Hari berlalu dengan cepat. Di sebuah apartemen kecil di pusat kota, Summer tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa, walau ia semakin gugup dari hari ke hari. Pagi itu, ia berangkat ke tempat kerjanya, restoran La Grandeur, dengan perasaan riang. Meski sibuk melayani pelanggan dan memastikan semuanya berjalan lancar, pikirannya terus melayang pada pertemuan dengan orang tuanya yang akan terjadi Sabtu malam ini, pukul 8, di restoran tempatnya bekerja. Summer menyibukkan diri dengan mempersiapkan meja-meja, mengambil pesanan, dan mengantar makanan. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, bayangan wajah orang tuanya muncul di benaknya. Ia tidak tahu bahwa ayahnya menolak untuk bertemu dengannya. Yang ia tahu, ibunya telah berjanji bahwa mereka akan berbicara dan mencoba memulai kembali hubungan keluarga yang telah lama terputus. Saat istirahat makan siang, Summer duduk sendirian di dapur, menyesap teh sambil memandang keluar jendela. Ia menatap langit biru, mencoba mengalihkan pikira
Di tengah keramaian dan kemewahan pembukaan galeri Lumière d'Éte, Rain terus berusaha menghubungi Arif, tapi Arif tidak kunjung menjawab teleponnya. Rain mulai tenggelam dalam kegelisahan. Acara berjalan dengan sukses, tamu-tamu penting berdatangan, dan pujian mengalir tanpa henti. Namun, pikiran Rain terus melayang pada Summer.Tak tahan dengan kegelisahan yang menggerogoti pikirannya, Rain menyelinap keluar dari keramaian. Ia mencari sudut ruangan yang sepi, jauh dari pandangan para tamu dan wartawan yang sibuk mengambil gambar. Setelah menemukan tempat yang cukup tersembunyi, Rain kembali menghubungi Arif, berharap Arif segera mengangkat panggilannya. Setelah mencoba beberapa kali, Arif akhirnya menjawab telepon Rain."Halo, Arif," Rain langsung berbicara begitu tersambung. "Kamu lagi sibuk?""Halo, Rain," sapa Arif di seberang. "Maaf, tapi ada sedikit masalah.""Masalah apa?" tanya Rain dengan nada yang mulai khawatir."Ayahnya Summer marah besar begitu liat Summer. Dan... dia pin
Setelah mengambil pesanan makanan di kafetaria rumah sakit, Rain dan Summer berjalan perlahan menyusuri lorong yang sepi. Alih-alih langsung kembali ke kamar tempat Angga dirawat, mereka memutuskan untuk duduk sejenak di salah satu bangku yang disediakan di taman kecil rumah sakit. Malam itu, udara terasa sejuk, dan suasana rumah sakit yang tenang memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbincang dengan lebih santai. Mereka berdua duduk berdampingan, merasakan kenyamanan dalam kebersamaan yang sudah lama tidak mereka rasakan. "Jadi, gimana pembukaan galerinya?" tanya Summer, mencoba memulai percakapan. Ia menoleh ke Rain, matanya penuh dengan ketertarikan. "Aku dengar kalau kateringnya kamu pesan La Grandeur?" Rain mengangguk. "Acaranya berjalan lancar. Banyak tamu yang datang, termasuk Misel juga. Aku pilih La Grandeur karena masakan mereka sesuai dengan selera aku." Summer tersenyum. "Aku sebenarnya kerja di sana sekarang." Rain pura-pura terkejut, karena faktanya, ia yan
Keesokan paginya, Angga perlahan membuka matanya, merasakan cahaya matahari yang menyusup melalui jendela kamar rumah sakit. Setelah sejenak menyesuaikan diri dengan kesadarannya, ia terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa di hadapannya. Meilani, istrinya, duduk di sisi tempat tidur, tersenyum lembut. Namun, yang membuat Angga lebih terkejut adalah anak laki-laki yang duduk di sebelahnya, memandangnya dengan mata penuh rasa ingin tahu. Angga mengerutkan dahi, mencoba mengenali anak itu. "Dia anaknya siapa?" tanyanya dengan suara serak, masih bingung dengan situasi yang ia hadapi. Meilani tersenyum hangat, namun ada kilatan emosi di matanya. "Ini Haru Widjaja," ucapnya pelan, seolah menimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Dia cucu kita, anaknya Summer." Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Angga. "Cucu?" ulangnya tak percaya, menatap Meilani dan kemudian anak laki-laki yang disebutnya sebagai cucu mereka. Kebingungan menyelimuti pikirannya, berusaha menga
