“Abang kenapa tak cegah Brian? Kenapaaaa??” Ambar berteriak histeris sambil memukul dada Sapto.“Tenang, dalam pengejaran polisi! Abang tadi sedang ikat para pelaku, dia keburu lari. Abang minta maaf,” jelas Sapto sambil memegang tangan Ambar. Buliran bening menetes dari pelupuk mata wanita berkuncir kuda ini. Hatinya bingung. Tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi semua.Akhirnya, Ambar bisa segera mengatasi emosi. Beberapa kali, wanita ini menarik napas untuk melegakan rasa sesak di dada. Sapto merangkulnya serta memberi semangat. Perilaku keduanya tak luput dari pandangan Bu Retno. Wanita tua ini tampak keheranan melihat keduanya.Sementara itu, mereka kini telah siap di dalam mobil untuk mengejar penculik Brian. Tiba-tiba ponsel Ambar berdering, dia pun segera mengambil dari dalam tas. Tampak nomor kontak tak dikenal. Wanita ini menyodorkan layar ponsel ke arah Sapto dan pria ini menyuruhnya untuk menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.” Suara Ambar terdengar ragu-ragu lalu m
Beruntung, ada bilik kosong di sebelah tempat Ambar dirawat. Jadi ibu dan anak bisa tidur berdampingan. Sapto ikut masuk bilik tempat Brian diperiksa. Pria ini mengelus pipi sang bocah.“Brian, bangun, Boy!” Hanya ada tarikan napas yang halus terdengar dari indra penciuman sang bocah.Sapto memandangi anak ini sambil berpikir bahwa sang bocah dan ibunya adalah dua orang yang teruji. Pria ini berjanji pada diri sendiri, akan membantu semaksimal mungkin. Baru saja, Sapto memikirkan solusi untuk kemelut anak beranak tersebut, ponsel di kantung celana bergetar.Sengaja nada dering disilent, begitu masuk tempat parkir barusan. Tertera nomor kontak penyidik. Tentu saja, Sapto merasa keheranan.Ada apa penyidiknya?Mungkinkah dia diminta datang untuk memberi keterangan?Gimana Ambar dan Brian?Demi memenuhi rasa penasarannya, Sapto pun segera menjawab telepon.Selamat sore.” “Selamat sore, Pak Sapto. Mohon Bapak berkenan hadir ke kantor segera. Sekitar sejam yang lalu saudara Chris meningga
“Mohon kesediaan Pak Sapto jika diminta datang kembali untuk kelancaran proses penyidikan,” ucap penyidik sambil menjabat tangan Sapto.“Saya siap untuk dipanggil kembali jika diperlukan. Selamat siang,” balas Sapto mempererat jabat tangan lalu bergantian menjabat tangan penyidik yang lain.Sapto meninggalkan ruang pemeriksaan, tetapi dia teringat akan sesuatu. Kemudian pria berpenampilan perlente tersebut balik badan dan mengetuk pintu.“Maaf, proses forensik atas jenazah Chris kapan selesai, Pak?” tanya Sapto sesaat memasuki ruangan kembali.“Dalam minggu ini, sudah keluar hasilnya. Ada apa, Pak?” tanya salah satu petugas kepada Sapto.“Saya minta izin agar bisa memakamkan jenazah secara layak.”“Kalo itu, besok pun sudah bisa dimakamkan. Tapi, kalo ingin tahu hasil forensik, maksimal dalam seminggu ini sudah ada. Maaf, Pak Sapto. Almarhum tak punya keluarga? Alangkah baiknya kita memberitahu pihak keluarga dulu,” jelas penyidik lagi.“Saya mengenal almarhum sejak pindah ke sini. Se
“Baca noh, WA! Maen slonong boy. Kaga liat pesan masuk. Siapa yang salah, kalo gini?” tanya sang teman sambil sodorkan layar ponsel.Wanita menor pun tersenyum karena menyadari kesalahan. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dengan maksud ingin melihat pesan yang diterima. Namun, kedua mata segera melotot saat tahu ada panggilan telepon tak terjawab beberapa kali.“Gue telpon lu, sebel tauk. Pesen kaga dibaca. Telpon kaga digubris. Sakit cin ....” Transpuan berjilbab ini beberapa saat mulai memerah kedua mata.“Udeh, kaga useh mewek. Gue kaga tau, lu udah datang. Pake kerudung lagi,” balas si menor sambil mengeluarkan wadah bedak dari dalam tas. Dia pun seketika sibuk untuk memoles wajahnya kembali.“Gue dateng, belakangan, Ciiin. Untung lu pas hadap jendela. Poltak ama temennya lewat situ. Makasih, noh, ama suster. Gare-gare die, lu langsung ngacir. Lamaan dikit, aje. Noh, liatin!”tunjuk si kurus berjilbab ke arah ruang perawatan Sapto.“Serem, iih. Kita ngacir, yuks!” ajak si menor
“Yang telepon, siapa, Bang?” tanya Ambar yang sudah tak sabar dengan rasa penasarannya.“Petugas polsek,” jawab Sapto singkat dan tak memuaskan rasa keingin tahuan Ambar.“Identifikasi mayat siapa?”“Ik di rumahku,” jawab Sapto datar tanpa ekspresi rasa sedih.Ambar pun seketika kaget mendengar jawaban dari pria yang dianggap abang tersebut. Namun, wanita ini tetap belum paham, ada hubungan apa, Eksanti dengan mayat yang diidentifikasi polisi.“Maksudnya, Eksanti yang menemukan mayat? Itu mayat siapa? Ngapain bisa di ...,”Belum selesai pertanyaan dari Ambar, Sapto sudah menyahut, ”Ik mati dalam rumah.”“Whaaatt? Bang! Yang bener?” tanya Ambar yang semakin syok dengan penjelasan singkat dari Sapto barusan.“Udah, kaga perlu kaget. Pikiran tenang, dong. Gak ada peneror lagi. Harus bersyukur. Doamu terkabul. Sekarang tinggal mikirin Hadi,” ucap Sapto menggoda Ambar.Ambar tak membalas sindiran Sapto. Wanita berkaki jenjang ini, hanya memandang Sapto dengan sorot mata menyelidik. Sapto t
Kalo emang pengen bunuh diri, ngapain pake keluarin kucing dari kandang segala?Apakah kucing tersebut diberi minum juga karena korban tak tahu kalo beracun?Beberapa tanya memenuhi benak Ambar, tetapi hanya mampu menunggu jawaban dari Sapto nanti. Sedikit banyak, ada fakta yang terungkap dalam tulisan tangan mendiang adik Sapto. Ternyata kasus Brian harus berakhir dengan salah satu pelaku menemui ajal dengan cara seperti ini. Eksanti yang kasar dan sadis ternyata serapuh itu mentalnya.Semua serba abu-abu dalam benak Ambar dan sekarang dia hanya ingin semua segera pulih serta bisa menjalani hidup normal seperti sebelum kasus Brian. Tiba-tiba ada panggilan telepon dari Bu Retno. Wanita dengan kaki tertekuk di kursi roda segera mengalihkan ke fitur hubungan telepon.“Ada sesuatu dengan Brian?” tanya Ambar dengan nada panik.“Jagoan baik-baik aja. Kamu buruan balik ke kamar, ada perawat yang cariin,”ucap Bu Retno dari seberang telepon.“Baik, Bu. Ambar pamit ke Bang Sapto dulu,” balas A
“Kenapa harus Brian, Bu? Aku gak tega melihatnya menderita terus-menerus kayak gini. Ini gara-gara Hadi brengsek! Dia segala sumber permasalahan ini,” ungkap Ambar dengan ekspresi penuh kejengkelan.“Udah fokus dengan diri sendiri dan Brian. Gak usah mikir yang lain dulu,” saran Bu Retno kepada putrinya lalu wanita tersebut pamit kembali ke ruangan Brian.Beberapa saat setelah Bu Retno pergi, Ambar mendapat telepon dari Sapto. Wanita berkuncir kuda tersebut segera menerima panggilan. “Ya, ada apa, Bang?”“Abang barusan selesai dimintai keterangan. Kamu udah dapat panggilan?” tanya balik Sapto dari seberang telepon."Belum, tuh. Emang kita dimintai keterangan barengan?""Harusnya seperti itu bisa jadi besok giliran kamu."Baru saja Ambar akan membalas omongan Sapto, sudah ada seorang petugas berseragam cokelat dengan diantar perawat memasuki ruangan. Keduanya mendekat ke arah ranjang lalu tersenyum. Kemudian, sang polisi memberi hormat. Mereka menunggu Ambar menyelesaikan pembicaraan t
Aku gak rela anak cucuku menderita, batin Bu Retno sambil menatap seraut wajah cantik di galeri foto pada ponsel. Pikiran wanita setengah abad lebih ini menerawang kembali kepada Mbak Lastri—karyawan office girl di kantor Ambar—yang memberitahu jika jebakan mereka telah berhasil. Saat itu hatinya bahagia sekali, seperti mendapat undian berhadiah berjuta-juta. Kini, saatnya memberi bonus untuk dua orang wanita yang telah membantu aksi, meski upah sudah lunas terbayar. Dua orang yang dikenalnya, sejak dua bulan lalu saat Brian sakit untuk pertama kali.Tak terasa, taksi yang ditumpangi oleh Bu Retno telah sampai tujuan. Wanita usia setengah abad yang masih terlihat gesit dan cantik ini segera turun lalu melangkah pelan menuju warung, tempat pertemuan. Keadaan warung siang hari lumayan ramai, maklum jam makan siang.“Bu Retno!” panggil seseorang saat wanita ini baru saja akan memesan ruang VVIP di kasir. Tampak Seorang wanita, yang tak lain adalah penjaga kantin rumah sakit bergegas men