Share

08

Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh.

Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya.

"Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah.

Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?"

"Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain.

Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?"

Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi."

Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?"

Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau."

Summer menatap Rain dengan bingung. "Terus apa yang lo mau? Hubungannya sama nikahin gue apa?"

"Gue mau jadi pelukis, Summer. Itu mimpi gue dari dulu."

"Gue hargain mimpi lo, dan gue dukung, Rain. Tapi gue nggak bisa ketemu hubungannya sama gue apa. Lo ngerti, kan?" tandas Summer.

"Dengar dulu," tutur Rain. "Kalau gue nikah dengan lo, orang tua gue bakal berhenti ikut campur dengan hidup gue. Setelah itu gue bisa ngejar mimpi gue. Gue udah susun semuanya. Setelah nikah, kita bakal pindah ke Paris. Di sana gue mau belajar lebih banyak soal seni. Lo juga bisa lakuin apa aja yang lo mau di sana. Gue bakal dukung lo sepenuhnya."

Misel menatap Rain dengan mata terbuka lebar, tak menyangka akan penjelasan tersebut. Sementara itu, Summer merasa dilema, hatinya berkecamuk.

Summer mengambil napas dalam-dalam, menatap mata Rain. "Rain, gue menghargai karena lo udah mau jujur. Tapi maaf, gue nggak bisa nikah dengan lo, hanya untuk buat lo bisa lari dari tuntutan orang tua lo. Gue juga nggak mau jadi beban buat lo. Apalagi lo tau, kan? Gue sekarang lagi mengandung anaknya Ben. Tanggung jawab lo akan makin berat kalau lo nikah dengan gue."

"Gue nggak masalah soal itu. Gue siap ambil tanggung jawab sebagai ayahnya. Gue-"

"Stop Rain!" potong Summer. ia tampak lelah dengan semua ini. "Gue nggak ada perasaan ke lo. Gue nggak bisa hidup dengan orang yang nggak gue cinta."

Rain terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Summer. Ia berpikir kalau tawarannya benar-benar menggiurkan, tapi ternyata ada hal yang lebih penting, dan itu adalah cinta. Jika saja ia mengatakan kalau ia mempunyai rasa pada Summer, apakah semuanya akan berubah?

"Gue harus pergi sekarang, Rain," ucap Summer.

Rain menarik nafas dalam-dalam. Kali ini ia tidak akan lagi menahan Summer. "Gue ngerti."

Summer tersenyum, sedikit canggung. "Jaga diri lo baik-baik. Gue harap lo bisa sukses dan jadi pelukis terkenal."

Rain memaksakan seulas senyuman. "Selamat tinggal. Semoga lo sukses dengan jalan yang lo pilih."

Kali ini Summer berbalik tanpa ragu. Ia pergi, meninggalkan semua hal yang ada di belakangnya. Cinta, persahabatan, harapan, dan juga putus asa. Yang menunggu di depan sana adalah jalan baru yang tidak pernah ia lalui. Namun dengan tekad yang kuat, Summer yakin kalau ia akan hidup dengan baik.

Setelah Summer pergi, Rain juga berbalik dengan tekad yang baru. Jika Summer mampu melawan dunia dan memutuskan hidupnya sendiri, maka Rain juga akan melakukan yang sama. Daripada menjadikan orang lain sebagai alasan, ia akan bertemu dengan orang tuanya dan mengatakan dengan tegas, apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

***

Di atas pesawat, Summer merasakan campuran antara ketakutan dan harapan. Ia tahu bahwa perjalanannya menuju Korea adalah awal dari hidup yang baru. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan menulis pesan perpisahan untuk orang tuanya.

"Ibu, Ayah, Summer minta maaf karena Summer harus pergi seperti ini. Summer tau keputusan ini mungkin sulit untuk dipahami, tapi Summer harus ambil keputusan ini untuk cari jalan hidup Summer sendiri. Summer janji bakal jaga diri dan berusaha yang terbaik di tempat baru Summer. Tolong jangan khawatir soal Summer. Summer selalu cinta dan mendoakan yang terbaik untuk ayah sama ibu. Summer."

