Share

06

Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya.

***

Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar.

Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.

"Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk.

Suara di ujung telepon terdengar panik dan tergesa-gesa. "Misel, gue butuh bantuan lo. Gue mau kabur dari Indonesia."

Misel yang masih setengah sadar kembali bertanya pada Summer. "Kabur dari Indonesia? Lo lagi ngigau, kan? Udah, ah! Gue ngantuk banget, Summer. Nggak usah bercanda."

"Gue serius, Misel! Lo harus bantu gue!"

Misel yang semula tidak fokus, langsung bangun dari posisi tidurnya. "Summer? Lo tau apa yang barusan lo bilang, kan? Kabur dari Indonesia? Kenapa lo mau kabur? Emang lo ada masalah apa?"

"Gue hamil, Sel. Parahnya lagi, orang tua gue mau nikahin gue sama Rain."

Misel serasa sedang diguyur dengan air dingin. "Ha?! Apa?! Hamil?! Nikah?!" Mata Misel terbuka sepenuhnya. "Wait! Lo di mana sekarang?!"

"Gue ada di sekitar rumah sakit Pratama. Tolong jemput gue, Misel. gue nggak bisa lama-lama di sini."

Misel melompat dari tempat tidur, dengan hati yang berdebar kencang. "Tunggu, gue ke sana sekarang!"

Tanpa berpikir panjang, Misel meraih jaket yang tergeletak di kursi dan segera mengenakannya di atas piyama tidurnya. Ia berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan cepat. Saking buru-burunya, Misel hampir terjatuh beberapa kali, namun ia tetap melangkah cepat sambil mengumpat.

Ketika Misel mencapai mobilnya, tangannya gemetar mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang. "Shit!" umpat Misel. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya mesin mobil menyala.

Brumm!

Dengan tatapan kesal dan perasaan panik, Misel melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.

***

Ketika Misel tiba di sekitar rumah sakit, matanya segera mencari sosok sahabatnya. Tak lama kemudian, ia melihat Summer berdiri di bawah lampu jalan, wajahnya terlihat pucat dan cemas.

Misel menghentikan mobilnya dengan cepat, keluar dari mobil, dan berlari menuju Summer. "Summer?! Lo baik-baik aja, kan?! Gimana semuanya bisa jadi gini?!"

Summer mengangguk, meskipun jelas terlihat ia tidak sepenuhnya baik-baik saja. "Kita bicara di mobil aja, Misel. Gue udah kedinginan karena nunggu lo di sini."

Misel langsung mengetuk kepalanya sendiri. "Dasar bego! Yuk ke mobil gue."

Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan Misel segera menuntut Summer untuk bercerita. "Oke, sekarang cerita semuanya ke gue."

Summer menatap Misel dengan sorot mata sedih. "Gue hamil, Sel. Dan Ben nggak mau tanggung jawab karena dia mau ngelanjutin S2."

Misel langsung memukul setir mobilnya. "Laki-laki brengsek! Gue nggak nyangka Ben orang kayak gitu!"

Summer membiarkan Misel memaki Ben, karena Summer juga membenci Ben saat ini.

"Terus maksud lo nikah sama Rain?" Kali ini Misel memasang wajah penasaran. "Rain yang cowok paling ganteng di kampus kita?"

Summer mendesah pelan. Ia tahu kalau Misel juga tergabung dalam cegilnya Rain, laki-laki paling menarik dan cool di kampus mereka. "Iya, yang itu," jawab Summer.

Mulut Misel menganga seketika. "Lo harus terima! Kalau memang sama Rain yang itu, gue bakal jadi orang pertama yang ngedukung lo sama dia! Kesempatan nggak datang dua kali, Summer! Dia ganteng , kaya, cool, tinggi, sexy, pokoknya dia tuh sempurna banget! Udah, tinggalin cowok kayak Ben, terus lo nikahin Rain!"

