Ceklek
Bunyi pintu yang ditutup membuat Meilani menoleh. "Mas dari mana aja?" tanya Meilani. Angga tersenyum singkat, lalu menjawab pertanyaan Meilani. "Aku tadi bicara dengan teman Summer di bawah." Meilani tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Kalian bicara apa aja? Gimana soal yang tadi? Mas sudah bicara baik-baik dengan dia?" Angga mengangguk. "Kalau soal salah paham yang tadi, dia nggak marah atau tersinggung. Mama nggak perlu khawatir." Meilani langsung menghembuskan nafasnya, lega. "Syukur kalau gitu. Aku harus minta maaf langsung ke dia, nanti. Aku benar-benar nyesal sudah nampar dia." Angga tersenyum, sambil menepuk bahu Meilani. "Gimana keadaan Summer?" tanya Angga. Meilani menoleh, menatap Summer yang sudah tertidur pulas. "Dia langsung tidur waktu Mas keluar. Oh iya, Mas sudah tau siapa laki-laki yang berhubungan dengan Summer?" Angga menggelengkan kepalanya. "Belum." Meilani mengatup rahangnya rapat-rapat. "Laki-laki kurang ajar!! Kita harus laporin dia ke polisi, Mas!!" Mulanya Angga juga ingin melaporkan laki-laki bejat yang telah menodai putrinya, tapi ia mengurungkan niatnya karena perkataan Rain. "Ma? Kita harus urus pernikahan Summer secepatnya." Mata Meilani menyipit. "Pernikahan??? Emang Mas mau Summer nikah dengan laki-laki yang nggak ada di sini, waktu Summer sakit gini?!!" "Aku bakal cari laki-laki lain buat Summer." Jawaban Angga membuat mata Meilani terbuka lebar. "Apa?! Laki-laki dari mana?! Memangnya ada yang mau ambil tanggung jawab untuk jadi ayah dari anak yang bukan anaknya?! Kita juga belum bicara soal ini dengan Summer, Mas! Kita nggak bisa ambil keputusan sendiri!" Angga sudah berpikir baik-baik tentang tawaran Rain. Selain penampilan Rain yang baik, Angga juga suka dengan latar belakang keluarga Rain. Jika Rain sudah bersedia, maka kini tinggal giliran Angga untuk meyakinkan Meilani dan Summer. "Aku sudah buat keputusan, Ma. Kita nggak bisa tunggu sampai perut Summer membesar. Kita harus nikahin Summer secepatnya." Meilani menggeleng perlahan. Ia masih tidak memahami pemikiran suaminya. "Memangnya laki-laki mana yang mau dengan Summer, Mas?! Tolong, kamu jangan buat keadaan makin rumit!" "Kamu tau laki-laki yang tadi?" tanya Angga. Meilani memicingkan matanya. "Laki-laki yang tadi? Maksud Mas temannya Summer?" Angga mengangguk. "Iya. Nama dia Rain Jansen. Keluarganya yang punya hotel The Guardian. Kebetulan ayahnya teman aku waktu SMA." Meilani langsung dapat menebak jalan pikiran suaminya. "Jadi kamu mau Summer nikah dengan laki-laki yang tadi?" Angga tersenyum singkat. Ia suka dengan istrinya yang cepat tanggap. "Iya, Ma. Kebetulan Rain juga setuju untuk nikah dengan Summer, dan jadi ayah dari anak dalam kandungan Summer." Meilani tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Seorang laki-laki yang ingin mengambil tanggung jawab sebesar itu, apa alasannya? Apakah cinta, atau ada yang lainnya? Meilani tidak langsung menyetujui saran dari Angga, tapi ia juga tidak menolak ide tersebut. Meilani hanya bisa menatap Summer, karena semua keputusan ada di tangan Summer. "Kita tunggu sampai Summer bangun, baru kita bisa mutusin hal ini." Angga mengangguk. Angga harap kesempatan seperti ini tidak akan disia-siakan oleh Summer, karena menikah dengan Rain akan menjadi jalan yang paling baik bagi Summer, dan juga bagi reputasi keluarga mereka. *** "Apa?!! Kamu bilang apa?!!" tanya Andreas sekali lagi. "Nikah?!!" Rain mengangguk. "Iya, pa. Aku mau nikah." Kata-kata Rain sungguh tidak dapat dicerna oleh Andreas. "Kamu baru saja lulus kuliah, dan kamu mau nikah???" Untuk kesekian kalinya, Rain kembali menganggukkan kepalanya. Di sisi Andreas, Lili yang juga terkejut mendengar pengakuan anaknya, ikut melontarkan pertanyaan pada Rain. "Rain? Kamu tau apa arti dari kata-kata yang baru saja kamu ucap, kan?" Rain menatap ibunya. "Aku tau, Ma." Lili menghembuskan nafasnya perlahan. "Setau mama kamu nggak punya pacar semenjak kamu kuliah. Terus kamu tiba-tiba datang dan bilang kamu mau nikah?" Lili lalu menyipitkan matanya untuk menyelidiki Rain. "Kamu hamilin anak orang???" Rain terdiam. Ia tidak pernah melakukan hal seperti itu, namun perempuan yang ingin ia nikahi memang sedang hamil. Apakah ia perlu jujur tentang hal ini pada orang tuanya? Mendengar pertanyaan istrinya, Andreas langsung bangkit berdiri. "Rain??? Kamu hamilin anak orang???" Rain menggeleng. "Nggak, pa. Aku nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu." "Terus apa?! Kenapa kamu mau nikah?! Siapa perempuan yang sudah buat kamu mikir gini?!" Rain lalu menjelaskan, siapa wanita yang ingin ia nikahi, dan siapa ayah dari wanita tersebut. Mendengar