Summer masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa??? Lo bilang apa barusan???"
Rain menarik nafasnya dalam-dalam. Untuk yang ketiga kalinya, ia mengulangi kalimat dengan maksud yang sama. "Gue bakal jadi ayah dari bayi dalam kandungan lo." Summer terdiam. Apa Rain sedang bercanda dengannya? Atau, apa mungkin kondisi Summer saat ini begitu menyedihkan, sampai-sampai seseorang yang dikenal dingin dan cuek seperti Rain bisa mengeluarkan kalimat seperti itu? Entah mana yang benar, namun Summer tidak merasa senang dengan kata-kata Rain. Kondisinya tidak bisa dijadikan lelucon. Ia juga tidak ingin Rain menganggap remeh dirinya. Ia tidak ingin dikasihani oleh Rain, dan harga dirinya menolak untuk bersikap lemah. "Lo pikir ini lucu?" ucap Summer dengan ekspresi dingin. "Terima kasih karena udah nolong gue. Tapi, gue nggak butuh rasa kasihan lo, atau kata-kata penghiburan dari lo. Gue tau keadaan gue sekarang benar-benar kacau, tapi bukan berarti lo seenaknya aja ngomong kayak gitu ke gue. Lo nggak tau berapa besar tanggung jawab dari kata-kata yang baru lo bilang tadi? Kalau lo niat cuman mau hibur gue, lo cukup diam dan nggak usah kasih gue perhatian palsu." Kata-kata Summer membuat Rain mengerutkan keningnya. "Lo pikir gue kasihan atau lagi bercanda???" Selama Summer tidak sadarkan diri, Rain sudah memikirkan hal ini dengan baik. "Gue serius dengan kata-kata gu-" "Stop!" Summer memotong kata-kata Rain, karena ia tidak lagi sanggup mendengar semua itu. Ia baru saja patah hati dan dicampakkan bersama anak dalam kandungannya, dan kini ia harus mendengarkan kata-kata tak masuk akal dari lelaki lain, yang bahkan tidak bisa disebut teman. Summer benar-benar lelah hari ini. "Keluar dari sini." Rain menyipitkan matanya. Summer menghembuskan nafasnya perlahan. "Please... Keluar dari sini. Gue nggak mau diganggu." Rain masih ingin bicara, tapi ia sadar benar kalau Summer telah mengakhiri percakapan mereka dengan ekspresi lelahnya. Tidak ada yang dapat Rain lakukan atau katakan. Ia bangkit berdiri, lalu meninggalkan Summer sendiri. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk berkata seperti itu. Tapi, Rain benar-benar serius dengan perkataannya. Bukan karena Rain simpati atau ingin mempermainkan Summer, tapi Rain mempunyai alasannya tersendiri. Ceklek Saat Rain menutup pintu kamar dan berbalik, sepasang suami istri terlihat berjalan dengan cepat ke arahnya. "Ini kamarnya Summer???" Rain memperhatikan wajah wanita yang baru saja bertanya padanya. Dalam pikiran Rain, kalau Summer menginjak usia empat puluhan, wajah Summer pasti terlihat seperti wanita di depannya. "Kamu temannya Summer?" Rain mengalihkan pandangannya kepada seorang pria dengan garis wajah tegas. "Iya, Om. Saya temannya Summer." "Jadi ini ruangannya Summer?" Rain mengangguk. "Iya, Tante. Summer lagi istirahat di dalam." Mendengar jawaban Rain, wanita yang adalah ibu Summer langsung bergegas ke dalam ruangan. "Terima kasih." Rain tersenyum simpul, lalu bergeser untuk memberikan jalan kepada ayah Summer yang baru saja mengucapkan terima kasih. Setelah kedua orang tua Summer masuk, Rain bergegas turun ke parkiran rumah sakit. Ia membuka pintu mobil dan merogoh saku celananya. Niat Rain untuk mencari ponselnya, tapi benda tersebut tidak ada dalam kantong celananya. "Hm?" Seharusnya Rain dapat merasakan benda tersebut jika memang berada di dalam salah satu kantong celananya, tapi Rain tidak dapat merasakannya. Rain mulai menggeledah mobilnya, tapi ponselnya juga tidak kunjung ia temukan. Rain lalu diam sejenak dan berpikir. "Apa gue lupa di kamarnya Summer?" Waktu datang, Rain ingat ia memegang benda tersebut. Ia juga sempat menghubungi keluarga Summer, lalu setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh kepalanya dengan air hangat. Setelah mengingat rentetan aktivitasnya, Rain