Rain tetap diam di tempatnya. Terang saja ia mendengar semuanya, tapi ia tetap menutup mulutnya.
"Summer?!" Summer menoleh ke arah Ben yang juga ikut keluar dari dalam ruangan tersebut. "Lo harus..." Kata-kata Ben terhenti karena sosok Rain yang juga ia tangkap dengan kedua matanya, sedang berdiri menatap ke arahnya dan Summer. Kini ketiga orang itu saling menatap, dengan pemikiran mereka masing-masing. "Lo ngapain di sini?" tanya Ben, setelah hening yang cukup mencekam. Dengan tatapan datarnya, Rain membalas kata-kata Ben. "Emang ada larangan buat gue nggak boleh ada di sini?" Ben terdiam. Ia sudah mengajukan pertanyaan yang bodoh kepada Rain. Namun jika Rain ada di sini, itu berarti ia juga telah mendengarkan pertengkaran Ben dan Summer. Ben ingin mengkonfirmasi hal tersebut, tapi ia tidak punya keberanian untuk membuka mulutnya. Sedangkan Summer juga sama khawatirnya seperti Ben. Apalagi Rain juga tidak menjawab pertanyaannya. Suasana yang canggung itu akhirnya diakhiri oleh Rain. Ia memang mendengar semuanya, tapi ia tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan Summer dan Ben. Sedangkan langit yang mulai gelap juga membuat Rain ingin segera pergi dari tempat itu. Tanpa sepatah kata, Rain akhirnya berbalik, pergi meninggalkan Summer dan Ben, membuat kedua orang itu terus bertanya-tanya dalam hati mereka. "Lo dekat sama Rain, kan?" tanya Ben, tiba-tiba. Summer menoleh ke arah Ben. "Maksud lo apa?" Summer memicingkan matanya, karena ia merasa Ben sedang menghakiminya. "Gue yakin, dia pasti dengar semuanya. Masalah ini nggak boleh ada orang tau." Kata-kata Ben membuat mulut Summer menganga. "Lo mau gue nutupin masalah ini buat lo??? Terus perut gue yang bakal besar ini gimana???" Ben menghembuskan nafasnya, frustasi. "Sudah gue bilang, gugurin kandungan lo, Summer! Kenapa lo segitunya pengen pertahankan anak lo itu?!!" Summer sudah tidak dapat menahan emosinya. Tangannya tiba-tiba terangkat dan menampar pipi Ben dengan keras. Plak!!! Mata Ben melebar. Ia tidak menyangka kalau Summer baru saja menamparnya. "Lo-" "Apa?!!" Summer menyodorkan pipinya pada Ben, karena tangan Ben yang juga sudah terangkat. "Lo mau nampar gue?!" Ben mematung. Tangannya berhenti di udara. "Kenapa?! Ayo tampar gue!" tantang Summer yang sudah tidak lagi bisa menahan emosinya. Hati summer benar-benar sakit. Tidak cukup dengan meminta Summer menggugurkan kandungannya, kini Ben juga ingin menamparnya. Air mata Summer tiba-tiba menetes begitu saja. Bersamaan dengan momen tersebut, rintik hujan juga mulai turun, seakan langit ingin menyembunyikan air mata Summer dari dunia ini. "Gue harap kita nggak akan pernah ketemu lagi!" Summer yang tidak tahan lagi melihat Ben, langsung berbalik dan pergi ke arah parkiran. Sedangkan Ben masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian Summer dengan pikirannya yang sedang berkecamuk. *** Di parkiran, Rain yang telah duduk di dalam mobil Jeep Wrangler miliknya, terus memperhatikan hujan yang turun semakin deras. Dalam pikiran Rain masih terngiang dengan jelas pertengkaran Summer dan Ben. Memang itu bukanlah masalahnya, namun entah mengapa, ia malah memikirkan kehidupan Summer setelah ini. Apa yang akan terjadi dengan Summer jika Ben tidak bertanggung jawab, atau, bagaimana reaksi orang tua Summer jika mereka mengetahui kalau anaknya hamil, dan orang yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Rain menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. "Kenapa gue malah mikir soal ini? Padahal gue juga punya banyak masalah." Ya, banyak yang harus Rain khawatirkan kini. Setelah menyelesaikan kuliahnya, orang tua Rain pasti akan mendesaknya mengelola hotel milik mereka. Padahal Rain ingin membangun karir sebagai seorang seniman, tapi orang tuanya sudah pasti tidak akan mendukungnya. "Gue