal yang mewah. Rain memasuki gedung dan
Di restoran mewah The Guardian, Rain duduk berhadapan dengan seorang desainer interior ternama, Sari Putri. Sari dikenal dengan keahliannya dalam menciptakan ruang-ruang yang elegan dan fungsional. Setelah diperkenalkan oleh ayahnya, Rain merasa yakin bahwa Sari adalah orang yang tepat untuk mendekorasi galeri seni miliknya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk malam ini," kata Rain sambil tersenyum. "Sama-sama, Pak Rain. Saya juga merasa terhormat, seniman sekelas Pak Rain mau menggunakan jasa saya," balas Sari. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia memang menghormati dan mengagumi Rain. "Saya masih harus banyak belajar," sambung Rain. Sari tersenyum singkat, lalu bertanya tentang keinginan Rain dalam membuat sebuah galeri seni. "Saya mau galeri ini jadi tempat yang tidak hanya menampilkan seni, tapi juga menciptakan pengalaman mendalam bagi pengunjung yang datang. Saya mau semua orang bisa menikmati keindahan galeri saya, entah mereka yang paham seni atau tidak." Sari