“Mohon kesediaan Pak Sapto jika diminta datang kembali untuk kelancaran proses penyidikan,” ucap penyidik sambil menjabat tangan Sapto.“Saya siap untuk dipanggil kembali jika diperlukan. Selamat siang,” balas Sapto mempererat jabat tangan lalu bergantian menjabat tangan penyidik yang lain.Sapto meninggalkan ruang pemeriksaan, tetapi dia teringat akan sesuatu. Kemudian pria berpenampilan perlente tersebut balik badan dan mengetuk pintu.“Maaf, proses forensik atas jenazah Chris kapan selesai, Pak?” tanya Sapto sesaat memasuki ruangan kembali.“Dalam minggu ini, sudah keluar hasilnya. Ada apa, Pak?” tanya salah satu petugas kepada Sapto.“Saya minta izin agar bisa memakamkan jenazah secara layak.”“Kalo itu, besok pun sudah bisa dimakamkan. Tapi, kalo ingin tahu hasil forensik, maksimal dalam seminggu ini sudah ada. Maaf, Pak Sapto. Almarhum tak punya keluarga? Alangkah baiknya kita memberitahu pihak keluarga dulu,” jelas penyidik lagi.“Saya mengenal almarhum sejak pindah ke sini. Se
“Baca noh, WA! Maen slonong boy. Kaga liat pesan masuk. Siapa yang salah, kalo gini?” tanya sang teman sambil sodorkan layar ponsel.Wanita menor pun tersenyum karena menyadari kesalahan. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dengan maksud ingin melihat pesan yang diterima. Namun, kedua mata segera melotot saat tahu ada panggilan telepon tak terjawab beberapa kali.“Gue telpon lu, sebel tauk. Pesen kaga dibaca. Telpon kaga digubris. Sakit cin ....” Transpuan berjilbab ini beberapa saat mulai memerah kedua mata.“Udeh, kaga useh mewek. Gue kaga tau, lu udah datang. Pake kerudung lagi,” balas si menor sambil mengeluarkan wadah bedak dari dalam tas. Dia pun seketika sibuk untuk memoles wajahnya kembali.“Gue dateng, belakangan, Ciiin. Untung lu pas hadap jendela. Poltak ama temennya lewat situ. Makasih, noh, ama suster. Gare-gare die, lu langsung ngacir. Lamaan dikit, aje. Noh, liatin!”tunjuk si kurus berjilbab ke arah ruang perawatan Sapto.“Serem, iih. Kita ngacir, yuks!” ajak si menor
“Yang telepon, siapa, Bang?” tanya Ambar yang sudah tak sabar dengan rasa penasarannya.“Petugas polsek,” jawab Sapto singkat dan tak memuaskan rasa keingin tahuan Ambar.“Identifikasi mayat siapa?”“Ik di rumahku,” jawab Sapto datar tanpa ekspresi rasa sedih.Ambar pun seketika kaget mendengar jawaban dari pria yang dianggap abang tersebut. Namun, wanita ini tetap belum paham, ada hubungan apa, Eksanti dengan mayat yang diidentifikasi polisi.“Maksudnya, Eksanti yang menemukan mayat? Itu mayat siapa? Ngapain bisa di ...,”Belum selesai pertanyaan dari Ambar, Sapto sudah menyahut, ”Ik mati dalam rumah.”“Whaaatt? Bang! Yang bener?” tanya Ambar yang semakin syok dengan penjelasan singkat dari Sapto barusan.“Udah, kaga perlu kaget. Pikiran tenang, dong. Gak ada peneror lagi. Harus bersyukur. Doamu terkabul. Sekarang tinggal mikirin Hadi,” ucap Sapto menggoda Ambar.Ambar tak membalas sindiran Sapto. Wanita berkaki jenjang ini, hanya memandang Sapto dengan sorot mata menyelidik. Sapto t
Kalo emang pengen bunuh diri, ngapain pake keluarin kucing dari kandang segala?Apakah kucing tersebut diberi minum juga karena korban tak tahu kalo beracun?Beberapa tanya memenuhi benak Ambar, tetapi hanya mampu menunggu jawaban dari Sapto nanti. Sedikit banyak, ada fakta yang terungkap dalam tulisan tangan mendiang adik Sapto. Ternyata kasus Brian harus berakhir dengan salah satu pelaku menemui ajal dengan cara seperti ini. Eksanti yang kasar dan sadis ternyata serapuh itu mentalnya.Semua serba abu-abu dalam benak Ambar dan sekarang dia hanya ingin semua segera pulih serta bisa menjalani hidup normal seperti sebelum kasus Brian. Tiba-tiba ada panggilan telepon dari Bu Retno. Wanita dengan kaki tertekuk di kursi roda segera mengalihkan ke fitur hubungan telepon.“Ada sesuatu dengan Brian?” tanya Ambar dengan nada panik.“Jagoan baik-baik aja. Kamu buruan balik ke kamar, ada perawat yang cariin,”ucap Bu Retno dari seberang telepon.“Baik, Bu. Ambar pamit ke Bang Sapto dulu,” balas A