harus gimana?" gumam Rain. Saat Rain sedang menatap keluar, ia melihat Summer yang berjalan di tengah hujan tanpa payung. Kering Rain mengerut. Kini Summer sudah berdiri di samping mobilnya, tapi Summer belum juga masuk ke dalam. Hal itu membuat Rain semakin fokus memperhatikan Summer. Rain bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Summer, karena wanita itu kini hanya berdiri diam. Rain mulai ragu. Apa ia harus keluar dan memberikan Summer payung? Atau mengatakan pada Summer kalau hujan sedang turun dengan derasnya? Rain mulai menimbang, apa yang harus ia lakukan. Saat Rain sedang berpikir, gelagat Summer mulai terlihat aneh. Summer memegang kepalanya, sambil menopang tubuhnya pada body mobilnya. Pemandangan yang Rain liat membuat Rain bergerak dengan cepat. Tanpa mengambil payung terlebih dahulu, Summer langsung membuka pintu dan berlari ke arah Summer. "Summer?!!" Rain berteriak di tengah derasnya hujan, tapi Summer tidak memberikan reaksi. "Summer?!!" *** Suara seorang pria samar-samar terdengar di telinga Summer. Suara pria itu terdengar asing, begitu juga dengan pembahasan mereka. Menurut Summer, ada beberapa orang yang sedang berbicara. Selain suara, summer juga mencium bau obat-obatan dari area sekitarnya. Summer berusaha membuka matanya perlahan. Kepalanya sakit, dan tubuhnya terasa lemas. Setelah mata Summer terbuka, ia dapat melihat langit-langit berwarna putih. Ia lalu menoleh, dan mendapati Rain sedang berbicara dengan seorang dokter. Summer tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia ingat kalau ia merasa pusing saat ia ingin masuk ke mobilnya. Ia kehujanan, patah hati, dan emosi. Kondisi emosional yang terguncang, mungkin membuat Summer akhirnya jatuh pingsan. Itulah yang ada dalam pikiran Summer. Tapi, bagaimana bisa Rain yang berada di sisinya? Setelah Rain berbicara dengan dokter, dokter tersebut menghampiri Summer sambil tersenyum. "Kamu harus istirahat yang cukup," ucap sang dokter sambil tersenyum. Summer tersenyum lemah. "Baik, Dok." Dokter tersebut lalu pergi, meninggalkan Summer dan Rain dalam ruangan yang cukup luas. "Lo yang bawa gue ke sini?" tanya Summer. Rain mengangguk. "Iya, gue yang bawa lo ke sini. Gue nggak sengaja liat lo pingsan di parkiran." Summer begitu berterima kasih kepada Rain. Jika tidak ada yang membawanya ke rumah sakit, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, dan juga pada bayi yang ada di dalam kandungannya. "Tenang aja. Bayi lo juga aman." Kata-kata Rain membuat mata Summer terbelalak. Ia sempat lupa kalau Rain berada di luar ruangan, ketika ia dan Ben bertengkar. "Ma-maksud lo apa???" tanya Summer, gugup. Rain menatap Summer dengan ekspresi khasnya yang datar. "Gue dengar semuanya," ucap Rain. "Gue tau kalau lo hamil." Summer terdiam. Apa yang harus ia lakukan kini? Meminta Rain untuk tutup mulut, sama seperti apa yang dikatakan oleh Ben? Melihat wajah panik Summer, Rain mendekati Summer lalu duduk di sebelahnya. Dengan wajahnya yang masih tetap datar, Rain tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat mulut Summer menganga. "Gue siap tanggung jawab." Summer tidak dapat mengerti, apa maksud dari kata-kata Rain. "Tanggung jawab??? Tanggung jawab untuk apa???" tanya Summer. Rain menatap Summer tanpa berkedip, lalu berkata, "gue siap jadi ayah dari anak lo." ***Summer masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa??? Lo bilang apa barusan???" Rain menarik nafasnya dalam-dalam. Untuk yang ketiga kalinya, ia mengulangi kalimat dengan maksud yang sama. "Gue bakal jadi ayah dari bayi dalam kandungan lo." Summer terdiam. Apa Rain sedang bercanda dengannya? Atau, apa mungkin kondisi Summer saat ini begitu menyedihkan, sampai-sampai seseorang yang dikenal dingin dan cuek seperti Rain bisa mengeluarkan kalimat seperti itu? Entah mana yang benar, namun Summer tidak merasa senang dengan kata-kata Rain. Kondisinya tidak bisa dijadikan lelucon. Ia juga tidak ingin Rain menganggap remeh dirinya. Ia tidak ingin dikasihani oleh Rain, dan harga dirinya menolak untuk bersikap lemah. "Lo pikir ini lucu?" ucap Summer dengan ekspresi dingin. "Terima kasih karena udah nolong gue. Tapi, gue nggak butuh rasa kasihan lo, atau kata-kata penghiburan dari lo. Gue tau keadaan gue sekarang benar-benar kacau, tapi bukan berarti lo seenaknya aja ngomo
"Ibu?!" Summer begitu terkejut saat melihat ibunya menampar Rain. Tanpa pikir panjang, Summer langsung melompat dari tempat tidur, walau kondisinya masih belum pulih. "Ibu apa-apaan?!! Kenapa ibu nampar dia?!!" Meilani menatap Summer yang kini sudah berdiri di antara dirinya dan laki-laki yang baru saja ia tampar. "Dia yang sudah hamilin kamu, kan?!! Dasar laki-laki kurang-""Bukan, Bu!! Bukan dia yang hamilin Summer!!" potong Summer, dengan suara kencang. "Ibu jangan buat malu Summer di depan dia!! Dia yang sudah bawa Summer ke rumah sakit!! Dia nggak tau apa-apa soal ini!!"Angga yang tadi sempat mematung, juga ikut bergerak ke sisi Meilani dan buru-buru menenangkan Meilani. "Maaf, istri saya sudah bertindak di luar batas," ucap Angga kepada Rain. "Kamu bohong, kan?!! Pasti kamu bohong hanya karena mau lindungi dia!!" "Meilani!" Suara Angga yang sejak tadi tenang, kini mulia meninggi. "Tenangin diri kamu!""Tapi Mas-""Meilani?" Angga menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Janga
Ceklek Bunyi pintu yang ditutup membuat Meilani menoleh. "Mas dari mana aja?" tanya Meilani.Angga tersenyum singkat, lalu menjawab pertanyaan Meilani. "Aku tadi bicara dengan teman Summer di bawah."Meilani tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Kalian bicara apa aja? Gimana soal yang tadi? Mas sudah bicara baik-baik dengan dia?" Angga mengangguk. "Kalau soal salah paham yang tadi, dia nggak marah atau tersinggung. Mama nggak perlu khawatir."Meilani langsung menghembuskan nafasnya, lega. "Syukur kalau gitu. Aku harus minta maaf langsung ke dia, nanti. Aku benar-benar nyesal sudah nampar dia."Angga tersenyum, sambil menepuk bahu Meilani. "Gimana keadaan Summer?" tanya Angga.Meilani menoleh, menatap Summer yang sudah tertidur pulas. "Dia langsung tidur waktu Mas keluar. Oh iya, Mas sudah tau siapa laki-laki yang berhubungan dengan Summer?"Angga menggelengkan kepalanya. "Belum."Meilani mengatup rahangnya rapat-rapat. "Laki-laki kurang ajar!! Kita harus laporin dia ke poli
Di luar rumah sakit, Summer segera menghubungi Misel Hartono, teman baiknya sejak SMA. Misel adalah seseorang yang selalu bisa diandalkan Summer dalam situasi sulit. Walau malam sudah larut, Summer terus menghubungi Misel hingga Misel menjawab panggilan darinya. ***Misel menggeliat di atas tempat tidurnya yang hangat, sambil mengeluh karena dering teleponnya. "Siapa sih?!" omel Misel yang masih setengah sadar. Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencoba menemukan ponsel yang terus berdering tanpa henti. Ketika akhirnya ia menemukannya, matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada layar.Nomor Summer yang muncul di layar membuat Misel mengerutkan keningnya. Apa lagi waktu di layar ponsel Misel saat ini menunjukkan jam 3 subuh. “Kenapa Summer nelpon jam segini?” pikir Misel dengan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran. Ia menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu."Halo, Summer?" suaranya terdengar serak dan setengah mengantuk.Suara di ujung telepon terden
Di dalam kamar hotel yang cukup luas, Summer dan Misel duduk di atas tempat tidur, dikelilingi oleh tumpukan dokumen, peta, dan laptop. Ada pula koper dan beberapa baju baru yang berserakan di lantai. Mengingat Summer tidak bisa kembali ke rumahnya, maka ia dan Misel lebih memilih untuk membeli beberapa keperluan Summer. Kegelisahan tampak jelas di wajah mereka, namun tekad yang kuat untuk melarikan diri, memberikan dorongan tambahan bagi Summer. "Kita harus pesan tiket buat lo. Malam ini, kan?" tanya Misel. Summer mengangguk. "Iya. Gue takut banget aktifin hp gue. Pake hp lo boleh, kan?" Misel langsung mengambil handphonenya dan memeriksa aplikasi tiket online. Misel mencari penerbangan dengan harga paling murah, dan akhirnya ia mendapatkannya. "Ada satu penerbangan jam 11 malam. Dari semua, ini yang paling murah. Mau?" Summer melihat layar hp Misel lalu mengangguk . "Pesan aja. Gue transfer uangnya sekarang." Misel mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Biar gue yang bayar." Summ
Summer dan Misel menoleh ke arah suara yang memanggil Summer dengan nyaring. Beberapa orang yang mendengar teriakkan itu juga ikut menoleh. Ketika sosok di kejauhan mendekat, Summer merasa kaget karena pria itu adalah Rain. Rain berlari mendekati Summer, kemudian berhenti tepat di depannya. "Untung, lo belum pergi," ucap Rain, terengah-engah. Summer mengerutkan keningnya. "Rain? Lo ngapain di sini?" "Gue ke sini buat ketemu lo," jawab Rain. Misel juga terlihat bingung. "Gimana lo bisa tau kalau kita ada di sini?" Rain mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada Summer. "Gue datang untuk jelasin semuanya sebelum lo pergi." Summer teringat dengan rencana pernikahan mereka. "Soal pernikahan kita?" Rain menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Summer, gue tau ni tiba-tiba, tapi gue harus bilang ke lo, kenapa gue mau nikah dengan lo. Orang tua gue nuntut gue buat lanjutin bisnis hotel mereka, tapi itu bukan yang gue mau." Summer menatap Rain dengan bingung. "
Summer tiba di Korea dengan perasaan campur aduk. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasinya, ia keluar dari terminal kedatangan dan melihat Ji-hye, teman baik Misel, menunggunya dengan senyum hangat. "Summer! Selamat datang di Korea!" Ji-hye memeluk Summer erat. "Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untukmu. Kamu akan baik-baik saja di sini," tutur Ji-hye menggunakan bahasa Inggris. Summer merasa sedikit lega karena Ji-hye berbahasa Inggris dengan lancar. "Terima kasih, Ji-hye. Aku benar-benar berhutang banyak padamu dan Misel." Ji-hye mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Ayo pergi ke apartemenku. Kita bisa berbincang di sana nanti." Mereka naik taksi menuju apartemen yang telah disiapkan Ji-hye. Selama perjalanan, Summer menatap pemandangan kota Seoul yang ramai, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. "Bagaimana rasanya berada di sini?" tanya Ji-hye, berusaha memberikan semangat. Summer tersenyum kecil. "Ini semua terasa asing, tapi aku sia
Summer duduk di sofa kecil di apartemennya, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Informasi dari Misel yang memberitahu tentang kondisi kesehatan ayahnya menghantamnya seperti gelombang besar. Pikiran tentang ayahnya yang semakin tua dan sakit membuat hatinya berat. Selama ini, komunikasi Summer dengan ibunya sangat terbatas, hanya sesekali melalui telepon atau pesan singkat. Meskipun begitu, sebagai anak, ia merasa ada kewajiban untuk pulang dan melihat kondisi ayahnya. Di sisi lain, ia takut menghadapi kemarahan dan kekecewaan ayahnya yang mungkin masih tersisa. Dilema ini menggerogoti hatinya, membuatnya bingung harus mengambil langkah apa. Saat itu, Haru datang dan duduk di sampingnya. "Ibu, ada apa? Ibu kelihatan sedih," tanya Haru dengan mata polosnya. Summer tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa galau yang menguasai dirinya. "Ibu hanya memikirkan sesuatu, sayang." Haru menatap ibunya dengan tatapan serius. "Ibu, aku ingin bertemu dengan kakek dan nenek. Mereka pasti