Oh ya, Tuhan! Apa maksud semua ini? Kenapa baru sekarang aku tahu ini? Jeritnya dalam hati dan air matanya pun meluncur deras dari kedua sudut mata. Kemudian dipandangi wajah polos sang putra yang sedang terlelap dan hal tersebut semakin membuatnya terenyuh. Kenapa kamu harus ikut menderita karenanya, Nak?Kenapa Kau tak adil padaku? Aku tak pernah ingin membuat sakit orang lain, tetapi kenapa hal menyakitkan ini harus kami alami?Ambar tak tahu tentang masa lalu sang ibu dan baru sekarang mengetahuinya, setelah tanpa sengaja membuka galeri foto di akun facebook Mita. Itu pun, setelah dikasih tahu teman masa kecil Mita di kota asalnya. Kenapa baru sekarang dia tahu? Mulai kapan foto-foto tersebut diposting? Di postingan tersebut banyak teman semasa SMP yang berkomentar.Ambar segera menelepon Sabrina, sang teman tersebut. Beberapa saat menunggu, akhirnya telepon diangkat.“Lu bisa liat?” tanya sang teman dari seberang telepon.“Ya. Kenapa baru sekarang lu kasih tau gue? Padahal kita u
“Lu, bisa nangis di pundak gue, Bar. Habisin dulu air mata lu. Biar bisa lega. Gue ada buat lu. Sebisa mungkin, bantuin lu.”Ambar seketika memegang erat pinggang Sabrina dan menangis dalam pelukannya. Kedua wanita yang baru saja bertemu, setelah lima tahun terpisah ini, akhirnya bisa menikmati kebersamaan. Ambar yang telah tulus dalam bersahabat telah hancur lebur hatinya oleh Mita.“Kenapa kita kaga meet up sebelum ini, Sab? Tau kaga, gue ngerasa lu tuh sengaja jauhi gue. Jadi salah paham gara-gara dia,” ucap Ambar sambil mengurai pelukan lalu mengusap air mata. Sabrina duduk kembali depan sang sahabat lalu tersenyum penuh kasih.“Semoga setelah ini kaga ada lagi kesalahpahaman. Gue selama ini bangga banget ama persahabatan abadi kalian. Dari sama-sama bocil sampe jadi orang sukses. Buat instropeksi kita bersama,” saran Sabrina yang membuat lengkungan senyum di kedua pipi Ambar.Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel Ambar dari kantung piyama. Wanita berkuncir kuda tersebut merogoh
“Entar malah eike yang masuk bui. Ogah ah. Dicampur aduk ama para lekong. Eike bisa diperkosa, Cint ...,” ucap Clara setengah menjerit yang buru-buru menutup mulut dengan tisu. “Eike takut hamil, Zus. Eike masih perawan, belum merit lagi. Ogaaah!”Bukannya ikut sedih, Bu Nur justru tertawa terbahak-bahak mendengar omongan Clara barusan. Saking histerisnya, wanita pengelola kantin tersebut buru-buru lari ke toilet. Tak terasa hingga terkencing di celana. “Zus ini. Apaan cobak! Eike nangis, dia ngakak. Dasaaaar!” omel Clara seketika sembari menyobek tisu menjadi serpihan kecil. Tampak dia jengkel karena merasa disepelekan. Beberapa saat kemudian, Bu Nur telah kembali dari toilet. Dia segera duduk di sebelah transpuan tersebut. Ketika dia tahu telah didiamkan oleh Clara lalu buru-buru minta maaf.“Gak papa, Zus. Eike kan juga bisa hamil,” ucap Clara dengan raut wajah serius dan dari sini Bu Nur menyadari bahwa sosok di sampingnya adalah berjiwa wanita. Clara meneteskan air mata dan Bu N
"Maka dari itu lebih baik temui Mbak Ambar. Kalian bisa berunding dengan pengacara dan kamu bisa terhindar dari ancaman hukuman. Ngomong semuanya, nggak usah ditutup-tutupi lagi. Biar kasus segera terkuak motifnya," jelas Bu Nur yang direspon anggukan oleh Clara."Saya nggak akrab dengan Zus Cantik itu. Tolong kasih tahu dise. Eike mau jadi saksi, asal nggak dimasukin penjara," balas Clara dengan ekspresi memelas.Bu Nur yang sedari awal telah merasa ada 'sesuatu' di balik kasus Brian dan kini, dia menaruh rasa iba terhadap transpuan di hadapannya. Dia akan menghubungkan Clara dengan Ambar. Bu Nur berinisiatif untuk menelepon Bu Retno. Oleh karena dirinya tak mempunyai nomor telepon Ambar. Akan tetapi wanita tersebut berpikir ulang untuk menghubungi Bu Retno. menghubungi Bu Retno. Dia ingat bahwa telah dipesan oleh wanita pengusaha katering tersebut agar tak berhubungan secara langsung untuk sementara waktu.Jadi khawatir Jika hubungan telepon pun bisa disadap oleh pihak yang tak be
“Terbukti tak berkaitan dengan kasus Brian dan murni kasus bunuh diri. Aman buat dimakamkan. Tak usah dicari keterkaitannya lagi. Saya sebagai wakil keluarga, telah ikhlas menerima kepergiannya. Terima kasih atas bantuannya, Pak,” ucap Sapto sambil mengulurkan tangan kepada dua petugas di depannya.Kedua petugas akhirnya berpamitan lalu beranjak keluar ruangan dengan diantar seorang perawat. Sedangkan Sapto, memandangi kepergian mereka dengan puas. Sudah seharusnya kamu pergi, Ik. Terlalu banyak hati yang kau sakiti, batin Sapto.Tak jauh dari ruang perawatan Sapto, Ambar sedang membahasnya bersama Clara dan kesaksian transpuan tersebut bisa menguak pelaku percobaan pembunuhan pada Sapto. “Beneran kamu tau sendiri, saat temanmu sabotase mobil Pak Sapto?” tanya Ambar kepada Clara dengan pandangan tak percaya.“Em ... berrr,” celetuk Clara yang langsung direspon Ambar dengan mata mendelik. Transpuan tersebut pun seketika menutup mulut sembari cekikikan lalu membukanya dan berkata,”Udah
Mereka menikmati sensasi rasa desiran pintu surga dunia beberapa saat dan dipaksa berhenti oleh dering ponsel Sapto. Pria ini lalu mengecup kening Ambar lembut lalu berbisik lirih di telinganya. “I love you. I”ll be there for you.”“I love you too,” balas Ambar sambil mendongak menatap kedua mata teduh di hadapannya. Sapto pun tersenyum manis lalu melihat nama yang tertera di layar dan mengangkatnya. “Selamat siang,” salam Sapto kepada seseorang di seberang telepon.“Selamat siang, Pak Sapto. Semua berkas kematian telah siap untuk ditandatangani,” balas sang penelepon. Seketika Sapto menoleh ke arah Ambar lalu menjawab,”Terima kasih, Pak. Saya segera akan mengurusnya. Selamat siang. Hubungan telepon berakhir dan Sapto menaruh ponsel kembali ke atas meja.Pria ini menatap lekat ke arah Ambar lalu tersenyum tipis. Dia hanya berpikir, bagaimana bisa menangani pemakaman jenazah Eksanti, sedangkan dirinya sendiri masih dibantu kursi roda. Dia hanya memikirkan akan memberi kabar ke orang tu
Ambar segera berkata lirih ke sang sahabat. “Sab, lu liat orang tua Bang Sapto. Kayak curiga ke gua gitu, ya.” Perkataan Ambar langsung ditimpali oleh Sabrina. “Gimana gak curiga. Lu masih di kursi roda, bela-belain urusin jenazah dan juga tuh, mata gebetan lu, meleng dimari mulu. Ada yang bisa jelasin pandangan gua?” tanya Sabrina sembari tersenyum tipis yang langsung kena cubit kecil oleh Ambar.Prosesi pemakaman berlangsung hikmat dan lancar sampai selesai. Seluruh kerabat dan handai tolan telah meninggalkan area pemakaman. Kini, tinggal Sapto sekeluarga dan Ambar serta Sabrina yang tertinggal. Sapto menghampiri Ambar, sesaat akan kembali ke rumah sakit. Sabrina sengaja berpamitan menunggu di mobil untuk memberi kesempatan kedua insan untuk berbicara.“Terima kasih, Sayang. Entar di rumah sakit, orang tua Abang mau ngajakin kita ngobrol,” kata Sapto sambil memegang tangan Ambar yang telah berdiri tanpa kursi roda. Ambar sengaja meminta ke Sabrina untuk membawa benda tersebut ke da
“Kok bisa Brian ke kantin sendirian? Ibu ke mana?” tanya Ambar yang semakin yakin, ada sesuatu di kantin yang membuat Brian tak terkendali emosinya.“Maafkan, Ibu sedang menerima telepon waktu Brian pamit pengen beli roti. Barusan ada pesanan katering,” jawab Bu Retno yang akhirnya sadar bahwa Brian tantrum¹ karena ada pemicunya dan itu ada di kantin.“Sab, tolong ikut jaga Brian, ya. Gua mau ke kantin,” ucap Ambar yang langsung memutar arah kursi rodanya untuk keluar ruangan. Wanita ini merasa gerakannya jadi terbatas oleh kursi roda, lagipula dia sudah cukup kuat untuk berjalan tanpa mempergunakannya lagi. Aku gak boleh manja. Banyak yang harus aku lakukan, batin Ambar sambil bangkit lalu berjalan keluar kamar tanpa kursi roda. Perilaku Ambar diamati oleh Bu Retno dan Sabrina dengan kekaguman. Mereka melihatnya sebagai tindakan yang hebat.Namun, Sabrina yang punya rasa empati yang tinggi, merasa perlu untuk menjaganya dari jauh. Wanita bermata sipit ini mendekat ke arah Bu Retno.
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu