Rain tiba di Hotel The Guardian, hotel mewah yang dikelola oleh keluarga Jansen. Begitu melangkah masuk, ia disambut dengan hangat oleh staf hotel yang sudah mengenalnya dari berbagai sumber. Hotel ini adalah salah satu ikon kota, dikenal tidak hanya karena kemewahannya tetapi juga karena pelayanan yang luar biasa. Di lobi hotel, Andreas dan Lili Jansen memperkenalkan Rain kepada para karyawan hotel. Tak hanya itu, banyak yang menghampiri Rain untuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Sebenarnya Rain sudah sangat lelah, tapi ia tetap meladeni karyawan The Guardian Hotel dengan ramah dan sabar. Setelah penyambutan yang memakan energi, Andreas mengajak Rain untuk makan di restoran yang terletak di lantai paling atas. Sambil berjalan menuju lift VIP, Andreas menepuk bahu Rain dengan bangga. "Papa bangga sama kamu, Nak. Kesuksesan kamu sebagai pelukis benar-benar luar biasa. Pameran kamu juga buat nama keluarga dan hotel kita semakin terkenal." Rain tersenyum, merasakan kebanggaa
Usai menata apartemen barunya, Rain memutuskan untuk mengunjungi beberapa gedung milik ayahnya. Ia mencari gedung yang tidak hanya strategis secara lokasi, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi galeri seni yang menarik dan fungsional. Rain mengendarai mobil Jeep miliknya yang sering ia gunakan saat kuliah dulu, menuju pusat kota, di mana ayahnya memiliki beberapa properti. Ia berhenti di depan sebuah gedung yang tampak megah dan elegan. Gedung ini terletak di salah satu jalan utama yang ramai dengan lalu lintas dan pejalan kaki. Lokasinya strategis, dekat dengan berbagai restoran, kafe, dan tempat-tempat populer lainnya. Gedung itu memiliki arsitektur yang menarik. Dinding-dinding luar terbuat dari kaca besar, memberikan pandangan yang luas ke dalam gedung serta memancarkan kesan modern dan transparan. Di lantai dasar, terdapat sebuah lobi luas dengan lantai marmer mengkilap dan langit-langit tinggi yang dihiasi dengan lampu gantung kristal yang mewah. Rain memasuki gedung dan
Di restoran mewah The Guardian, Rain duduk berhadapan dengan seorang desainer interior ternama, Sari Putri. Sari dikenal dengan keahliannya dalam menciptakan ruang-ruang yang elegan dan fungsional. Setelah diperkenalkan oleh ayahnya, Rain merasa yakin bahwa Sari adalah orang yang tepat untuk mendekorasi galeri seni miliknya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk malam ini," kata Rain sambil tersenyum. "Sama-sama, Pak Rain. Saya juga merasa terhormat, seniman sekelas Pak Rain mau menggunakan jasa saya," balas Sari. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia memang menghormati dan mengagumi Rain. "Saya masih harus banyak belajar," sambung Rain. Sari tersenyum singkat, lalu bertanya tentang keinginan Rain dalam membuat sebuah galeri seni. "Saya mau galeri ini jadi tempat yang tidak hanya menampilkan seni, tapi juga menciptakan pengalaman mendalam bagi pengunjung yang datang. Saya mau semua orang bisa menikmati keindahan galeri saya, entah mereka yang paham seni atau tidak." Sari
Pagi harinya, Summer terbangun dengan kepala yang berat dan rasa mual yang menghantui. "Arggh! Ini yang buat gue nggak suka!" Summer mengeluh karena pengaruh mabuk semalam. Ketika Summer dapat membuka matanya, ia memperhatikan sekelilingnya, dan baru sadar kalau ia tidak berada di apartemennya. "Gue ada di mana?" Panik mulai merayapi dirinya, saat ia melihat pakaian yang dikenakannya sudah berganti dengan piyama yang nyaman. Summer lalu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, namun kepalanya hanya berputar-putar dengan fragmen ingatan yang tak jelas. Ketakutan mulai menguasai pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang ia lakukan hingga ia berakhir di kamar asing ini? Ketika Summer sedang kebingungan, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan seorang karyawan hotel wanita masuk dengan nampan berisi sarapan. "Selamat pagi, Ibu. Saya bawakan sarapan pagi untuk Ibu." Summer buru-buru turun dari atas tempat tidur dan menghampiri wanita tersebut. "Mbak? Maaf sebelumnya, tapi aku di
