Share

03

Summer masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa??? Lo bilang apa barusan???"

Rain menarik nafasnya dalam-dalam. Untuk yang ketiga kalinya, ia mengulangi kalimat dengan maksud yang sama. "Gue bakal jadi ayah dari bayi dalam kandungan lo."

Summer terdiam. Apa Rain sedang bercanda dengannya? Atau, apa mungkin kondisi Summer saat ini begitu menyedihkan, sampai-sampai seseorang yang dikenal dingin dan cuek seperti Rain bisa mengeluarkan kalimat seperti itu?

Entah mana yang benar, namun Summer tidak merasa senang dengan kata-kata Rain. Kondisinya tidak bisa dijadikan lelucon. Ia juga tidak ingin Rain menganggap remeh dirinya. Ia tidak ingin dikasihani oleh Rain, dan harga dirinya menolak untuk bersikap lemah.

"Lo pikir ini lucu?" ucap Summer dengan ekspresi dingin. "Terima kasih karena udah nolong gue. Tapi, gue nggak butuh rasa kasihan lo, atau kata-kata penghiburan dari lo. Gue tau keadaan gue sekarang benar-benar kacau, tapi bukan berarti lo seenaknya aja ngomong kayak gitu ke gue. Lo nggak tau berapa besar tanggung jawab dari kata-kata yang baru lo bilang tadi? Kalau lo niat cuman mau hibur gue, lo cukup diam dan nggak usah kasih gue perhatian palsu."

Kata-kata Summer membuat Rain mengerutkan keningnya. "Lo pikir gue kasihan atau lagi bercanda???" Selama Summer tidak sadarkan diri, Rain sudah memikirkan hal ini dengan baik. "Gue serius dengan kata-kata gu-"

"Stop!" Summer memotong kata-kata Rain, karena ia tidak lagi sanggup mendengar semua itu. Ia baru saja patah hati dan dicampakkan bersama anak dalam kandungannya, dan kini ia harus mendengarkan kata-kata tak masuk akal dari lelaki lain, yang bahkan tidak bisa disebut teman. Summer benar-benar lelah hari ini. "Keluar dari sini."

Rain menyipitkan matanya.

Summer menghembuskan nafasnya perlahan. "Please... Keluar dari sini. Gue nggak mau diganggu."

Rain masih ingin bicara, tapi ia sadar benar kalau Summer telah mengakhiri percakapan mereka dengan ekspresi lelahnya.

Tidak ada yang dapat Rain lakukan atau katakan. Ia bangkit berdiri, lalu meninggalkan Summer sendiri. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk berkata seperti itu. Tapi, Rain benar-benar serius dengan perkataannya. Bukan karena Rain simpati atau ingin mempermainkan Summer, tapi Rain mempunyai alasannya tersendiri.

Ceklek

Saat Rain menutup pintu kamar dan berbalik, sepasang suami istri terlihat berjalan dengan cepat ke arahnya.

"Ini kamarnya Summer???"

Rain memperhatikan wajah wanita yang baru saja bertanya padanya. Dalam pikiran Rain, kalau Summer menginjak usia empat puluhan, wajah Summer pasti terlihat seperti wanita di depannya.

"Kamu temannya Summer?"

Rain mengalihkan pandangannya kepada seorang pria dengan garis wajah tegas. "Iya, Om. Saya temannya Summer."

"Jadi ini ruangannya Summer?"

Rain mengangguk. "Iya, Tante. Summer lagi istirahat di dalam."

Mendengar jawaban Rain, wanita yang adalah ibu Summer langsung bergegas ke dalam ruangan.

"Terima kasih."

Rain tersenyum simpul, lalu bergeser untuk memberikan jalan kepada ayah Summer yang baru saja mengucapkan terima kasih.

Setelah kedua orang tua Summer masuk, Rain bergegas turun ke parkiran rumah sakit.

Ia membuka pintu mobil dan merogoh saku celananya. Niat Rain untuk mencari ponselnya, tapi benda tersebut tidak ada dalam kantong celananya.

"Hm?" Seharusnya Rain dapat merasakan benda tersebut jika memang berada di dalam salah satu kantong celananya, tapi Rain tidak dapat merasakannya.

Rain mulai menggeledah mobilnya, tapi ponselnya juga tidak kunjung ia temukan. Rain lalu diam sejenak dan berpikir. "Apa gue lupa di kamarnya Summer?" Waktu datang, Rain ingat ia memegang benda tersebut. Ia juga sempat menghubungi keluarga Summer, lalu setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh kepalanya dengan air hangat. Setelah mengingat rentetan aktivitasnya, Rain kini yakin kalau handphone miliknya tertinggal di kamar Summer.

Rain lantas keluar dari mobilnya, dan kembali ke kamar Summer.

***

"Apa?!! Hamil?!!" Meilani Widjaja tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut dokter. "Bagaimana bisa anak saya hamil, Dok?!! Dia baru saja lulus kuliah!!"

Dibesarkan oleh keluarga yang taat dan punya peraturan ketat, membuat Meilani juga menerapkan hal tersebut kepada kedua anak perempuannya. Apalagi untuk Summer yang adalah anak sulung, Meilani sangat berharap kalau ia bisa menjadi contoh dan figur yang baik sebagai cerminan dari diri mereka sebagai orang tua.

Tapi apa yang baru saja ia dengar dari dokter, membuat angan-angannya sebagai orang tua langsung hancur seketika.

Di sisi Meilani, Angga Hardianto Widjaja tetap bersikap tenang, walau emosi dalam dirinya sedang bergejolak hebat. Bagaimana tidak? Putri yang selama ini ia banggakan di depan semua orang, malah melakukan hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Dokter yakin anak saya benar-benar hamil?" tanya Angga untuk memastikan.

Dokter yang menangani Summer memasang senyum kaku. Ia tidak bisa menyembunyikan hal tersebut dari orang tua Summer, karena kondisi Summer yang saat ini sedang melemah. "Benar, Pak. Usia kandungan anak Bapak masih sangat muda, karena itu kondisi anak Bapak harus diperhatikan dengan baik."

Angga menghembuskan nafasnya perlahan. Berbeda dengan Meilani yang sedang mengatup rahangnya rapat-rapat.

"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Angga, setelah ia dapat mencerna semua perkataan dokter.

"Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap sang dokter.

Setelah dokter keluar dari ruangan, Meilani langsung melangkah dengan cepat ke arah Summer yang sedang berbaring. "Apa-apaan ini Summer?!! Jelasin ke ibu, kenapa kamu bisa hamil!!!"

Summer menutup matanya. Ia belum mempersiapkan dirinya untuk menghadapi orang tuanya. Saat Summer tau kalau ia hamil, ia berharap kalau ia bisa mengakui hal tersebut kepada orang tuanya, bersama dengan Ben.

Summer merasa sanggup menghadapi kemarahan orang tuanya jika Ben berada di sisinya, dan ingin bertanggung jawab atas apa yang telah mereka berdua lakukan. Tapi kini ia sendirian. Dicampakkan dan tidak punya tempat untuk berpegang di saat segalanya runtuh.

"Summer?!! Jawab ibu!!! Kenapa kamu lakuin hal yang memalukan kayak gini?!!!" seru Meilani, murka.

"Sayang? Tenang dulu. Kita di rumah sakit," ucap Angga, menenangkan Meilani.

Meilani langsung menoleh ke arah Angga. "Gimana aku bisa tenang, Mas?!! Anak kita hamil, Mas!! Kamu pikir ini masalah sepele?!!"

Angga tau kalau ini masalah yang serius. Karena itu, ia bertanya pada Summer. "Di mana laki-laki yang sudah hamilin kamu?"

Summer sudah mengantisipasi banyak pertanyaan dari orang tuanya, tapi pertanyaan tentang siapa pria yang menghamilinya benar-benar membuat Summer terguncang. Apa ia harus menjawab kalau pria brengsek yang menghamilinya telah memutuskan untuk tidak bertanggung jawab?

"Summer?" Suara Angga memang terdengar tenang, tapi ada ketegasan dalam tiap kata-katanya. "Jawab ayah. Siapa yang hamilin kamu."

Air mata Summer tiba-tiba menetes. Ada banyak kekecewaan yang ia pendam. Ia kecewa terhadap Ben yang meninggalkannya. Ia juga kecewa karena telah menyia-nyiakan kepercayaan orang tuanya. Yang paling menyiksanya, ia juga kecewa kepada dirinya sendiri.

"Summer?!!"

Bentakan ibunya membuat air mata Summer mengalir semakin deras.

Saat suasana di dalam ruangan itu terasa menyesakkan untuk Summer, suara pintu ruangan tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Rain yang masuk tanpa ragu-ragu.

"Maaf, tapi handphone saya ketinggalan di sini."

Meilani bergerak cepat ke arah Rain. Emosi telah mengendalikan pikirannya, sehingga semuanya menjadi buram.

Rain adalah orang pertama yang Meilani lihat keluar dari kamar Summer, dan kini laki-laki itu kembali dengan alasan kalau handphonenya tertinggal. Meilani tidak perlu bertanya atau mengkonfirmasi kebenaran dari Rain, karena menurut pemikirannya, Rain adalah laki-laki brengsek yang telah menghamili anaknya.

Tanpa banyak bicara, Meilani langsung mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Rain.

Plakkk!!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status