Setelah mengambil pesanan makanan di kafetaria rumah sakit, Rain dan Summer berjalan perlahan menyusuri lorong yang sepi. Alih-alih langsung kembali ke kamar tempat Angga dirawat, mereka memutuskan untuk duduk sejenak di salah satu bangku yang disediakan di taman kecil rumah sakit. Malam itu, udara terasa sejuk, dan suasana rumah sakit yang tenang memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbincang dengan lebih santai. Mereka berdua duduk berdampingan, merasakan kenyamanan dalam kebersamaan yang sudah lama tidak mereka rasakan. "Jadi, gimana pembukaan galerinya?" tanya Summer, mencoba memulai percakapan. Ia menoleh ke Rain, matanya penuh dengan ketertarikan. "Aku dengar kalau kateringnya kamu pesan La Grandeur?" Rain mengangguk. "Acaranya berjalan lancar. Banyak tamu yang datang, termasuk Misel juga. Aku pilih La Grandeur karena masakan mereka sesuai dengan selera aku." Summer tersenyum. "Aku sebenarnya kerja di sana sekarang." Rain pura-pura terkejut, karena faktanya, ia yan
Keesokan paginya, Angga perlahan membuka matanya, merasakan cahaya matahari yang menyusup melalui jendela kamar rumah sakit. Setelah sejenak menyesuaikan diri dengan kesadarannya, ia terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa di hadapannya. Meilani, istrinya, duduk di sisi tempat tidur, tersenyum lembut. Namun, yang membuat Angga lebih terkejut adalah anak laki-laki yang duduk di sebelahnya, memandangnya dengan mata penuh rasa ingin tahu. Angga mengerutkan dahi, mencoba mengenali anak itu. "Dia anaknya siapa?" tanyanya dengan suara serak, masih bingung dengan situasi yang ia hadapi. Meilani tersenyum hangat, namun ada kilatan emosi di matanya. "Ini Haru Widjaja," ucapnya pelan, seolah menimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Dia cucu kita, anaknya Summer." Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Angga. "Cucu?" ulangnya tak percaya, menatap Meilani dan kemudian anak laki-laki yang disebutnya sebagai cucu mereka. Kebingungan menyelimuti pikirannya, berusaha menga
Setelah kesuksesan pembukaan galeri Lumiere d'été, hari-hari Rain menjadi semakin sibuk. Ia kini fokus merekrut karyawan yang kompeten untuk mengelola galeri, sekaligus menjalin relasi dengan para seniman lokal yang tertarik untuk bekerja sama. Dalam setiap pertemuan, Rain berusaha memastikan bahwa galerinya bukan hanya sekadar tempat pameran, tetapi juga wadah untuk mendukung dan mengembangkan karir para seniman. Di tengah kesibukan itu, sebuah kejutan tak terduga datang. Radit, teman lamanya semasa kuliah, tiba-tiba muncul di galeri. Saat melihat sosok Radit, Rain terkejut sekaligus senang. Mereka tidak bertemu sejak lulus kuliah, dan sekarang Radit berdiri di hadapannya, tampak lebih dewasa dan sukses. "Rain! Lama nggak ketemu, bro!" sapa Radit dengan senyum lebar sambil merentangkan tangan untuk memeluk Rain. Rain membalas pelukan itu, sedikit terkejut dengan kedatangan mendadak temannya. "Radit! Apa kabar? Lama nggak dengar kabar dari lo," balas Rain sambil menepuk-nepuk pu
Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya Angga diizinkan untuk pulang. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi pikirannya kembali penuh dengan masalah yang menghantuinya sebelum ia jatuh sakit. Malam itu, di ruang keluarga yang sepi, Angga dan Meilani duduk berdampingan, membicarakan hal yang membuat mereka gelisah selama beberapa bulan terakhir. “Perusahaan kita di ambang kehancuran,” ucap Angga dengan suara berat, sambil menatap kosong ke arah meja di depannya. “Proyek hotel itu... seharusnya berjalan lancar. Tapi tiba-tiba saja semuanya kacau.” Meilani menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. "Aku tahu, Mas. Tapi ini bukan salah kamu. Kamu sudah lakuin yang terbaik. Kita selalu menjaga kualitas setiap proyek, jadi kenapa ini bisa terjadi?” Angga menghela napas panjang, seolah-olah mencoba mencerna situasi yang masih terasa tidak masuk akal baginya. “Mereka nuntut ganti rugi yang besar, sayang. Semua karena keterlambatan dan kualitas bangunan yang katanya tidak