Kini giliran Summer yang menganga. Ia tahu kalau Misel tergila-gila dengan Rain, tapi bukan berarti Misel harus menularkan kegilaannya. "Gue masih waras, Sel. Lo mau gue nikah sama Rain dan minta dia bertanggung jawab untuk perbuatan gue sama Ben?" Summer menggelengkan kepalanya. "Gue masih ada malu."

Misel mendesah panjang. "Jadi lo mau gimana?"

keputusan Summer sudah bulat. "Bantu gue kabur dari Indonesia."

Misel menatap Summer dengan pandangan serius. "Lo udah pikir baik-baik, kan? Lo akan hidup sendiri, dan sekarang lo juga lagi hamil. Di mana lo harus tinggal, makanan dan kesehatan lo. Semuanya harus lo pikir."

"Gue udah mikir semuanya. Tabungan gue cukup untuk beberapa bulan dan buat bayar tempat tinggal di Korea. Gue di sana juga bakal nyari kerja nanti."

"Tapi nggak semudah itu, Summer." Misel tetap berusaha untuk membatalkan keputusan Summer. "Apa lo harus benar-benar pergi dari Indonesia? Lo bisa aja ke pelosok dan nggak ada yang bisa nemuin lo."

"Orang tua gue tetap bakal bisa cari gue, Sel. Gue harus keluar dari Indonesia," tekan Summer.

Misel menarik nafasnya dalam-dalam. Jika Summer sudah memutuskan, maka tidak ada yang bisa ia perbuat. "Oke, gue ikutin mau lo. Terus sekarang lo mau ke mana?"

"Antar gue ke hotel, tapi kita check in pakai nama lo. Gue butuh waktu buat siapin semuanya. Hanya satu hari, dan lo harus bantu gue," ucap Summer.

Misel mengangguk. "Gue bakal bantu lo sebisa gue."

Summer tersenyum karena ia tahu kalau Misel selalu bisa diandalkan. Dalam situasi apapun, Misel selalu mendukung Summer. "Makasih, Sel. Gue nggk tau gue bakal gimana kalau nggak ada lo."

Misel menyalakan mesin mobil lalu mengenakan sabuk pengaman. "Sebagai calon aunty dari anak dalam kandungan lo itu, gue harus sekeren ini, kan?"

Summer tertawa kecil, menanggapi candaan Misel. "Siap, aunty Misel. Gue bakal ceritain soal lo ke anak gue setiap hari."

"Awas kalau nggak! Gue kejar lo sampai Korea!" balas Misel, lalu memacu mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit.

***

Keesokan paginya, Rain tiba di rumah sakit dengan penuh harapan. Ia ingin mengundang orang tua Summer, agar mereka bisa bertemu dengan keluarganya dan membicarakan rencana pernikahan. Namun, begitu ia tiba di kamar Summer, ia mendapati ruangan itu kosong. Hanya suster yang sedang membersihkan kamar yang memberikan petunjuk.

"Permisi, di mana pasien yang ada di kamar ini?" tanya Rain, tetap bersikap tenang.

Suster itu menggelengkan kepala. "Saya baru saja masuk shift pagi ini. Tapi dari yang saya dengar, pasien ini kabur semalam."

Rain merasakan hatinya terjun bebas. Ia bergegas menuju resepsionis untuk mencari informasi lebih lanjut. Setelah berbicara dengan beberapa staf, Rain mendapatkan kepastian bahwa Summer telah melarikan diri dari rumah sakit. Ini adalah situasi yang tidak pernah ia bayangkan.

Dengan perasaan tak karuan, Rain keluar dari rumah sakit. Di luar, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Halo? Gue butuh bantuan lo buat cari orang." Setelah berbicara cukup singkat, Rain langsung bergegas ke arah mobil.

"Sial! Kenapa dia kabur, sih?!" umpat Rain, karena rencananya yang hampir berhasil, kini malah mengalami kendala.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status