cerita Rain, Andreas tentunya terkejut karena Angga adalah teman SMA-nya. Tapi Andreas masih belum mendapatkan alasan dari Rain, mengapa ia ingin menikahi Summer. Selain itu Rain juga tidak mengatakan kalau mereka punya hubungan yang spesial. Karena penasaran, Lili akhirnya mengambil keputusan. "Kalau begitu bawa papa sama mama ketemu keluarga mereka besok. Kita harus bicara tentang ini." Rain mengangguk. "Iya, ma." Memang belum ada persetujuan dari orang tuanya, tapi Rain berharap kalau rencananya akan berhasil. Hanya ini satu-satunya cara agar tujuan Rain tercapai. *** Malam telah larut ketika Summer membuka matanya. Tadi ia sempat mendengarkan percakapan kedua orang tuanya tentang Rain yang ingin menikahi dirinya. Tentu saja Summer terkejut bukan main, karena Rain berani mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Summer bingung, kenapa Rain melakukan sampai sejauh itu. Apa alasannya? Nggak bisa, batin Summer. Aku nggak bisa terima semua ini. Setelah berpikir cukup lama, Summer akhirnya mengambil sebuah keputusan. Ia telah mengecewakan orang tuanya dan dirinya sendiri. Kini ia malah menyeret Rain dalam kekacauan hidupnya. Jujur saja, Summer begitu malu dengan Rain. Ia tidak sanggup untuk bertemu dengan Rain, apalagi sampai membicarakan tentang pernikahan. Karena semua hal yang terjadi pada dirinya dalam satu waktu, Summer akhirnya mengambil keputusan yang cukup berani. Daripada mempermalukan keluarganya, Summer lebih memilih untuk menghilang. Summer turun perlahan dari atas tempat tidurnya, lalu mengendap-endap menuju pintu. Ayah dan ibunya telah tertidur pulas. Sebelum Summer membuka pintu, ia menyempatkan diri untuk mengucapkan salam perpisahan. "Selamat tinggal, ayah, ibu. Aku nggak mau jadi beban untuk kalian lagi. Semua ini salah aku, karena itu aku yang harus nanggung semuanya." Tanpa Summer sadari, air matanya kembali menetes. Dengan cepat ia menyeka air matanya, lalu pergi meninggalkan orang tuanya. Entah ke mana Summer akan pergi, ia tidak perduli. Yang paling penting baginya adalah pergi sejauh-jauhnya agar tidak ada yang bisa menemukannya. Sambil memegang perutnya, Summer berjanji pada anak yang ada dalam kandungannya. "Ibu janji, ibu akan besarin kamu sekuat tenaga." ***Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya. ***Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar.Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu."Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk.Suara di ujung telepon terden
Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer. "Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summ
Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen yang telah disediakan Misel, suasana mobil dipenuhi oleh antusiasme Misel. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang bagaimana kehidupan Summer di Korea, apakah Haru sudah beradaptasi dengan baik, dan bagaimana perasaan Summer setelah kembali ke Indonesia. Summer menjawab dengan singkat, sambil sesekali tersenyum. Walau raga Summer kini sedang bersama Misel dan Haru, tapi pikirannya terus melayang ke Rain. Ia masih teringat dengan jelas betapa tampannya Rain saat mereka bertemu di bandara. Penampilannya yang semi-casual, potongan rambut two block yang trendi, dan aroma parfum yang khas masih membekas dalam ingatannya. Rain terlihat semakin menawan dan dewasa. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Rain terlewatkan, meninggalkan Summer dengan rasa penyesalan yang mengganggu. "Summer?" Summer mengerjap beberapa kali. "Iya, Sel?" "Lo lagi mikirin apa?" tanya Misel, menyelidik. Summer langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ngg
Pameran lukisan yang diadakan Rain di Korea telah menjadi acara yang sukses besar. Galeri tersebut dipenuhi dengan pengunjung yang terpesona oleh karya-karya seni Rain. Beberapa kolektor seni terkemuka bahkan bersedia membayar dengan harga yang fantastis untuk membawa pulang salah satu karyanya. Di tengah keramaian, Rain berdiri dengan senyum bangga, merasa bahwa semua usaha dan kerja kerasnya terbayar lunas. Para wartawan dari berbagai media bergegas mendekatinya, dan mulai melemparkan pertanyaan. Rain memaksakan seulas senyum dan bersikap ramah pada para wartawan. Ada banyak pertanyaan yang datang seputar pameran dan lukisan-lukisan miliknya. Ada juga beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadi, tapi Rain tidak ingin terlalu terbuka kepada para wartawan. Salah satu wartawan, seorang wanita dengan senyum ramah berhasil menarik perhatian Rain. "Tuan Jansen, selamat atas kesuksesan besar pameran Anda malam ini! Apa rencana Anda selanjutnya?" Rain berpikir sejenak sebelum men