Hari Senin, suasana di perusahaan terasa berbeda. Arman sedang duduk di ruangannya, sibuk dengan tumpukan dokumen di mejanya. Pikirannya masih tertuju pada peristiwa makan malam beberapa hari lalu, terutama pertemuannya dengan teman Summer di hotel The Guardian. Namun, pagi itu, pikirannya segera teralih oleh suara riuh dari luar kantornya. Arman mengernyitkan keningnya saat mendengar suara langkah kaki yang cepat dan suara orang-orang yang berbicara dengan nada tegang. Ia berdiri dan membuka pintu kantornya, melihat ke arah sumber keributan. Di lorong, sekelompok orang dengan pakaian resmi dan tanda pengenal dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sedang berjalan masuk, disertai oleh beberapa staf perusahaan yang tampak cemas. Salah satu pria yang memimpin kelompok itu memandang ke arah Arman dengan mata tajam. "Selamat pagi, Pak Arman," kata pria itu dengan suara tegas. "Kami dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, datang untuk melakukan pemeriksaan mendadak ter
Hari pertama setelah dipecat, Summer bangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun merasa kecewa dan khawatir, ia tahu bahwa ia harus segera mencari pekerjaan baru untuk bisa bertahan hidup di kota yang keras ini. Setelah menyiapkan sarapan untuk Haru, ia mulai membuka laptop dan mencari lowongan pekerjaan. Summer menghabiskan berjam-jam mengirimkan lamaran dan menghadiri beberapa wawancara singkat yang tidak memberikan harapan besar. Ia mulai merasa putus asa, tetapi ia tetap berusaha dan berpikir positif. Sore harinya, ketika Summer sedang beristirahat sejenak sambil meminum teh, teleponnya berdering. Nomor yang tidak dikenal muncul di layar. Dengan ragu, ia mengangkatnya. "Selamat sore, apakah ini Summer Liliana Widjaja?" tanya suara di seberang sana. "Iya, saya sendiri. Ini dengan siapa, ya?" tanya Summer dengan hati-hati. "Nama saya Arif Gunawan, saya pemilik restoran La Grandeur. Saya sudah baca CV Anda. Kebetulan sekali, skill bahasa Inggris dan Korea Anda sangat saya butuh
Summer mulai bekerja dengan semangat di La Grandeur. Kali ini, lingkungan kerjanya benar-benar bersahabat. Rekan-rekan kerjanya ramah dan saling mendukung, membuat Summer merasa diterima sejak hari pertama. Gajinya juga lebih besar dari sebelumnya, memberikan sedikit kelonggaran dalam keuangannya yang sempat menipis. Setiap hari, Summer bangun pagi dengan semangat baru. Ia berangkat ke restoran dengan senyum di wajahnya. Setibanya di La Grandeur, suasana yang elegan dan pelayanan profesional dari staf lainnya membuat Summer merasa bangga bisa bekerja di sana. Tidak jarang, Summer mendapatkan tip dari para tamu restoran. Mereka menghargai pelayanannya yang ramah dan efisien. Suatu hari, seorang tamu tetap restoran, seorang pengusaha sukses, memberikan tip besar sambil memuji kinerjanya. "Ini buat kamu," katanya sambil menyerahkan tip yang membuat Summer terkejut. "Terima kasih banyak, Pak," jawab Summer dengan senyum tulus. Kehangatan dan apresiasi dari para tamu, memberikan S
Hari berlalu dengan cepat. Di sebuah apartemen kecil di pusat kota, Summer tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa, walau ia semakin gugup dari hari ke hari. Pagi itu, ia berangkat ke tempat kerjanya, restoran La Grandeur, dengan perasaan riang. Meski sibuk melayani pelanggan dan memastikan semuanya berjalan lancar, pikirannya terus melayang pada pertemuan dengan orang tuanya yang akan terjadi Sabtu malam ini, pukul 8, di restoran tempatnya bekerja. Summer menyibukkan diri dengan mempersiapkan meja-meja, mengambil pesanan, dan mengantar makanan. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, bayangan wajah orang tuanya muncul di benaknya. Ia tidak tahu bahwa ayahnya menolak untuk bertemu dengannya. Yang ia tahu, ibunya telah berjanji bahwa mereka akan berbicara dan mencoba memulai kembali hubungan keluarga yang telah lama terputus. Saat istirahat makan siang, Summer duduk sendirian di dapur, menyesap teh sambil memandang keluar jendela. Ia menatap langit biru, mencoba mengalihkan pikira