Setelah pertemuannya yang tak terduga dengan Summer di La Grandeur, Ben merasakan kekacauan emosional yang sulit ia pahami. Ada perasaan kecewa dan marah yang mendidih dalam dirinya, meskipun mereka telah lama berpisah. Melihat Summer yang seolah-olah telah melupakannya dan menjalani hidupnya tanpa sedikit pun tanda penyesalan membuat amarah Ben semakin membara.Ben duduk di dalam mobilnya, pikirannya berkecamuk. "Bagaimana dia bisa lupa semuanya begitu aja?" gumamnya dengan suara rendah, tangannya mengepal di atas kemudi. "Apa semua yang terjadi di antara aku sama dia nggak berarti apa-apa?"Ben mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan marah dan terluka terus menguasai pikirannya. Ben merasa seolah-olah Summer telah menutup semua kenangan mereka, seolah dirinya tidak pernah ada dalam hidupnya. Kenangan masa lalu mereka berputar dalam benaknya—tentang hubungan mereka yang dulu begitu dekat, dan juga tentang bagaimana semuanya berakhir dengan buruk. Ben tahu, kesalahannya yang terbes
Setelah bergabung dengan AM Konstruksi, Summer mulai mempelajari secara mendalam seluk-beluk perusahaan dan masalah yang mereka hadapi. Sejak dulu, perusahaan ayahnya selalu sukses menjalankan proyek-proyek besar tanpa masalah berarti. Namun, kali ini terasa berbeda, seolah ada yang sengaja merancang kegagalan mereka.Summer merasa ada yang tidak beres, dan instingnya memaksanya untuk menggali lebih dalam. Ketika ia sedang meneliti berkas-berkas terkait sengketa hukum yang menjerat perusahaan mereka, matanya terhenti pada sebuah nama yang sangat familiar—Ben. Nama itu tertulis jelas sebagai pihak yang menggugat perusahaan ayahnya.Jantung Summer berdetak kencang. Ingatannya langsung melayang pada masa lalu yang pahit. Ben, mantan pacarnya, adalah orang yang telah menghancurkan hidupnya sepuluh tahun lalu. Pria itu tidak hanya meninggalkannya saat ia sangat membutuhkan dukungan, tapi kini tampaknya Ben berniat untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya juga.Summer tidak bisa memperc
Ben berdiri di belakang meja sidang dengan wajah yang penuh kepuasan. Melihat Angga jatuh tak sadarkan diri dan Summer yang tampak terpukul, ia merasa seluruh rencananya telah berhasil dengan sempurna. Bagi Ben, ini adalah balasan yang manis untuk semua luka dan kehampaan yang ia rasakan setelah hubungan mereka berakhir.Di tengah kekacauan dan panik di ruang sidang, Ben melangkah mendekati Summer dengan langkah tenang. Ekspresinya tidak menunjukkan penyesalan, melainkan kebanggaan dan kepuasan. Ia menghadapi Summer yang tampak marah dan hancur."Jadi, Summer," Ben memulai dengan nada mengejek, "sekarang kamu ingat aku, kan?"Summer menatap Ben dengan kemarahan yang membara. "Lo benar-benar brengsek! Lo udah hancurin hidup gue, dan sekarang lo buat keluarga gue hancur juga?!! Gue nggak akan pernah maafin lo, Ben!! Gue akan balas semua yang sudah lo buat ke gue dan keluarga gue!!"Ben hanya tersenyum sinis mendengar ancaman Summer. "Lo terlalu emosional, Summer. Ini semua masalah kecil
Malam itu, di dalam ruangan VVIP rumah sakit, suasana terasa begitu sunyi dan penuh beban. Meilani duduk di samping tempat tidur suaminya, tangisnya tertahan, tapi matanya yang sembab tak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Angga, yang selalu tampak kuat dan kokoh sebagai kepala keluarga, kini terbaring tak berdaya, membuat hatinya hancur berkeping-keping.Di sudut ruangan, Summer duduk di sofa dengan Haru dalam pelukannya. Ia mengelus rambut anaknya dengan lembut, mencoba menenangkan diri sekaligus Haru yang meski belum sepenuhnya mengerti, ikut merasakan kesedihan yang melanda keluarga mereka."Ibu, Kakek kapan bangun?" tanya Haru, suaranya kecil dan penuh kebingungan.Summer terdiam sejenak, merasakan air matanya hampir tumpah lagi. "Kakek lagi butuh banyak istirahat, sayang," jawabnya dengan lembut, berusaha terdengar setenang mungkin. "Kita doakan saja, ya, supaya Kakek cepat sembuh."Haru mengangguk kecil, tapi masih terlihat ragu. "Haru boleh temani Kakek terus?"Summe
Summer memulai hari dengan penuh semangat, meski langit Jakarta menampakkan awan hitam pertanda hujan. Ia tahu, perjuangan yang harus dihadapinya tidak akan mudah. Dengan setumpuk lamaran di tangannya, Summer melangkah keluar dari apartemen kecilnya menuju pusat kota.Sebenarnya Summer ingin menggunakan mobil milik orang tuanya, tapi Summer merasa kurang hati. Jadilah kali ini ia bergerak menggunakan transportasi umum.Pagi itu, Summer mengalami kejadian pertama yang tidak mengenakkan. Di tengah perjalanan, sepatu hak tinggi yang ia kenakan tiba-tiba terputus, membuatnya harus berjalan dengan satu sepatu dan satu sandal jepit. "Baru awal, sudah ada aja cobaannya," keluh Summer. Ia mencoba untuk tetap tenang dan berjalan cepat menuju perusahaan pertama yang akan ia datangi. Meski langkahnya tidak stabil, ia tetap bertekad untuk sampai ke tempat tujuan.Saat akhirnya sampai di kantor pertama, Summer mendapati bahwa lamaran yang ia bawa tidak sesuai dengan persyaratan yang baru saja dip
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Summer masih menghadapi kesulitan besar dalam mencari pekerjaan. Dengan biaya rumah sakit yang melonjak dan kebutuhan obat-obatan, tabungan orang tuanya semakin menipis. Meskipun mereka bisa memindahkan ayahnya ke ruang kelas yang lebih rendah untuk mengurangi biaya, Summer merasa tidak tega melakukannya, dan terus berusaha mencari solusi lain.Di tengah tekanan yang semakin berat, Summer tiba-tiba menerima telepon dari Arif, mantan bosnya di La Grandeur. Summer bergerak menjauh dari Meilani dan Haru, kemudian menjawab telepon dari Arif. “Selamat malam, Pak Arif.” Suara Summer terdengar lelah namun penuh harapan.“Selamat malam, Summer. Maaf kalau aku telepon kamu di waktu yang kurang tepat. Apa kamu punya kenalan yang lagi cari kerjaan?"Pertanyaan Arif membuat Summer mengerutkan keningnya. "Emangnya ada apa, Pak? La Grandeur punya lowongan kerja, Pak?""Bukan... kali ini bukan restoran milik aku. Kebetulan, kenalan aku lagi nyari ART, jadi dia m
Keesokan harinya, Summer memutuskan untuk menggunakan mobil orang tuanya menuju alamat yang diberikan oleh Arif. Meskipun baru saja menerima tawaran pekerjaan sebagai ART, Summer tetap ingin tampil profesional dan sopan. Ia memilih busana yang modis namun tetap rapi: sebuah gaun midi berwarna navy dengan potongan elegan, yang dipadukan dengan blazer putih bersih. Sepatu hak rendah berwarna nude melengkapi penampilannya, memberikan kesan yang anggun namun nyaman. Sesampainya di depan Grand Metro Apartments, Summer terkesima dengan kemegahan gedung tersebut. Gedung pencakar langit yang berdiri megah di tengah-tengah kota Jakarta itu memiliki fasad kaca yang berkilau, mencerminkan cahaya matahari dan menambahkan kesan modern serta mewah. Summer melangkah menuju pintu masuk dengan penuh semangat, berharap dapat memulai hari barunya dengan baik. Setelah melewati lobi yang luas dan dihiasi dengan ornamen elegan, Summer menaiki lift menuju lantai teratas. Di dalam lift, ia memperhatikan se
Keesokan harinya, Summer sengaja berangkat lebih awal ke tempat kerjanya, berharap dapat bertemu dengan pemilik rumah yang masih menjadi misteri baginya. Namun, sesampainya di sana, ia lagi-lagi tidak menemukan tanda-tanda kehadiran sang pemilik rumah. Saat ia sedang membantu Bu Tina di dapur, Summer bertanya dengan nada penasaran, "Bu Tina, apa Tuan Muda biasanya berangkat sepagi ini?" Bu Tina tersenyum sambil mengaduk panci di hadapannya. "Iya, Nona. Tuan Muda pergi lebih awal. Biasanya dia memang jarang ada di rumah terlalu lama."Summer semakin penasaran. "Emang kerjaannya Tuan Muda apa, Bu Tina?"Ibu Tina bergerak ke arah kulkas, mengambil beberapa bahan makanan. "Tuan Muda pengusaha, tapi Ibu juga nggak tau usaha di bidang apa aja. Pokoknya banyak usahanya Tuan Muda." Summer mengangguk, sedikit kecewa karena rencananya untuk bertemu pemilik rumah kembali gagal. Namun, ia tetap melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Anehnya, meskipun rumah tersebut sangat luas, tidak banyak ya