kini yakin kalau handphone miliknya tertinggal di kamar Summer. Rain lantas keluar dari mobilnya, dan kembali ke kamar Summer. *** "Apa?!! Hamil?!!" Meilani Widjaja tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut dokter. "Bagaimana bisa anak saya hamil, Dok?!! Dia baru saja lulus kuliah!!" Dibesarkan oleh keluarga yang taat dan punya peraturan ketat, membuat Meilani juga menerapkan hal tersebut kepada kedua anak perempuannya. Apalagi untuk Summer yang adalah anak sulung, Meilani sangat berharap kalau ia bisa menjadi contoh dan figur yang baik sebagai cerminan dari diri mereka sebagai orang tua. Tapi apa yang baru saja ia dengar dari dokter, membuat angan-angannya sebagai orang tua langsung hancur seketika. Di sisi Meilani, Angga Hardianto Widjaja tetap bersikap tenang, walau emosi dalam dirinya sedang bergejolak hebat. Bagaimana tidak? Putri yang selama ini ia banggakan di depan semua orang, malah melakukan hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Dokter yakin anak saya benar-benar hamil?" tanya Angga untuk memastikan. Dokter yang menangani Summer memasang senyum kaku. Ia tidak bisa menyembunyikan hal tersebut dari orang tua Summer, karena kondisi Summer yang saat ini sedang melemah. "Benar, Pak. Usia kandungan anak Bapak masih sangat muda, karena itu kondisi anak Bapak harus diperhatikan dengan baik." Angga menghembuskan nafasnya perlahan. Berbeda dengan Meilani yang sedang mengatup rahangnya rapat-rapat. "Baik, Dok. Terima kasih," ucap Angga, setelah ia dapat mencerna semua perkataan dokter. "Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap sang dokter. Setelah dokter keluar dari ruangan, Meilani langsung melangkah dengan cepat ke arah Summer yang sedang berbaring. "Apa-apaan ini Summer?!! Jelasin ke ibu, kenapa kamu bisa hamil!!!" Summer menutup matanya. Ia belum mempersiapkan dirinya untuk menghadapi orang tuanya. Saat Summer tau kalau ia hamil, ia berharap kalau ia bisa mengakui hal tersebut kepada orang tuanya, bersama dengan Ben. Summer merasa sanggup menghadapi kemarahan orang tuanya jika Ben berada di sisinya, dan ingin bertanggung jawab atas apa yang telah mereka berdua lakukan. Tapi kini ia sendirian. Dicampakkan dan tidak punya tempat untuk berpegang di saat segalanya runtuh. "Summer?!! Jawab ibu!!! Kenapa kamu lakuin hal yang memalukan kayak gini?!!!" seru Meilani, murka. "Sayang? Tenang dulu. Kita di rumah sakit," ucap Angga, menenangkan Meilani. Meilani langsung menoleh ke arah Angga. "Gimana aku bisa tenang, Mas?!! Anak kita hamil, Mas!! Kamu pikir ini masalah sepele?!!" Angga tau kalau ini masalah yang serius. Karena itu, ia bertanya pada Summer. "Di mana laki-laki yang sudah hamilin kamu?" Summer sudah mengantisipasi banyak pertanyaan dari orang tuanya, tapi pertanyaan tentang siapa pria yang menghamilinya benar-benar membuat Summer terguncang. Apa ia harus menjawab kalau pria brengsek yang menghamilinya telah memutuskan untuk tidak bertanggung jawab? "Summer?" Suara Angga memang terdengar tenang, tapi ada ketegasan dalam tiap kata-katanya. "Jawab ayah. Siapa yang hamilin kamu." Air mata Summer tiba-tiba menetes. Ada banyak kekecewaan yang ia pendam. Ia kecewa terhadap Ben yang meninggalkannya. Ia juga kecewa karena telah menyia-nyiakan kepercayaan orang tuanya. Yang paling menyiksanya, ia juga kecewa kepada dirinya sendiri. "Summer?!!" Bentakan ibunya membuat air mata Summer mengalir semakin deras. Saat suasana di dalam ruangan itu terasa menyesakkan untuk Summer, suara pintu ruangan tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Rain yang masuk tanpa ragu-ragu. "Maaf, tapi handphone saya ketinggalan di sini." Meilani bergerak cepat ke arah Rain. Emosi telah mengendalikan pikirannya, sehingga semuanya menjadi buram. Rain adalah orang pertama yang Meilani lihat keluar dari kamar