Ambar mengurai pelukan dengan masih terisak-isak lalu tangan mengusap air mata dengan tisu. Kepala wanita ini mendongak, seketika tangan Sapto merapikan anak rambut yang menutupi wajah wanita berhidung pesek, tetapi berparas manis ini.“Saya merasa sangat beruntung, di saat yang lain pergi karena berkhianat, Bapak ada untuk kami. Terima kasih,” ucap Ambar terbata-bata dengan sisa buliran bening yang merembes dari kedua pelupuk mata.“Terima kasih kembali, Bu. Saya memang harus bertanggung jawab soal ini,” ucap Sapto dengan nada tetap sopan. Oleh karena wajah dan perilaku antara Sapto dengan Eksanti yang berbeda jauh, Ambar tak menyangka bahwa mereka merupakan saudara kandung. Sapto yang sopan dalam berperilaku dan berucap bukan saudara yang tepat bagi Eksanti yang serampangan, itu menurut pandangan Ambar.Wanita yang kini dengan rambut tergerai di bawah pundak, sempat Sapto tertegun sesaat memandang paras cantiknya, sesaat merenung. Ambar memikirkan semua, tentang segala kemungkinan
“Benar-benar laknat! Dia suruh temannya buat teror kamu sekeluarga. Gak ada nurani mereka. Makhluk tak berakal. Simpan buat bukti laporan,” kata Sapto sambil mengelus rambut Ambar.Mereka berjalan ke tempat parkir lalu masuk mobil dan segera pergi menuju pulang. Sepanjang jalan, Ambar tak berkata apa pun. Wanita ini jadi syok kembali dengan pesan yang diterimanya. Hanya helaan napas yang didengar oleh Sapto.“Tenangin diri! Gak usah mikir terlampau jauh. Kita hadapi bersama. Mereka yang jahat, harus bertanggung jawab,” ucap Sapto sambil mata awas melihat spion karena mobil akan belok.“Ada berapa orang mereka semua? Otak mereka pada miring. Dipikir udah bener kelakuan biadab kayak gini,” ungkap Ambar dengan nada kesal.Sapto hanya tersenyum mendengar perkataan Ambar. Kini mobil tinggal beberapa meter lagi mengarah ke rumah Ambar dan Sapto menghentikan mobil di pinggir jalan. Wanita yang berada di sampingnya jadi merasa heran.“Dek, katakan padaku! Hukuman macam apa yang pantas untuk I
Kaca jendela pecah dan hancur. Serpihan-serpihannya berantakan seketika jatuh memenuhi halaman. Baik Ambar maupun Sapto tercengang melihat hal dramatis barusan.“Briaaaan!” Terdengar teriakan Bu Retno dari lantai atas.Sapto yang tak sabaran segera membopong tubuh Ambar lalu bergegas masuk rumah. Mereka panik dan sedih melihat perilaku Brian yang temperamen. Sapto menaruh tubuh Ambar di sofa ruang tamu, sementara dirinya langsung berlari menaiki tangga.Begitu sampai lantai atas, Sapto melihat Bu Retno sedang menenangkan Brian yang tantrum. Bu Retno kewalahan dengan perlawanan bocah bongsor ini. Beberapa kali wanita ini hampir jatuh, beruntung bisa berpegangan pada kursi.“Brian! Tenang, Nak.” Sapto berusaha membujuk dengan mendekat pelan-pelan.Seketika Bu Retno menoleh lalu tersenyum. Sedang Brian masih tak menyadari kehadiran guru kesayangannya. Namun, bocah ini sudah mulai melemah tenaganya. Dia lalu duduk di lantai sambil memegang kedua lutut. Bu Retno ikut berjongkok karenanya.
