Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya.
*** Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar. Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu. "Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk. Suara di ujung telepon terdengar panik dan tergesa-gesa. "Misel, gue butuh bantuan lo. Gue mau kabur dari Indonesia." Misel yang masih setengah sadar kembali bertanya pada Summer. "Kabur dari Indonesia? Lo lagi ngigau, kan? Udah, ah! Gue ngantuk banget, Summer. Nggak usah bercanda." "Gue serius, Misel! Lo harus bantu gue!" Misel yang semula tidak fokus, langsung bangun dari posisi tidurnya. "Summer? Lo tau apa yang barusan lo bilang, kan? Kabur dari Indonesia? Kenapa lo mau kabur? Emang lo ada masalah apa?" "Gue hamil, Sel. Parahnya lagi, orang tua gue mau nikahin gue sama Rain." Misel serasa sedang diguyur dengan air dingin. "Ha?! Apa?! Hamil?! Nikah?!" Mata Misel terbuka sepenuhnya. "Wait! Lo di mana sekarang?!" "Gue ada di sekitar rumah sakit Pratama. Tolong jemput gue, Misel. gue nggak bisa lama-lama di sini." Misel melompat dari tempat tidur, dengan hati yang berdebar kencang. "Tunggu, gue ke sana sekarang!" Tanpa berpikir panjang, Misel meraih jaket yang tergeletak di kursi dan segera mengenakannya di atas piyama tidurnya. Ia berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan cepat. Saking buru-burunya, Misel hampir terjatuh beberapa kali, namun ia tetap melangkah cepat sambil mengumpat. Ketika Misel mencapai mobilnya, tangannya gemetar mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang. "Shit!" umpat Misel. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya mesin mobil menyala. Brumm! Dengan tatapan kesal dan perasaan panik, Misel melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. *** Ketika Misel tiba di sekitar rumah sakit, matanya segera mencari sosok sahabatnya. Tak lama kemudian, ia melihat Summer berdiri di bawah lampu jalan, wajahnya terlihat pucat dan cemas. Misel menghentikan mobilnya dengan cepat, keluar dari mobil, dan berlari menuju Summer. "Summer?! Lo baik-baik aja, kan?! Gimana semuanya bisa jadi gini?!" Summer mengangguk, meskipun jelas terlihat ia tidak sepenuhnya baik-baik saja. "Kita bicara di mobil aja, Misel. Gue udah kedinginan karena nunggu lo di sini." Misel langsung mengetuk kepalanya sendiri. "Dasar bego! Yuk ke mobil gue." Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan Misel segera menuntut Summer untuk bercerita. "Oke, sekarang cerita semuanya ke gue." Summer menatap Misel dengan sorot mata sedih. "Gue hamil, Sel. Dan Ben nggak mau tanggung jawab karena dia mau ngelanjutin S2." Misel langsung memukul setir mobilnya. "Laki-laki brengsek! Gue nggak nyangka Ben orang kayak gitu!" Summer membiarkan Misel memaki Ben, karena Summer juga membenci Ben saat ini. "Terus maksud lo nikah sama Rain?" Kali ini Misel memasang wajah penasaran. "Rain yang cowok paling ganteng di kampus kita?" Summer mendesah pelan. Ia tahu kalau Misel juga tergabung dalam cegilnya Rain, laki-laki paling menarik dan cool di kampus mereka. "Iya, yang itu," jawab Summer. Mulut Misel menganga seketika. "Lo harus terima! Kalau memang sama Rain yang itu, gue bakal jadi orang pertama yang ngedukung lo sama dia! Kesempatan nggak datang dua kali, Summer! Dia ganteng , kaya, cool, tinggi, sexy, pokoknya dia tuh sempurna banget! Udah, tinggalin cowok kayak Ben, terus lo nikahin Rain!" Kini giliran Summer yang menganga. Ia tahu kalau Misel tergila-gila dengan Rain, tapi bukan berarti Misel harus menularkan kegilaannya. "Gue masih waras, Sel. Lo mau gue nikah sama Rain dan minta dia bertanggung jawab untuk perbuatan gue sama Ben?" Summer menggelengkan kepalanya. "Gue masih ada malu." Misel mendesah panjang. "Jadi lo mau gimana?" keputusan Summer sudah bulat. "Bantu gue kabur dari Indonesia." Misel menatap Summer dengan pandangan serius. "Lo udah pikir baik-baik, kan? Lo akan hidup sendiri, dan sekarang lo juga lagi hamil. Di mana lo harus tinggal, makanan dan kesehatan lo. Semuanya harus lo pikir." "Gue udah mikir semuanya. Tabungan gue cukup untuk beberapa bulan dan buat bayar tempat tinggal di Korea. Gue di sana juga bakal nyari kerja nanti." "Tapi nggak semudah itu, Summer." Misel tetap berusaha untuk membatalkan keputusan Summer. "Apa lo harus benar-benar pergi dari Indonesia? Lo bisa aja ke pelosok dan nggak ada yang bisa nemuin lo." "Orang tua gue tetap bakal bisa cari gue, Sel. Gue harus keluar dari Indonesia," tekan Summer. Misel menarik nafasnya dalam-dalam. Jika Summer sudah memutuskan, maka tidak ada yang bisa ia perbuat. "Oke, gue ikutin mau lo. Terus sekarang lo mau ke mana?" "Antar gue ke hotel, tapi kita check in pakai nama lo. Gue butuh waktu buat siapin semuanya. Hanya satu hari, dan lo harus bantu gue," ucap Summer. Misel mengangguk. "Gue bakal bantu lo sebisa gue." Summer tersenyum karena ia tahu kalau Misel