Setelah kesuksesan pembukaan galeri Lumiere d'été, hari-hari Rain menjadi semakin sibuk. Ia kini fokus merekrut karyawan yang kompeten untuk mengelola galeri, sekaligus menjalin relasi dengan para seniman lokal yang tertarik untuk bekerja sama. Dalam setiap pertemuan, Rain berusaha memastikan bahwa galerinya bukan hanya sekadar tempat pameran, tetapi juga wadah untuk mendukung dan mengembangkan karir para seniman. Di tengah kesibukan itu, sebuah kejutan tak terduga datang. Radit, teman lamanya semasa kuliah, tiba-tiba muncul di galeri. Saat melihat sosok Radit, Rain terkejut sekaligus senang. Mereka tidak bertemu sejak lulus kuliah, dan sekarang Radit berdiri di hadapannya, tampak lebih dewasa dan sukses. "Rain! Lama nggak ketemu, bro!" sapa Radit dengan senyum lebar sambil merentangkan tangan untuk memeluk Rain. Rain membalas pelukan itu, sedikit terkejut dengan kedatangan mendadak temannya. "Radit! Apa kabar? Lama nggak dengar kabar dari lo," balas Rain sambil menepuk-nepuk pu
Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya Angga diizinkan untuk pulang. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi pikirannya kembali penuh dengan masalah yang menghantuinya sebelum ia jatuh sakit. Malam itu, di ruang keluarga yang sepi, Angga dan Meilani duduk berdampingan, membicarakan hal yang membuat mereka gelisah selama beberapa bulan terakhir. “Perusahaan kita di ambang kehancuran,” ucap Angga dengan suara berat, sambil menatap kosong ke arah meja di depannya. “Proyek hotel itu... seharusnya berjalan lancar. Tapi tiba-tiba saja semuanya kacau.” Meilani menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran. "Aku tahu, Mas. Tapi ini bukan salah kamu. Kamu sudah lakuin yang terbaik. Kita selalu menjaga kualitas setiap proyek, jadi kenapa ini bisa terjadi?” Angga menghela napas panjang, seolah-olah mencoba mencerna situasi yang masih terasa tidak masuk akal baginya. “Mereka nuntut ganti rugi yang besar, sayang. Semua karena keterlambatan dan kualitas bangunan yang katanya tidak
Malam itu, setelah seharian bekerja di La Grandeur, Summer pulang dengan tubuh yang lelah. Namun, pikirannya jauh lebih lelah dari fisiknya. Percakapan yang ia dengar di restoran tadi siang terus terngiang-ngiang di kepalanya, mengganggu konsentrasinya. Siapa wanita cantik yang membicarakan tentang Rain dan rencana pernikahannya? Summer duduk di sofa apartemennya yang sederhana, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang tak jelas itu. Namun, suara kecil Haru menariknya kembali ke kenyataan. “Ibu?” panggil Haru, sambil mendekati Summer dengan wajah penuh harap. “Kita pergi ke rumah kakek, ya? Haru mau main sama kakek.” Summer menatap anaknya dengan lembut, perasaan hangat muncul di hatinya meskipun pikirannya masih kalut. Haru tampak begitu gembira saat bertemu dengan kakeknya, dan meskipun hubungan mereka dengan Angga baru saja membaik, Haru sudah merasa begitu dekat dengan kakeknya. “Oke, sayang. Kita pergi ke rumah kakek besok, ya?” jawab Summer akhirnya, meskipun pikir
Keesokan harinya, Sari berusaha mencari cara untuk mendekatkan diri dengan Rain. Ia pun mengajaknya untuk makan siang bersama, dan kali ini Sari sengaja memilih restoran La Grandeur. Ia memiliki niat terselubung, ingin memamerkan kebersamaannya dengan Rain di hadapan Summer. Rain, di sisi lain, setuju karena ia juga memiliki alasan pribadi—ia ingin bertemu dengan Summer lagi, setelah apa yang terjadi sebelumnya. Sesampainya di La Grandeur, Sari dan Rain duduk di meja yang nyaman. Namun, saat mereka melihat-lihat sekitar, Summer tidak terlihat di antara para pelayan yang lalu lalang melayani tamu. Sari, yang sepertinya tidak begitu peduli, mulai berbincang dengan Rain, namun Rain tidak sepenuhnya fokus. Pikirannya melayang pada Summer dan ia mulai merasa khawatir. Setelah beberapa saat menunggu dan Summer masih belum muncul, Rain akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arif, pemilik restoran, dan menanyakan keberadaan Summer. Tak lama kemudian, Arif membalas pesannya, mem
Setelah Summer pergi, Meilani duduk di samping tempat tidur Angga. Ia menatap suaminya yang masih terlihat lemah. Wajahnya tampak tegas, namun penuh kekhawatiran. Dengan suara lembut, Meilani memulai percakapan yang sudah lama ingin ia bicarakan. "Mas, kita perlu bicara," katanya perlahan, menggenggam tangan suaminya dengan lembut. Angga menghela napas, menatap istrinya dengan mata lelah. "Aku tahu, Meilani. Ini tentang Summer lagi?" Meilani mengangguk, tidak ingin mengelak. "Iya, tentang Summer dan tentang kita. Kondisi kamu makin memburuk, dan kita nggak bisa terus begini. Aku minta kamu untuk berhenti keras kepala dan kasih Summer kesempatan. Dia anak kita, Mas. Dia pantas untuk dapat kesempatan. Hubungan keluarga kita harus diperbaiki, Mas. Aku nggak mau kita kayak gini twrus. Aku sudah capek." Angga terdiam, pikirannya berputar-putar memikirkan segala yang telah terjadi. Selama bertahun-tahun, ia merasa dikhianati oleh Summer, merasa bahwa putrinya telah meninggalkannya dan k
Hari itu adalah hari terakhir Summer bekerja di La Grandeur. Keputusan untuk berhenti bekerja bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi ia tahu bahwa keluarganya membutuhkan dirinya lebih dari sekadar pekerjaannya saat ini. Ia ingin membantu ayahnya dan mengambil tanggung jawab lebih besar di perusahaan keluarga mereka.Seusai melayani beberapa meja, Summer kembali menunggu untuk dipanggil sambil memperhatikan pengunjung yang datang. Summer merasa campur aduk. Perpisahan dengan rekan-rekan kerja dan tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa bulan terasa sulit. Namun, di satu sisi, ia juga merasa lega karena bisa fokus pada keluarganya.Ketika Summer sedang melamun, ia melihat di kejauhan seseorang mengangkat tangannya. Summer bergerak ke arah meja tersebut tanpa prasangka apapun. Tapi ketika ia bergerak lebih dekat, jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang karena wajah familiar yang duduk di meja tersebut. Summer ingin berbalik, tapi pria tersebut juga sedang menat
Setelah pertemuannya yang tak terduga dengan Summer di La Grandeur, Ben merasakan kekacauan emosional yang sulit ia pahami. Ada perasaan kecewa dan marah yang mendidih dalam dirinya, meskipun mereka telah lama berpisah. Melihat Summer yang seolah-olah telah melupakannya dan menjalani hidupnya tanpa sedikit pun tanda penyesalan membuat amarah Ben semakin membara.Ben duduk di dalam mobilnya, pikirannya berkecamuk. "Bagaimana dia bisa lupa semuanya begitu aja?" gumamnya dengan suara rendah, tangannya mengepal di atas kemudi. "Apa semua yang terjadi di antara aku sama dia nggak berarti apa-apa?"Ben mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan marah dan terluka terus menguasai pikirannya. Ben merasa seolah-olah Summer telah menutup semua kenangan mereka, seolah dirinya tidak pernah ada dalam hidupnya. Kenangan masa lalu mereka berputar dalam benaknya—tentang hubungan mereka yang dulu begitu dekat, dan juga tentang bagaimana semuanya berakhir dengan buruk. Ben tahu, kesalahannya yang terbes
Setelah bergabung dengan AM Konstruksi, Summer mulai mempelajari secara mendalam seluk-beluk perusahaan dan masalah yang mereka hadapi. Sejak dulu, perusahaan ayahnya selalu sukses menjalankan proyek-proyek besar tanpa masalah berarti. Namun, kali ini terasa berbeda, seolah ada yang sengaja merancang kegagalan mereka.Summer merasa ada yang tidak beres, dan instingnya memaksanya untuk menggali lebih dalam. Ketika ia sedang meneliti berkas-berkas terkait sengketa hukum yang menjerat perusahaan mereka, matanya terhenti pada sebuah nama yang sangat familiar—Ben. Nama itu tertulis jelas sebagai pihak yang menggugat perusahaan ayahnya.Jantung Summer berdetak kencang. Ingatannya langsung melayang pada masa lalu yang pahit. Ben, mantan pacarnya, adalah orang yang telah menghancurkan hidupnya sepuluh tahun lalu. Pria itu tidak hanya meninggalkannya saat ia sangat membutuhkan dukungan, tapi kini tampaknya Ben berniat untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya juga.Summer tidak bisa memperc