Setelah mengirim pesan tersebut, Summer mematikan ponselnya dan meletakkannya di tasnya. Ia menatap keluar jendela, melihat pemandangan malam yang gelap. Dengan berat hati, ia mencoba untuk menenangkan dirinya dan bersiap untuk penerbangan yang akan mengubah hidupnya.

***

Sementara itu, di rumah orang tua Summer, ketegangan memenuhi udara. Angga dan Meilani duduk di ruang tamu, terkejut dan bingung setelah menerima pesan dari Summer.

Awalnya mereka berniat melaporkan polisi jika Summer tidak kunjung pulang. Mereka pikir mungkin Summer butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya. Tapi yang mereka dapat malah pesan perpisahan dari anak mereka.

Meilani memegang ponselnya dengan tangan gemetar, air mata mengalir di pipinya. "Mas, Summer benar-benar pergi, Mas...."

Angga merasakan kemarahan dan kekecewaan mendidih dalam dirinya. "Kenapa dia milih pergi? Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Ada laki-laki baik yang mau tanggung jawab, tapi kenapa dia malah pergi?" Angga menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa mengerti jalan pikirannya."

Meilani menangis semakin keras. "Aku nggak tau, Mas. Mungkin kita terlalu keras sama Summer? Mungkin selama ini kita nggak jadi pendengar yang cukup baik buat Summer."

Namun, kemarahan Angga menguasai dirinya. "Sudah cukup! Kalau dia memang sudah tentukan pilihan dia buat pergi, aku juga akan tentukan keputusan aku sekarang. Mulai saat ini, aku nggak punya anak yang seperti dia."

Meilani menatap Angga dengan ekspresi wajah sedih bercampur bingung. "Maksud kamu apa, Mas?!"

"Kata-kata aku sudah jelas. Mulai sekarang Summer bukan lagi anak kita."

Meilani terkejut mendengar kata-kata suaminya. "Angga?! Tarik kata-kata kamu! Dia itu anak kita! Aku yang ngelahirin dia!"

Angga yang termakan emosi, menatap Meilani dengan kokoh. "Terus di mana dia sekarang, hah?! Setelah buat masalah dan buat malu kita, dia malah lebih pilih untuk kabur?! Dia sudah dewasa tapi ini yang dia pilih?!"

Pertengkaran hebat mulai terjadi antara Angga dan Meilani. Tidak ada yang mau mengalah, hingga akhirnya mereka menutup hari itu dengan saling melukai perasaan masing-masing.

***

Sementara itu di kediaman keluarga Jansen, Rain berdiri dengan kokoh di hadapan kedua orang tuanya.

"Perempuan yang mau kamu nikahin kabur, dan sekarang kamu bilang kamu mau ke Paris untuk belajar lukis?"

Rain mengangguk. "Iya, Pa. Aku sudah pikir baik-baik, dan ini jalan hidup yang aku mau."

Andreas diam sejenak, sembari menatap mata Rain lekat-lekat. Ia sadar kalau anaknya telah dewasa. Rain berhak untuk memilih jalan hidupnya. "Baik, tapi papa punya satu syarat untuk kamu."

Rain terkejut. Ia tidak menyangka kalau ruang negosiasi akan terbuka semudah ini. "Syarat apa, pa?"

"Kalau dalam 5 tahun kamu nggak bisa sukses jadi seorang pelukis, kamu harus menyerah dengan mimpi kamu, dan kembali untuk ngurus hotel milik papa. Bagaimana?"

Tanpa pikir panjang, Rain langsung menyanggupi syarat tersebut. "Baik, Pa! Aku akan buktikan ke papa kalau aku bisa sukses sebagai pelukis!"

Pada akhirnya, Rain dan Summer telah mengambil langkah mereka masing-masing, dan menghadapi tantangan yang sebenarnya dalam hidup.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status