Malam itu, setelah seharian bekerja di La Grandeur, Summer pulang dengan tubuh yang lelah. Namun, pikirannya jauh lebih lelah dari fisiknya. Percakapan yang ia dengar di restoran tadi siang terus terngiang-ngiang di kepalanya, mengganggu konsentrasinya. Siapa wanita cantik yang membicarakan tentang Rain dan rencana pernikahannya? Summer duduk di sofa apartemennya yang sederhana, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang tak jelas itu. Namun, suara kecil Haru menariknya kembali ke kenyataan. “Ibu?” panggil Haru, sambil mendekati Summer dengan wajah penuh harap. “Kita pergi ke rumah kakek, ya? Haru mau main sama kakek.” Summer menatap anaknya dengan lembut, perasaan hangat muncul di hatinya meskipun pikirannya masih kalut. Haru tampak begitu gembira saat bertemu dengan kakeknya, dan meskipun hubungan mereka dengan Angga baru saja membaik, Haru sudah merasa begitu dekat dengan kakeknya. “Oke, sayang. Kita pergi ke rumah kakek besok, ya?” jawab Summer akhirnya, meskipun pikir
Keesokan harinya, Sari berusaha mencari cara untuk mendekatkan diri dengan Rain. Ia pun mengajaknya untuk makan siang bersama, dan kali ini Sari sengaja memilih restoran La Grandeur. Ia memiliki niat terselubung, ingin memamerkan kebersamaannya dengan Rain di hadapan Summer. Rain, di sisi lain, setuju karena ia juga memiliki alasan pribadi—ia ingin bertemu dengan Summer lagi, setelah apa yang terjadi sebelumnya. Sesampainya di La Grandeur, Sari dan Rain duduk di meja yang nyaman. Namun, saat mereka melihat-lihat sekitar, Summer tidak terlihat di antara para pelayan yang lalu lalang melayani tamu. Sari, yang sepertinya tidak begitu peduli, mulai berbincang dengan Rain, namun Rain tidak sepenuhnya fokus. Pikirannya melayang pada Summer dan ia mulai merasa khawatir. Setelah beberapa saat menunggu dan Summer masih belum muncul, Rain akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arif, pemilik restoran, dan menanyakan keberadaan Summer. Tak lama kemudian, Arif membalas pesannya, mem
Setelah Summer pergi, Meilani duduk di samping tempat tidur Angga. Ia menatap suaminya yang masih terlihat lemah. Wajahnya tampak tegas, namun penuh kekhawatiran. Dengan suara lembut, Meilani memulai percakapan yang sudah lama ingin ia bicarakan. "Mas, kita perlu bicara," katanya perlahan, menggenggam tangan suaminya dengan lembut. Angga menghela napas, menatap istrinya dengan mata lelah. "Aku tahu, Meilani. Ini tentang Summer lagi?" Meilani mengangguk, tidak ingin mengelak. "Iya, tentang Summer dan tentang kita. Kondisi kamu makin memburuk, dan kita nggak bisa terus begini. Aku minta kamu untuk berhenti keras kepala dan kasih Summer kesempatan. Dia anak kita, Mas. Dia pantas untuk dapat kesempatan. Hubungan keluarga kita harus diperbaiki, Mas. Aku nggak mau kita kayak gini twrus. Aku sudah capek." Angga terdiam, pikirannya berputar-putar memikirkan segala yang telah terjadi. Selama bertahun-tahun, ia merasa dikhianati oleh Summer, merasa bahwa putrinya telah meninggalkannya dan k
Hari itu adalah hari terakhir Summer bekerja di La Grandeur. Keputusan untuk berhenti bekerja bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi ia tahu bahwa keluarganya membutuhkan dirinya lebih dari sekadar pekerjaannya saat ini. Ia ingin membantu ayahnya dan mengambil tanggung jawab lebih besar di perusahaan keluarga mereka.Seusai melayani beberapa meja, Summer kembali menunggu untuk dipanggil sambil memperhatikan pengunjung yang datang. Summer merasa campur aduk. Perpisahan dengan rekan-rekan kerja dan tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa bulan terasa sulit. Namun, di satu sisi, ia juga merasa lega karena bisa fokus pada keluarganya.Ketika Summer sedang melamun, ia melihat di kejauhan seseorang mengangkat tangannya. Summer bergerak ke arah meja tersebut tanpa prasangka apapun. Tapi ketika ia bergerak lebih dekat, jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang karena wajah familiar yang duduk di meja tersebut. Summer ingin berbalik, tapi pria tersebut juga sedang menat