Begitu mendengar perkataan Sapto, sang bocah berdiri lalu segera berlari menuju tangga dan menuruninya. Sapto berjalan santai mengikuti. Tak disangka sesampai di bawah, Brian mendapati Ambar dan Bu Teti sedang diikat di bawah ancaman senjata tajam oleh empat orang wanita.Sang bocah berbalik arah lalu memberi kode ke arah Sapto dengan telapak tangan melintang depan leher, seperti gerakan menggorok. Sapto segera mengajak Brian menuju kamar paling terluar. Dari jendela kamar mereka bisa melihat teras dan halaman rumah. Ada sebuah mobil terparkir dekat mobil Sapto. Pria ini segera memotretnya lalu mengirimkan kepada polisi.“Teacher, ada tangga menuju samping rumah,” ucap Brian sembari melangkah ke arah toilet.Sapto mengikuti langkah Brian ke arah pintu di sebelah toilet. Rupanya, di balik pintu terdapat tangga. Brian dengan langkah buru-buru menuruninya dan diikuti oleh Sapto. Bocah usia 11 tahun ini dengan setengah berlari menuju sebuah panel yang berada di samping teras. Brian meneka
“Abang kenapa tak cegah Brian? Kenapaaaa??” Ambar berteriak histeris sambil memukul dada Sapto.“Tenang, dalam pengejaran polisi! Abang tadi sedang ikat para pelaku, dia keburu lari. Abang minta maaf,” jelas Sapto sambil memegang tangan Ambar. Buliran bening menetes dari pelupuk mata wanita berkuncir kuda ini. Hatinya bingung. Tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi semua.Akhirnya, Ambar bisa segera mengatasi emosi. Beberapa kali, wanita ini menarik napas untuk melegakan rasa sesak di dada. Sapto merangkulnya serta memberi semangat. Perilaku keduanya tak luput dari pandangan Bu Retno. Wanita tua ini tampak keheranan melihat keduanya.Sementara itu, mereka kini telah siap di dalam mobil untuk mengejar penculik Brian. Tiba-tiba ponsel Ambar berdering, dia pun segera mengambil dari dalam tas. Tampak nomor kontak tak dikenal. Wanita ini menyodorkan layar ponsel ke arah Sapto dan pria ini menyuruhnya untuk menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.” Suara Ambar terdengar ragu-ragu lalu m
Beruntung, ada bilik kosong di sebelah tempat Ambar dirawat. Jadi ibu dan anak bisa tidur berdampingan. Sapto ikut masuk bilik tempat Brian diperiksa. Pria ini mengelus pipi sang bocah.“Brian, bangun, Boy!” Hanya ada tarikan napas yang halus terdengar dari indra penciuman sang bocah.Sapto memandangi anak ini sambil berpikir bahwa sang bocah dan ibunya adalah dua orang yang teruji. Pria ini berjanji pada diri sendiri, akan membantu semaksimal mungkin. Baru saja, Sapto memikirkan solusi untuk kemelut anak beranak tersebut, ponsel di kantung celana bergetar.Sengaja nada dering disilent, begitu masuk tempat parkir barusan. Tertera nomor kontak penyidik. Tentu saja, Sapto merasa keheranan.Ada apa penyidiknya?Mungkinkah dia diminta datang untuk memberi keterangan?Gimana Ambar dan Brian?Demi memenuhi rasa penasarannya, Sapto pun segera menjawab telepon.Selamat sore.” “Selamat sore, Pak Sapto. Mohon Bapak berkenan hadir ke kantor segera. Sekitar sejam yang lalu saudara Chris meningga
“Mohon kesediaan Pak Sapto jika diminta datang kembali untuk kelancaran proses penyidikan,” ucap penyidik sambil menjabat tangan Sapto.“Saya siap untuk dipanggil kembali jika diperlukan. Selamat siang,” balas Sapto mempererat jabat tangan lalu bergantian menjabat tangan penyidik yang lain.Sapto meninggalkan ruang pemeriksaan, tetapi dia teringat akan sesuatu. Kemudian pria berpenampilan perlente tersebut balik badan dan mengetuk pintu.“Maaf, proses forensik atas jenazah Chris kapan selesai, Pak?” tanya Sapto sesaat memasuki ruangan kembali.“Dalam minggu ini, sudah keluar hasilnya. Ada apa, Pak?” tanya salah satu petugas kepada Sapto.“Saya minta izin agar bisa memakamkan jenazah secara layak.”“Kalo itu, besok pun sudah bisa dimakamkan. Tapi, kalo ingin tahu hasil forensik, maksimal dalam seminggu ini sudah ada. Maaf, Pak Sapto. Almarhum tak punya keluarga? Alangkah baiknya kita memberitahu pihak keluarga dulu,” jelas penyidik lagi.“Saya mengenal almarhum sejak pindah ke sini. Se
“Baca noh, WA! Maen slonong boy. Kaga liat pesan masuk. Siapa yang salah, kalo gini?” tanya sang teman sambil sodorkan layar ponsel.Wanita menor pun tersenyum karena menyadari kesalahan. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dengan maksud ingin melihat pesan yang diterima. Namun, kedua mata segera melotot saat tahu ada panggilan telepon tak terjawab beberapa kali.“Gue telpon lu, sebel tauk. Pesen kaga dibaca. Telpon kaga digubris. Sakit cin ....” Transpuan berjilbab ini beberapa saat mulai memerah kedua mata.“Udeh, kaga useh mewek. Gue kaga tau, lu udah datang. Pake kerudung lagi,” balas si menor sambil mengeluarkan wadah bedak dari dalam tas. Dia pun seketika sibuk untuk memoles wajahnya kembali.“Gue dateng, belakangan, Ciiin. Untung lu pas hadap jendela. Poltak ama temennya lewat situ. Makasih, noh, ama suster. Gare-gare die, lu langsung ngacir. Lamaan dikit, aje. Noh, liatin!”tunjuk si kurus berjilbab ke arah ruang perawatan Sapto.“Serem, iih. Kita ngacir, yuks!” ajak si menor