Summer, dan kini laki-laki itu kembali dengan alasan kalau handphonenya tertinggal. Meilani tidak perlu bertanya atau mengkonfirmasi kebenaran dari Rain, karena menurut pemikirannya, Rain adalah laki-laki brengsek yang telah menghamili anaknya. Tanpa banyak bicara, Meilani langsung mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Rain. Plakkk!! ***"Ibu?!" Summer begitu terkejut saat melihat ibunya menampar Rain. Tanpa pikir panjang, Summer langsung melompat dari tempat tidur, walau kondisinya masih belum pulih. "Ibu apa-apaan?!! Kenapa ibu nampar dia?!!" Meilani menatap Summer yang kini sudah berdiri di antara dirinya dan laki-laki yang baru saja ia tampar. "Dia yang sudah hamilin kamu, kan?!! Dasar laki-laki kurang-""Bukan, Bu!! Bukan dia yang hamilin Summer!!" potong Summer, dengan suara kencang. "Ibu jangan buat malu Summer di depan dia!! Dia yang sudah bawa Summer ke rumah sakit!! Dia nggak tau apa-apa soal ini!!"Angga yang tadi sempat mematung, juga ikut bergerak ke sisi Meilani dan buru-buru menenangkan Meilani. "Maaf, istri saya sudah bertindak di luar batas," ucap Angga kepada Rain. "Kamu bohong, kan?!! Pasti kamu bohong hanya karena mau lindungi dia!!" "Meilani!" Suara Angga yang sejak tadi tenang, kini mulia meninggi. "Tenangin diri kamu!""Tapi Mas-""Meilani?" Angga menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Janga
Ceklek Bunyi pintu yang ditutup membuat Meilani menoleh. "Mas dari mana aja?" tanya Meilani.Angga tersenyum singkat, lalu menjawab pertanyaan Meilani. "Aku tadi bicara dengan teman Summer di bawah."Meilani tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Kalian bicara apa aja? Gimana soal yang tadi? Mas sudah bicara baik-baik dengan dia?" Angga mengangguk. "Kalau soal salah paham yang tadi, dia nggak marah atau tersinggung. Mama nggak perlu khawatir."Meilani langsung menghembuskan nafasnya, lega. "Syukur kalau gitu. Aku harus minta maaf langsung ke dia, nanti. Aku benar-benar nyesal sudah nampar dia."Angga tersenyum, sambil menepuk bahu Meilani. "Gimana keadaan Summer?" tanya Angga.Meilani menoleh, menatap Summer yang sudah tertidur pulas. "Dia langsung tidur waktu Mas keluar. Oh iya, Mas sudah tau siapa laki-laki yang berhubungan dengan Summer?"Angga menggelengkan kepalanya. "Belum."Meilani mengatup rahangnya rapat-rapat. "Laki-laki kurang ajar!! Kita harus laporin dia ke poli
Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya. ***Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar.Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu."Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk.Suara di ujung telepon terden
Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer. "Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summ
Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti
Rain dan Summer saling menatap, terperangkap dalam keheningan yang seolah memperlambat waktu. Mereka mencoba mencerna kenyataan bahwa mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Mata Rain menelusuri wajah Summer, melihat perubahan dan tetap mengenali sosok yang pernah begitu dekat di hatinya. Summer juga merasakan hal yang sama, melihat kedewasaan di wajah Rain yang sekarang. Perasaan nostalgia, campur aduk dengan kejutan, membuat keduanya terdiam. Saat itu, Haru, yang merasa bingung melihat keheningan ibunya, menarik tangan Summer. "Ibu, siapa dia?" tanya Haru, suaranya polos dan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Haru membangunkan Summer dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Rain dan melihat Haru, berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya masih bergemuruh. "Ini teman kuliah Ibu dulu, namanya Rain," kata Summer, memperkenalkan Rain dengan nada yang mencoba untuk tetap tenang. "Rain? Ini anak aku, Haru." Rain cukup terkejut, namun ia tetap dapat mengendalik