“Entar malah eike yang masuk bui. Ogah ah. Dicampur aduk ama para lekong. Eike bisa diperkosa, Cint ...,” ucap Clara setengah menjerit yang buru-buru menutup mulut dengan tisu. “Eike takut hamil, Zus. Eike masih perawan, belum merit lagi. Ogaaah!”Bukannya ikut sedih, Bu Nur justru tertawa terbahak-bahak mendengar omongan Clara barusan. Saking histerisnya, wanita pengelola kantin tersebut buru-buru lari ke toilet. Tak terasa hingga terkencing di celana. “Zus ini. Apaan cobak! Eike nangis, dia ngakak. Dasaaaar!” omel Clara seketika sembari menyobek tisu menjadi serpihan kecil. Tampak dia jengkel karena merasa disepelekan. Beberapa saat kemudian, Bu Nur telah kembali dari toilet. Dia segera duduk di sebelah transpuan tersebut. Ketika dia tahu telah didiamkan oleh Clara lalu buru-buru minta maaf.“Gak papa, Zus. Eike kan juga bisa hamil,” ucap Clara dengan raut wajah serius dan dari sini Bu Nur menyadari bahwa sosok di sampingnya adalah berjiwa wanita. Clara meneteskan air mata dan Bu N
"Maka dari itu lebih baik temui Mbak Ambar. Kalian bisa berunding dengan pengacara dan kamu bisa terhindar dari ancaman hukuman. Ngomong semuanya, nggak usah ditutup-tutupi lagi. Biar kasus segera terkuak motifnya," jelas Bu Nur yang direspon anggukan oleh Clara."Saya nggak akrab dengan Zus Cantik itu. Tolong kasih tahu dise. Eike mau jadi saksi, asal nggak dimasukin penjara," balas Clara dengan ekspresi memelas.Bu Nur yang sedari awal telah merasa ada 'sesuatu' di balik kasus Brian dan kini, dia menaruh rasa iba terhadap transpuan di hadapannya. Dia akan menghubungkan Clara dengan Ambar. Bu Nur berinisiatif untuk menelepon Bu Retno. Oleh karena dirinya tak mempunyai nomor telepon Ambar. Akan tetapi wanita tersebut berpikir ulang untuk menghubungi Bu Retno. menghubungi Bu Retno. Dia ingat bahwa telah dipesan oleh wanita pengusaha katering tersebut agar tak berhubungan secara langsung untuk sementara waktu.Jadi khawatir Jika hubungan telepon pun bisa disadap oleh pihak yang tak be
“Terbukti tak berkaitan dengan kasus Brian dan murni kasus bunuh diri. Aman buat dimakamkan. Tak usah dicari keterkaitannya lagi. Saya sebagai wakil keluarga, telah ikhlas menerima kepergiannya. Terima kasih atas bantuannya, Pak,” ucap Sapto sambil mengulurkan tangan kepada dua petugas di depannya.Kedua petugas akhirnya berpamitan lalu beranjak keluar ruangan dengan diantar seorang perawat. Sedangkan Sapto, memandangi kepergian mereka dengan puas. Sudah seharusnya kamu pergi, Ik. Terlalu banyak hati yang kau sakiti, batin Sapto.Tak jauh dari ruang perawatan Sapto, Ambar sedang membahasnya bersama Clara dan kesaksian transpuan tersebut bisa menguak pelaku percobaan pembunuhan pada Sapto. “Beneran kamu tau sendiri, saat temanmu sabotase mobil Pak Sapto?” tanya Ambar kepada Clara dengan pandangan tak percaya.“Em ... berrr,” celetuk Clara yang langsung direspon Ambar dengan mata mendelik. Transpuan tersebut pun seketika menutup mulut sembari cekikikan lalu membukanya dan berkata,”Udah