selalu bisa diandalkan. Dalam situasi apapun, Misel selalu mendukung Summer. "Makasih, Sel. Gue nggk tau gue bakal gimana kalau nggak ada lo." Misel menyalakan mesin mobil lalu mengenakan sabuk pengaman. "Sebagai calon aunty dari anak dalam kandungan lo itu, gue harus sekeren ini, kan?" Summer tertawa kecil, menanggapi candaan Misel. "Siap, aunty Misel. Gue bakal ceritain soal lo ke anak gue setiap hari." "Awas kalau nggak! Gue kejar lo sampai Korea!" balas Misel, lalu memacu mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit. *** Keesokan paginya, Rain tiba di rumah sakit dengan penuh harapan. Ia ingin mengundang orang tua Summer, agar mereka bisa bertemu dengan keluarganya dan membicarakan rencana pernikahan. Namun, begitu ia tiba di kamar Summer, ia mendapati ruangan itu kosong. Hanya suster yang sedang membersihkan kamar yang memberikan petunjuk. "Permisi, di mana pasien yang ada di kamar ini?" tanya Rain, tetap bersikap tenang. Suster itu menggelengkan kepala. "Saya baru saja masuk shift pagi ini. Tapi dari yang saya dengar, pasien ini kabur semalam." Rain merasakan hatinya terjun bebas. Ia bergegas menuju resepsionis untuk mencari informasi lebih lanjut. Setelah berbicara dengan beberapa staf, Rain mendapatkan kepastian bahwa Summer telah melarikan diri dari rumah sakit. Ini adalah situasi yang tidak pernah ia bayangkan. Dengan perasaan tak karuan, Rain keluar dari rumah sakit. Di luar, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Halo? Gue butuh bantuan lo buat cari orang." Setelah berbicara cukup singkat, Rain langsung bergegas ke arah mobil. "Sial! Kenapa dia kabur, sih?!" umpat Rain, karena rencananya yang hampir berhasil, kini malah mengalami kendala. ***Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer. "Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summ
Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen yang telah disediakan Misel, suasana mobil dipenuhi oleh antusiasme Misel. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang bagaimana kehidupan Summer di Korea, apakah Haru sudah beradaptasi dengan baik, dan bagaimana perasaan Summer setelah kembali ke Indonesia. Summer menjawab dengan singkat, sambil sesekali tersenyum. Walau raga Summer kini sedang bersama Misel dan Haru, tapi pikirannya terus melayang ke Rain. Ia masih teringat dengan jelas betapa tampannya Rain saat mereka bertemu di bandara. Penampilannya yang semi-casual, potongan rambut two block yang trendi, dan aroma parfum yang khas masih membekas dalam ingatannya. Rain terlihat semakin menawan dan dewasa. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Rain terlewatkan, meninggalkan Summer dengan rasa penyesalan yang mengganggu. "Summer?" Summer mengerjap beberapa kali. "Iya, Sel?" "Lo lagi mikirin apa?" tanya Misel, menyelidik. Summer langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ngg
Pameran lukisan yang diadakan Rain di Korea telah menjadi acara yang sukses besar. Galeri tersebut dipenuhi dengan pengunjung yang terpesona oleh karya-karya seni Rain. Beberapa kolektor seni terkemuka bahkan bersedia membayar dengan harga yang fantastis untuk membawa pulang salah satu karyanya. Di tengah keramaian, Rain berdiri dengan senyum bangga, merasa bahwa semua usaha dan kerja kerasnya terbayar lunas. Para wartawan dari berbagai media bergegas mendekatinya, dan mulai melemparkan pertanyaan. Rain memaksakan seulas senyum dan bersikap ramah pada para wartawan. Ada banyak pertanyaan yang datang seputar pameran dan lukisan-lukisan miliknya. Ada juga beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadi, tapi Rain tidak ingin terlalu terbuka kepada para wartawan. Salah satu wartawan, seorang wanita dengan senyum ramah berhasil menarik perhatian Rain. "Tuan Jansen, selamat atas kesuksesan besar pameran Anda malam ini! Apa rencana Anda selanjutnya?" Rain berpikir sejenak sebelum men
Rain tiba di Hotel The Guardian, hotel mewah yang dikelola oleh keluarga Jansen. Begitu melangkah masuk, ia disambut dengan hangat oleh staf hotel yang sudah mengenalnya dari berbagai sumber. Hotel ini adalah salah satu ikon kota, dikenal tidak hanya karena kemewahannya tetapi juga karena pelayanan yang luar biasa. Di lobi hotel, Andreas dan Lili Jansen memperkenalkan Rain kepada para karyawan hotel. Tak hanya itu, banyak yang menghampiri Rain untuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Sebenarnya Rain sudah sangat lelah, tapi ia tetap meladeni karyawan The Guardian Hotel dengan ramah dan sabar. Setelah penyambutan yang memakan energi, Andreas mengajak Rain untuk makan di restoran yang terletak di lantai paling atas. Sambil berjalan menuju lift VIP, Andreas menepuk bahu Rain dengan bangga. "Papa bangga sama kamu, Nak. Kesuksesan kamu sebagai pelukis benar-benar luar biasa. Pameran kamu juga buat nama keluarga dan hotel kita semakin terkenal." Rain tersenyum, merasakan kebanggaa