Setelah kesuksesan pembukaan galeri Lumiere d'été, hari-hari Rain menjadi semakin sibuk. Ia kini fokus merekrut karyawan yang kompeten untuk mengelola galeri, sekaligus menjalin relasi dengan para seniman lokal yang tertarik untuk bekerja sama. Dalam setiap pertemuan, Rain berusaha memastikan bahwa galerinya bukan hanya sekadar tempat pameran, tetapi juga wadah untuk mendukung dan mengembangkan karir para seniman. Di tengah kesibukan itu, sebuah kejutan tak terduga datang. Radit, teman lamanya semasa kuliah, tiba-tiba muncul di galeri. Saat melihat sosok Radit, Rain terkejut sekaligus senang. Mereka tidak bertemu sejak lulus kuliah, dan sekarang Radit berdiri di hadapannya, tampak lebih dewasa dan sukses. "Rain! Lama nggak ketemu, bro!" sapa Radit dengan senyum lebar sambil merentangkan tangan untuk memeluk Rain. Rain membalas pelukan itu, sedikit terkejut dengan kedatangan mendadak temannya. "Radit! Apa kabar? Lama nggak dengar kabar dari lo," balas Rain sambil menepuk-nepuk pu
Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya Angga diizinkan untuk pulang. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi pikirannya kembali penuh dengan masalah yang menghantuinya sebelum ia jatuh sakit. Malam itu, di ruang keluarga yang sepi, Angga dan Meilani duduk berdampingan, membicarakan hal yang membuat mereka gelisah selama beberapa bulan terakhir. “Perusahaan kita di ambang kehancuran,” ucap Angga dengan suara berat, sambil menatap kosong ke arah meja di depannya. “Proyek hotel itu... seharusnya berjalan lancar. Tapi tiba-tiba saja semuanya kacau.” Meilani menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. "Aku tahu, Mas. Tapi ini bukan salah kamu. Kamu sudah lakuin yang terbaik. Kita selalu menjaga kualitas setiap proyek, jadi kenapa ini bisa terjadi?” Angga menghela napas panjang, seolah-olah mencoba mencerna situasi yang masih terasa tidak masuk akal baginya. “Mereka nuntut ganti rugi yang besar, sayang. Semua karena keterlambatan dan kualitas bangunan yang katanya tidak
Malam itu, setelah seharian bekerja di La Grandeur, Summer pulang dengan tubuh yang lelah. Namun, pikirannya jauh lebih lelah dari fisiknya. Percakapan yang ia dengar di restoran tadi siang terus terngiang-ngiang di kepalanya, mengganggu konsentrasinya. Siapa wanita cantik yang membicarakan tentang Rain dan rencana pernikahannya? Summer duduk di sofa apartemennya yang sederhana, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang tak jelas itu. Namun, suara kecil Haru menariknya kembali ke kenyataan. “Ibu?” panggil Haru, sambil mendekati Summer dengan wajah penuh harap. “Kita pergi ke rumah kakek, ya? Haru mau main sama kakek.” Summer menatap anaknya dengan lembut, perasaan hangat muncul di hatinya meskipun pikirannya masih kalut. Haru tampak begitu gembira saat bertemu dengan kakeknya, dan meskipun hubungan mereka dengan Angga baru saja membaik, Haru sudah merasa begitu dekat dengan kakeknya. “Oke, sayang. Kita pergi ke rumah kakek besok, ya?” jawab Summer akhirnya, meskipun pikir
Keesokan harinya, Sari berusaha mencari cara untuk mendekatkan diri dengan Rain. Ia pun mengajaknya untuk makan siang bersama, dan kali ini Sari sengaja memilih restoran La Grandeur. Ia memiliki niat terselubung, ingin memamerkan kebersamaannya dengan Rain di hadapan Summer. Rain, di sisi lain, setuju karena ia juga memiliki alasan pribadi—ia ingin bertemu dengan Summer lagi, setelah apa yang terjadi sebelumnya. Sesampainya di La Grandeur, Sari dan Rain duduk di meja yang nyaman. Namun, saat mereka melihat-lihat sekitar, Summer tidak terlihat di antara para pelayan yang lalu lalang melayani tamu. Sari, yang sepertinya tidak begitu peduli, mulai berbincang dengan Rain, namun Rain tidak sepenuhnya fokus. Pikirannya melayang pada Summer dan ia mulai merasa khawatir. Setelah beberapa saat menunggu dan Summer masih belum muncul, Rain akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arif, pemilik restoran, dan menanyakan keberadaan Summer. Tak lama kemudian, Arif membalas pesannya, mem