“Kenapa harus Brian, Bu? Aku gak tega melihatnya menderita terus-menerus kayak gini. Ini gara-gara Hadi brengsek! Dia segala sumber permasalahan ini,” ungkap Ambar dengan ekspresi penuh kejengkelan.“Udah fokus dengan diri sendiri dan Brian. Gak usah mikir yang lain dulu,” saran Bu Retno kepada putrinya lalu wanita tersebut pamit kembali ke ruangan Brian.Beberapa saat setelah Bu Retno pergi, Ambar mendapat telepon dari Sapto. Wanita berkuncir kuda tersebut segera menerima panggilan. “Ya, ada apa, Bang?”“Abang barusan selesai dimintai keterangan. Kamu udah dapat panggilan?” tanya balik Sapto dari seberang telepon."Belum, tuh. Emang kita dimintai keterangan barengan?""Harusnya seperti itu bisa jadi besok giliran kamu."Baru saja Ambar akan membalas omongan Sapto, sudah ada seorang petugas berseragam cokelat dengan diantar perawat memasuki ruangan. Keduanya mendekat ke arah ranjang lalu tersenyum. Kemudian, sang polisi memberi hormat. Mereka menunggu Ambar menyelesaikan pembicaraan t
Aku gak rela anak cucuku menderita, batin Bu Retno sambil menatap seraut wajah cantik di galeri foto pada ponsel. Pikiran wanita setengah abad lebih ini menerawang kembali kepada Mbak Lastri—karyawan office girl di kantor Ambar—yang memberitahu jika jebakan mereka telah berhasil. Saat itu hatinya bahagia sekali, seperti mendapat undian berhadiah berjuta-juta. Kini, saatnya memberi bonus untuk dua orang wanita yang telah membantu aksi, meski upah sudah lunas terbayar. Dua orang yang dikenalnya, sejak dua bulan lalu saat Brian sakit untuk pertama kali.Tak terasa, taksi yang ditumpangi oleh Bu Retno telah sampai tujuan. Wanita usia setengah abad yang masih terlihat gesit dan cantik ini segera turun lalu melangkah pelan menuju warung, tempat pertemuan. Keadaan warung siang hari lumayan ramai, maklum jam makan siang.“Bu Retno!” panggil seseorang saat wanita ini baru saja akan memesan ruang VVIP di kasir. Tampak Seorang wanita, yang tak lain adalah penjaga kantin rumah sakit bergegas men
“Saya udah tahu gelagat mereka dari awal Terima kasih Mbak Lastri,” jawab Bu Retno yang terdengar tenang.Wanita senja tersebut tak tahu keadaan Mbak Lastri yang gemetaran karena gugup. Oleh karena baru sekarang, dirinya mengetahui sendiri orang selingkuh. Hanya dengan mendengar suara desahan dua orang berlainan jenis dan bukan pasangan suami istri, dalam kamar keadaan terkunci, secara tak langsung wanita muda ini sudah bisa memastikan hal tersebut.“Saya harus bagaimana, Bu?” tanya Mbak Lastri masih dengan jantung berdebar-debar. Dia berpikir wanita Yang ditelepon terdengar santai menanggapi laporannya. Mbak Lastri jadi heran, padahal Bu Retno tampak perhatian sekali saat memberikan kiriman untuk sang menantu dan kenapa sekarang bisa cuek seperti itu.“Mbak Lastri?” Terdengar suara Bu Retno di seberang telepon dan wanita muda tersebut seketika terhentak dari lamunan. “Iya, ya, Bu. Maaf,” jawabnya sambil mengelus dada agar bisa segera tenang kembali.“Wah, diajak ngomong, ditinggal me
Bu Retno yang melihat reaksi dari Mbak Lastri seketika tersenyum lebar. Kemudian, wanita usia senja ini menggenggam tangan Mbak Lastri sambil berucap,”Nggak papa, Mbak. Kasus itu udah jadi konsumsi umum. Banyak saksi mata yang melihat penggerebekan kemarin. Saya bercanda doang. Nggak usah dianggap serius.”Mbak Lastri dan Bu Nur seketika tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan wanita pengusaha katering ini. Bu Retno pun akhirnya ikut tertawa bersama mereka. ketiga wanita tersebut, tak sadar ada sepasang mata mengawasi gerak-gerik mereka. Wanita berpakaian gamis tersebut segera berlalu sambil menenteng kresek berisi nasi bungkus. Bu Retno sempat melihat wanita tersebut sesaat.Aku seperti nggak asing dengan dia. Siapa, ya? Tanyanya dalam hati.Bu Retno menata posisi duduk lalu mulai berbicara, “Barusan saya ditelepon seseorang yang memberitahu bahwa dia punya informasi penting soal keterlibatan Mita dengan komunitas Eksanti. Dia bilang akan menemui saya di tempat parkir. Begitu say
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu