Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen yang telah disediakan Misel, suasana mobil dipenuhi oleh antusiasme Misel. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang bagaimana kehidupan Summer di Korea, apakah Haru sudah beradaptasi dengan baik, dan bagaimana perasaan Summer setelah kembali ke Indonesia. Summer menjawab dengan singkat, sambil sesekali tersenyum. Walau raga Summer kini sedang bersama Misel dan Haru, tapi pikirannya terus melayang ke Rain. Ia masih teringat dengan jelas betapa tampannya Rain saat mereka bertemu di bandara. Penampilannya yang semi-casual, potongan rambut two block yang trendi, dan aroma parfum yang khas masih membekas dalam ingatannya. Rain terlihat semakin menawan dan dewasa. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Rain terlewatkan, meninggalkan Summer dengan rasa penyesalan yang mengganggu. "Summer?" Summer mengerjap beberapa kali. "Iya, Sel?" "Lo lagi mikirin apa?" tanya Misel, menyelidik. Summer langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ngg
Pameran lukisan yang diadakan Rain di Korea telah menjadi acara yang sukses besar. Galeri tersebut dipenuhi dengan pengunjung yang terpesona oleh karya-karya seni Rain. Beberapa kolektor seni terkemuka bahkan bersedia membayar dengan harga yang fantastis untuk membawa pulang salah satu karyanya. Di tengah keramaian, Rain berdiri dengan senyum bangga, merasa bahwa semua usaha dan kerja kerasnya terbayar lunas. Para wartawan dari berbagai media bergegas mendekatinya, dan mulai melemparkan pertanyaan. Rain memaksakan seulas senyum dan bersikap ramah pada para wartawan. Ada banyak pertanyaan yang datang seputar pameran dan lukisan-lukisan miliknya. Ada juga beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadi, tapi Rain tidak ingin terlalu terbuka kepada para wartawan. Salah satu wartawan, seorang wanita dengan senyum ramah berhasil menarik perhatian Rain. "Tuan Jansen, selamat atas kesuksesan besar pameran Anda malam ini! Apa rencana Anda selanjutnya?" Rain berpikir sejenak sebelum men
Rain tiba di Hotel The Guardian, hotel mewah yang dikelola oleh keluarga Jansen. Begitu melangkah masuk, ia disambut dengan hangat oleh staf hotel yang sudah mengenalnya dari berbagai sumber. Hotel ini adalah salah satu ikon kota, dikenal tidak hanya karena kemewahannya tetapi juga karena pelayanan yang luar biasa. Di lobi hotel, Andreas dan Lili Jansen memperkenalkan Rain kepada para karyawan hotel. Tak hanya itu, banyak yang menghampiri Rain untuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Sebenarnya Rain sudah sangat lelah, tapi ia tetap meladeni karyawan The Guardian Hotel dengan ramah dan sabar. Setelah penyambutan yang memakan energi, Andreas mengajak Rain untuk makan di restoran yang terletak di lantai paling atas. Sambil berjalan menuju lift VIP, Andreas menepuk bahu Rain dengan bangga. "Papa bangga sama kamu, Nak. Kesuksesan kamu sebagai pelukis benar-benar luar biasa. Pameran kamu juga buat nama keluarga dan hotel kita semakin terkenal." Rain tersenyum, merasakan kebanggaa
Usai menata apartemen barunya, Rain memutuskan untuk mengunjungi beberapa gedung milik ayahnya. Ia mencari gedung yang tidak hanya strategis secara lokasi, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi galeri seni yang menarik dan fungsional. Rain mengendarai mobil Jeep miliknya yang sering ia gunakan saat kuliah dulu, menuju pusat kota, di mana ayahnya memiliki beberapa properti. Ia berhenti di depan sebuah gedung yang tampak megah dan elegan. Gedung ini terletak di salah satu jalan utama yang ramai dengan lalu lintas dan pejalan kaki. Lokasinya strategis, dekat dengan berbagai restoran, kafe, dan tempat-tempat populer lainnya. Gedung itu memiliki arsitektur yang menarik. Dinding-dinding luar terbuat dari kaca besar, memberikan pandangan yang luas ke dalam gedung serta memancarkan kesan modern dan transparan. Di lantai dasar, terdapat sebuah lobi luas dengan lantai marmer mengkilap dan langit-langit tinggi yang dihiasi dengan lampu gantung kristal yang mewah. Rain memasuki gedung dan
Di restoran mewah The Guardian, Rain duduk berhadapan dengan seorang desainer interior ternama, Sari Putri. Sari dikenal dengan keahliannya dalam menciptakan ruang-ruang yang elegan dan fungsional. Setelah diperkenalkan oleh ayahnya, Rain merasa yakin bahwa Sari adalah orang yang tepat untuk mendekorasi galeri seni miliknya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk malam ini," kata Rain sambil tersenyum. "Sama-sama, Pak Rain. Saya juga merasa terhormat, seniman sekelas Pak Rain mau menggunakan jasa saya," balas Sari. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia memang menghormati dan mengagumi Rain. "Saya masih harus banyak belajar," sambung Rain. Sari tersenyum singkat, lalu bertanya tentang keinginan Rain dalam membuat sebuah galeri seni. "Saya mau galeri ini jadi tempat yang tidak hanya menampilkan seni, tapi juga menciptakan pengalaman mendalam bagi pengunjung yang datang. Saya mau semua orang bisa menikmati keindahan galeri saya, entah mereka yang paham seni atau tidak." Sari
Pagi harinya, Summer terbangun dengan kepala yang berat dan rasa mual yang menghantui. "Arggh! Ini yang buat gue nggak suka!" Summer mengeluh karena pengaruh mabuk semalam. Ketika Summer dapat membuka matanya, ia memperhatikan sekelilingnya, dan baru sadar kalau ia tidak berada di apartemennya. "Gue ada di mana?" Panik mulai merayapi dirinya, saat ia melihat pakaian yang dikenakannya sudah berganti dengan piyama yang nyaman. Summer lalu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, namun kepalanya hanya berputar-putar dengan fragmen ingatan yang tak jelas. Ketakutan mulai menguasai pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang ia lakukan hingga ia berakhir di kamar asing ini? Ketika Summer sedang kebingungan, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan seorang karyawan hotel wanita masuk dengan nampan berisi sarapan. "Selamat pagi, Ibu. Saya bawakan sarapan pagi untuk Ibu." Summer buru-buru turun dari atas tempat tidur dan menghampiri wanita tersebut. "Mbak? Maaf sebelumnya, tapi aku di