Share

02

Rain tetap diam di tempatnya. Terang saja ia mendengar semuanya, tapi ia tetap menutup mulutnya.

"Summer?!"

Summer menoleh ke arah Ben yang juga ikut keluar dari dalam ruangan tersebut.

"Lo harus..." Kata-kata Ben terhenti karena sosok Rain yang juga ia tangkap dengan kedua matanya, sedang berdiri menatap ke arahnya dan Summer.

Kini ketiga orang itu saling menatap, dengan pemikiran mereka masing-masing.

"Lo ngapain di sini?" tanya Ben, setelah hening yang cukup mencekam.

Dengan tatapan datarnya, Rain membalas kata-kata Ben. "Emang ada larangan buat gue nggak boleh ada di sini?"

Ben terdiam. Ia sudah mengajukan pertanyaan yang bodoh kepada Rain. Namun jika Rain ada di sini, itu berarti ia juga telah mendengarkan pertengkaran Ben dan Summer. Ben ingin mengkonfirmasi hal tersebut, tapi ia tidak punya keberanian untuk membuka mulutnya.

Sedangkan Summer juga sama khawatirnya seperti Ben. Apalagi Rain juga tidak menjawab pertanyaannya.

Suasana yang canggung itu akhirnya diakhiri oleh Rain. Ia memang mendengar semuanya, tapi ia tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan Summer dan Ben. Sedangkan langit yang mulai gelap juga membuat Rain ingin segera pergi dari tempat itu.

Tanpa sepatah kata, Rain akhirnya berbalik, pergi meninggalkan Summer dan Ben, membuat kedua orang itu terus bertanya-tanya dalam hati mereka.

"Lo dekat sama Rain, kan?" tanya Ben, tiba-tiba.

Summer menoleh ke arah Ben. "Maksud lo apa?" Summer memicingkan matanya, karena ia merasa Ben sedang menghakiminya.

"Gue yakin, dia pasti dengar semuanya. Masalah ini nggak boleh ada orang tau."

Kata-kata Ben membuat mulut Summer menganga. "Lo mau gue nutupin masalah ini buat lo??? Terus perut gue yang bakal besar ini gimana???"

Ben menghembuskan nafasnya, frustasi. "Sudah gue bilang, gugurin kandungan lo, Summer! Kenapa lo segitunya pengen pertahankan anak lo itu?!!"

Summer sudah tidak dapat menahan emosinya. Tangannya tiba-tiba terangkat dan menampar pipi Ben dengan keras.

Plak!!!

Mata Ben melebar. Ia tidak menyangka kalau Summer baru saja menamparnya. "Lo-"

"Apa?!!" Summer menyodorkan pipinya pada Ben, karena tangan Ben yang juga sudah terangkat. "Lo mau nampar gue?!"

Ben mematung. Tangannya berhenti di udara.

"Kenapa?! Ayo tampar gue!" tantang Summer yang sudah tidak lagi bisa menahan emosinya.

Hati summer benar-benar sakit. Tidak cukup dengan meminta Summer menggugurkan kandungannya, kini Ben juga ingin menamparnya.

Air mata Summer tiba-tiba menetes begitu saja. Bersamaan dengan momen tersebut, rintik hujan juga mulai turun, seakan langit ingin menyembunyikan air mata Summer dari dunia ini.

"Gue harap kita nggak akan pernah ketemu lagi!" Summer yang tidak tahan lagi melihat Ben, langsung berbalik dan pergi ke arah parkiran.

Sedangkan Ben masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian Summer dengan pikirannya yang sedang berkecamuk.

***

Di parkiran, Rain yang telah duduk di dalam mobil Jeep Wrangler miliknya, terus memperhatikan hujan yang turun semakin deras.

Dalam pikiran Rain masih terngiang dengan jelas pertengkaran Summer dan Ben. Memang itu bukanlah masalahnya, namun entah mengapa, ia malah memikirkan kehidupan Summer setelah ini.

Apa yang akan terjadi dengan Summer jika Ben tidak bertanggung jawab, atau, bagaimana reaksi orang tua Summer jika mereka mengetahui kalau anaknya hamil, dan orang yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab.

Rain menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. "Kenapa gue malah mikir soal ini? Padahal gue juga punya banyak masalah."

Ya, banyak yang harus Rain khawatirkan kini. Setelah menyelesaikan kuliahnya, orang tua Rain pasti akan mendesaknya mengelola hotel milik mereka. Padahal Rain ingin membangun karir sebagai seorang seniman, tapi orang tuanya sudah pasti tidak akan mendukungnya.

"Gue harus gimana?" gumam Rain.

Saat Rain sedang menatap keluar, ia melihat Summer yang berjalan di tengah hujan tanpa payung.

Kering Rain mengerut. Kini Summer sudah berdiri di samping mobilnya, tapi Summer belum juga masuk ke dalam. Hal itu membuat Rain semakin fokus memperhatikan Summer. Rain bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Summer, karena wanita itu kini hanya berdiri diam.

Rain mulai ragu. Apa ia harus keluar dan memberikan Summer payung? Atau mengatakan pada Summer kalau hujan sedang turun dengan derasnya?

Rain mulai menimbang, apa yang harus ia lakukan.

Saat Rain sedang berpikir, gelagat Summer mulai terlihat aneh. Summer memegang kepalanya, sambil menopang tubuhnya pada body mobilnya.

Pemandangan yang Rain liat membuat Rain bergerak dengan cepat. Tanpa mengambil payung terlebih dahulu, Summer langsung membuka pintu dan berlari ke arah Summer.

"Summer?!!" Rain berteriak di tengah derasnya hujan, tapi Summer tidak memberikan reaksi. "Summer?!!"

***

Suara seorang pria samar-samar terdengar di telinga Summer. Suara pria itu terdengar asing, begitu juga dengan pembahasan mereka.

Menurut Summer, ada beberapa orang yang sedang berbicara. Selain suara, summer juga mencium bau obat-obatan dari area sekitarnya.

Summer berusaha membuka matanya perlahan. Kepalanya sakit, dan tubuhnya terasa lemas. Setelah mata Summer terbuka, ia dapat melihat langit-langit berwarna putih. Ia lalu menoleh, dan mendapati Rain sedang berbicara dengan seorang dokter.

Summer tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia ingat kalau ia merasa pusing saat ia ingin masuk ke mobilnya. Ia kehujanan, patah hati, dan emosi. Kondisi emosional yang terguncang, mungkin membuat Summer akhirnya jatuh pingsan. Itulah yang ada dalam pikiran Summer. Tapi, bagaimana bisa Rain yang berada di sisinya?

Setelah Rain berbicara dengan dokter, dokter tersebut menghampiri Summer sambil tersenyum.

"Kamu harus istirahat yang cukup," ucap sang dokter sambil tersenyum.

Summer tersenyum lemah. "Baik, Dok."

Dokter tersebut lalu pergi, meninggalkan Summer dan Rain dalam ruangan yang cukup luas.

"Lo yang bawa gue ke sini?" tanya Summer.

Rain mengangguk. "Iya, gue yang bawa lo ke sini. Gue nggak sengaja liat lo pingsan di parkiran."

Summer begitu berterima kasih kepada Rain. Jika tidak ada yang membawanya ke rumah sakit, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, dan juga pada bayi yang ada di dalam kandungannya.

"Tenang aja. Bayi lo juga aman."

Kata-kata Rain membuat mata Summer terbelalak. Ia sempat lupa kalau Rain berada di luar ruangan, ketika ia dan Ben bertengkar. "Ma-maksud lo apa???" tanya Summer, gugup.

Rain menatap Summer dengan ekspresi khasnya yang datar. "Gue dengar semuanya," ucap Rain. "Gue tau kalau lo hamil."

Summer terdiam. Apa yang harus ia lakukan kini? Meminta Rain untuk tutup mulut, sama seperti apa yang dikatakan oleh Ben?

Melihat wajah panik Summer, Rain mendekati Summer lalu duduk di sebelahnya. Dengan wajahnya yang masih tetap datar, Rain tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat mulut Summer menganga.

"Gue siap tanggung jawab."

Summer tidak dapat mengerti, apa maksud dari kata-kata Rain. "Tanggung jawab??? Tanggung jawab untuk apa???" tanya Summer.

Rain menatap Summer tanpa berkedip, lalu berkata, "gue siap jadi ayah dari anak lo."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status