"Ibu?!" Summer begitu terkejut saat melihat ibunya menampar Rain. Tanpa pikir panjang, Summer langsung melompat dari tempat tidur, walau kondisinya masih belum pulih. "Ibu apa-apaan?!! Kenapa ibu nampar dia?!!"
Meilani menatap Summer yang kini sudah berdiri di antara dirinya dan laki-laki yang baru saja ia tampar. "Dia yang sudah hamilin kamu, kan?!! Dasar laki-laki kurang-" "Bukan, Bu!! Bukan dia yang hamilin Summer!!" potong Summer, dengan suara kencang. "Ibu jangan buat malu Summer di depan dia!! Dia yang sudah bawa Summer ke rumah sakit!! Dia nggak tau apa-apa soal ini!!" Angga yang tadi sempat mematung, juga ikut bergerak ke sisi Meilani dan buru-buru menenangkan Meilani. "Maaf, istri saya sudah bertindak di luar batas," ucap Angga kepada Rain. "Kamu bohong, kan?!! Pasti kamu bohong hanya karena mau lindungi dia!!" "Meilani!" Suara Angga yang sejak tadi tenang, kini mulia meninggi. "Tenangin diri kamu!" "Tapi Mas-" "Meilani?" Angga menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Jangan buat malu keluarga kita lebih dari ini." Meilani langsung luluh. Rasa marahnya kini berubah menjadi rasa sedih dan kecewa. Ia memeluk suaminya, lalu menangis tanpa mengeluarkan suara. Sedangkan Rain yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa berdiri dan mendengar semua tuduhan yang baru saja keluar dari ibunya Summer. Suasana di dalam ruangan itu benar-benar kacau. Kini bukan hanya Meilani yang menangis, tapi Summer juga mulai menitikkan air mata. Summer merasa malu, karena kini Rain sudah terlibat lebih jauh. Belum cukup mengetahui kalau dirinya hamil, kini Rain malah ditampar dan dituduh oleh ibunya. Entah harus bagaimana Summer saat ini. Ketika Summer sedang menangis, Rain yang merasa iba menarik Summer ke dalam pelukannya. Entah dari mana ia mendapatkan keberanian seperti itu. Di depan orang tua Summer, Rain memeluk Summer dan menenangkan Summer. Summer yang memang sedang membutuhkan seseorang untuk bersandar, tidak mempedulikan kedua orang tuanya. Ia menangis dalam pelukan Rain, karena hidupnya yang telah hancur. "Menangis sepuasnya. Gue ada di sini." Kata-kata dari Rain membuat Summer semakin membenamkan wajahnya. "Gu-gue minta maaf... Hiks... Hiks..." Rain mengangkat tangannya dan mengusap lembut rambut Summer. "Lo nggak salah. Lo nggak perlu minta maaf." Summer menggelengkan kepalanya. "Gue udah buat kecewa semua orang. Gue udah hancur, Rain... Hiks... Hiks... Hi-hidup gue sudah nggak ada gunanya." Rain semakin mengeratkan pelukannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Summer. Dalam hati kecilnya, ia ingin berjanji untuk tidak meninggalkan Summer dan selalu berada di sisi Summer. Ia ingin menyembuhkan dan bertanggung jawab atas segalanya, tapi kata-kata itu ia simpan untuk dirinya sendiri. Faktanya, Rain memang mempunyai rasa untuk Summer, tapi ia tidak mungkin mengungkapkannya sekarang. Setelah tangisan Summer mereda, Rain membimbing Summer ke tempat tidur. "Lo harus istirahat." Summer tidak menjawab perkataan Rain. Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membelakangi Rain dan yang lainnya. Di sisi Summer, Meilani yang juga sudah tenang, duduk sembari mengelus rambut Summer. Ia ingin minta maaf karena telah bersikap agresif. Ia sadar, saat ini kondisi Summer lah yang paling mengkhawatirkan. Ia tidak seharusnya membuat kacau suasana, dan membuat Summer lebih tertekan. Maafin Ibu, sayang, ucap Meilani dalam hati. Melihat Meilani telah dapat mengendalikan emosinya, Angga langsung memberikan isyarat kepada Rain untuk mengikutinya keluar. Rain mengangguk. Ia juga ingin memberikan waktu pada Summer untuk istirahat. Tak lupa, Rain mengambil handphonenya yang ada di atas meja, lalu keluar bersama dengan Angga. Mereka berdua turun ke lantai satu, lalu keluar ke taman. Di sana ada kursi yang disediakan untuk orang-orang yang ingin mencari udara segar. Setelah duduk, tanpa basa-basi Angga langsung meminta maaf pada Rain. "Saya mau minta maaf soal yang tadi. Istri saya sudah nampar kamu dan nuduh kamu yang bukan-bukan." Rain menatap ke kejauhan. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi ia tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Nggak apa-apa, Om. Saya juga nggak pernah marah atau tersinggung dengan kejadian tadi." Angga menoleh sekilas, menatap Rain. "Nama kamu siapa?" Rain menoleh, lalu menyodorkan tangannya kepada Angga. "Nama saya Rain, Om. Rain Frederick Jansen." Angga menyambut jabatan tangan Rain, lalu bertanya, "ada hubungan apa kamu dengan Andreas Jansen?" Rain cukup terkejut karena Angga ternyata mengenal ayahnya. "Itu ayah saya, Om." Alis mata Angga terangkat. "Serius??? Ternyata dunia kecil juga, ya?" Rain yang penasaran, balas bertanya, "Om kenal ayah saya?" Angga melepaskan jabatan tangan ia dan Rain, lalu mengangguk. "Iya, saya kenal ayah kamu. Saya dan Andreas teman SMA dulu. Setelah lulus, kita mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing, jadi sudah jarang saya dan Andreas berkomunikasi." Rain mengangguk perlahan. Jika menyangkut ayahnya, ia tahu dengan jelas seperti apa waktu ayahnya itu. Jika buat keluarga saja Andreas jarang hadir, apalagi untuk teman-temannya? "Tolong sampaikan salam saya untuk ayah kamu," lanjut Angga. "Bilang saja, Angga Widjaja, ayah kamu pasti langsung ingat." Rain kembali mengangguk. "Baik, Om." Setelah perkenalan yang singkat, Angga langsung masuk ke intinya. "Kamu tau kalau Summer hamil?" Rain sudah mengantisipasi datangnya topik tersebut. Karena itu ia tidak terlalu kaget dengan perubahan topik yang tiba-tiba. "Saya tidak terlalu dekat dengan Summer, Om. Saya juga baru tau hari ini, kalau Sammer hamil." Angga menoleh, menatap Rain dengan seksama. "Kamu tau siapa yang hamilin Summer?" Rain terdiam. Jelas saja ia tahu, tapi ia tidak tahu, apa ia punya hak atau kewajiban untuk mengatakan hal tersebut. "Rain?" Melihat Rain yang hanya diam, firasat Angga langsung mengatakan kalau Rain tahu siapa pelakunya. "Kamu tau, kan?" Rain dilema. Ia bingung harus jujur atau tidak. "Sebagai orang tua, saya tidak bisa merubah apa yang sudah terjadi," ucap Angga dengan tenang. "Anak saya sudah hamil, dan tidak ada yang bisa saya perbuat. Tapi setidaknya, saya tidak mau anak saya hamil tanpa laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Kalau laki-laki itu menolak bertanggung jawab, maka saya harus kasih dia hukuman yang setimpal dengan perbuatan dia." Kata-kata Angga membuat Rain semakin merasa bersalah jika ia tetap tutup mulut. Tapi di sisi lain, ia tidak ingin menjadi orang yang membongkar identitas Ben pada ayahnya Summer. Dalam hati Rain, ia ingin menjadi orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Karena itu, Rain mempersiapkan dirinya beberapa saat untuk melontarkan pengakuan yang akan merubah hidupnya. "Maaf, Om," ucap Rain, setelah diam beberapa saat. "Saya nggak tau siapa yang sudah hamilin Summer." Angga tentu saja tidak langsung percaya dengan kata-kata Rain. "Kamu benar-benar nggak tau?" tanya Angga sekali lagi. Ia berharap Rain mau memberikan jawaban yang berbeda kali ini. Namun, Rain tetap meneguhkan hatinya untuk berbohong. "Iya, Om. Saya nggak tau." Angga menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. Ia yakin Rain sedang berbohong, tapi ia tidak bisa memaksa Rain lebih jauh. Angga lalu berdiri dan tersenyum kepada Rain. "Kalau begitu terima kasih karena kamu sudah bantu Summer. Om kembali ke ruangan Summer dulu." Rain tidak membalas perkataan Angga. Ia masih tetap duduk dan menatap Angga yang menjauh. Namun dalam hatinya, ia ingin mengejar Angga dan mengutarakan isi kepalanya. Apa ini hal yang benar? Rain bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah ia harus bertindak sampai sejauh ini? Sebelum Angga masuk ke dalam rumah sakit, tubuh Rain tiba-tiba bergerak, walau pikirannya masih belum memutuskan apa yang harus ia katakan. Pergolakan hebat masih terjadi dalam hati dan pikirannya, namun entah mengapa ia malah menghentikan langkah Angga. "Tunggu, Om!!" Angga berhenti kemudian menoleh. Melihat Rain yang menahannya, ia kembali berharap kalau Rain mau jujur padanya. Namun apa yang ia dengar selanjutnya, malah membuat dirinya terkejut. "Kalau diizinkan, saya mau bertanggung jawab untuk Summer dan anak yang ada di dalam kandungannya," ucap Rain, tanpa ragu sedikitpun. ***Ceklek Bunyi pintu yang ditutup membuat Meilani menoleh. "Mas dari mana aja?" tanya Meilani.Angga tersenyum singkat, lalu menjawab pertanyaan Meilani. "Aku tadi bicara dengan teman Summer di bawah."Meilani tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Kalian bicara apa aja? Gimana soal yang tadi? Mas sudah bicara baik-baik dengan dia?" Angga mengangguk. "Kalau soal salah paham yang tadi, dia nggak marah atau tersinggung. Mama nggak perlu khawatir."Meilani langsung menghembuskan nafasnya, lega. "Syukur kalau gitu. Aku harus minta maaf langsung ke dia, nanti. Aku benar-benar nyesal sudah nampar dia."Angga tersenyum, sambil menepuk bahu Meilani. "Gimana keadaan Summer?" tanya Angga.Meilani menoleh, menatap Summer yang sudah tertidur pulas. "Dia langsung tidur waktu Mas keluar. Oh iya, Mas sudah tau siapa laki-laki yang berhubungan dengan Summer?"Angga menggelengkan kepalanya. "Belum."Meilani mengatup rahangnya rapat-rapat. "Laki-laki kurang ajar!! Kita harus laporin dia ke poli
Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya. ***Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar.Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu."Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk.Suara di ujung telepon terden
Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer. "Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summ
Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen yang telah disediakan Misel, suasana mobil dipenuhi oleh antusiasme Misel. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang bagaimana kehidupan Summer di Korea, apakah Haru sudah beradaptasi dengan baik, dan bagaimana perasaan Summer setelah kembali ke Indonesia. Summer menjawab dengan singkat, sambil sesekali tersenyum. Walau raga Summer kini sedang bersama Misel dan Haru, tapi pikirannya terus melayang ke Rain. Ia masih teringat dengan jelas betapa tampannya Rain saat mereka bertemu di bandara. Penampilannya yang semi-casual, potongan rambut two block yang trendi, dan aroma parfum yang khas masih membekas dalam ingatannya. Rain terlihat semakin menawan dan dewasa. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Rain terlewatkan, meninggalkan Summer dengan rasa penyesalan yang mengganggu. "Summer?" Summer mengerjap beberapa kali. "Iya, Sel?" "Lo lagi mikirin apa?" tanya Misel, menyelidik. Summer langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ngg