Mereka menikmati sensasi rasa desiran pintu surga dunia beberapa saat dan dipaksa berhenti oleh dering ponsel Sapto. Pria ini lalu mengecup kening Ambar lembut lalu berbisik lirih di telinganya. “I love you. I”ll be there for you.”“I love you too,” balas Ambar sambil mendongak menatap kedua mata teduh di hadapannya. Sapto pun tersenyum manis lalu melihat nama yang tertera di layar dan mengangkatnya. “Selamat siang,” salam Sapto kepada seseorang di seberang telepon.“Selamat siang, Pak Sapto. Semua berkas kematian telah siap untuk ditandatangani,” balas sang penelepon. Seketika Sapto menoleh ke arah Ambar lalu menjawab,”Terima kasih, Pak. Saya segera akan mengurusnya. Selamat siang. Hubungan telepon berakhir dan Sapto menaruh ponsel kembali ke atas meja.Pria ini menatap lekat ke arah Ambar lalu tersenyum tipis. Dia hanya berpikir, bagaimana bisa menangani pemakaman jenazah Eksanti, sedangkan dirinya sendiri masih dibantu kursi roda. Dia hanya memikirkan akan memberi kabar ke orang tu
Ambar segera berkata lirih ke sang sahabat. “Sab, lu liat orang tua Bang Sapto. Kayak curiga ke gua gitu, ya.” Perkataan Ambar langsung ditimpali oleh Sabrina. “Gimana gak curiga. Lu masih di kursi roda, bela-belain urusin jenazah dan juga tuh, mata gebetan lu, meleng dimari mulu. Ada yang bisa jelasin pandangan gua?” tanya Sabrina sembari tersenyum tipis yang langsung kena cubit kecil oleh Ambar.Prosesi pemakaman berlangsung hikmat dan lancar sampai selesai. Seluruh kerabat dan handai tolan telah meninggalkan area pemakaman. Kini, tinggal Sapto sekeluarga dan Ambar serta Sabrina yang tertinggal. Sapto menghampiri Ambar, sesaat akan kembali ke rumah sakit. Sabrina sengaja berpamitan menunggu di mobil untuk memberi kesempatan kedua insan untuk berbicara.“Terima kasih, Sayang. Entar di rumah sakit, orang tua Abang mau ngajakin kita ngobrol,” kata Sapto sambil memegang tangan Ambar yang telah berdiri tanpa kursi roda. Ambar sengaja meminta ke Sabrina untuk membawa benda tersebut ke da
“Kok bisa Brian ke kantin sendirian? Ibu ke mana?” tanya Ambar yang semakin yakin, ada sesuatu di kantin yang membuat Brian tak terkendali emosinya.“Maafkan, Ibu sedang menerima telepon waktu Brian pamit pengen beli roti. Barusan ada pesanan katering,” jawab Bu Retno yang akhirnya sadar bahwa Brian tantrum¹ karena ada pemicunya dan itu ada di kantin.“Sab, tolong ikut jaga Brian, ya. Gua mau ke kantin,” ucap Ambar yang langsung memutar arah kursi rodanya untuk keluar ruangan. Wanita ini merasa gerakannya jadi terbatas oleh kursi roda, lagipula dia sudah cukup kuat untuk berjalan tanpa mempergunakannya lagi. Aku gak boleh manja. Banyak yang harus aku lakukan, batin Ambar sambil bangkit lalu berjalan keluar kamar tanpa kursi roda. Perilaku Ambar diamati oleh Bu Retno dan Sabrina dengan kekaguman. Mereka melihatnya sebagai tindakan yang hebat.Namun, Sabrina yang punya rasa empati yang tinggi, merasa perlu untuk menjaganya dari jauh. Wanita bermata sipit ini mendekat ke arah Bu Retno.
Dalam hati Ambar berkecambuk tentang roti cokelat pemberian Bu Mirna. Dia berpikir tentang hubungan antara Besti dengan Bu Mirna. Terpikir oleh Ambar juga, siapa yang menelepon ibunya. Ada rasa heran dalam hati Ambar, dari mana Besti tahu kalau yang dibicarakan dengan Brian bisa membuat sang bocah badmood. Ada tanda tanya dalam otaknya, siapa yang menyuruh bestie? Kenapa Bu Mirna menitipkan roti cokelat di kantin? Mengapa nggak samperin langsung ke kamar? Padahal Bu Mirna adalah partner bisnis ibunya.Ambar akan mencari tahu semuanya. Semua masalah berurutan secara sistematis seperti sudah diperhitungkan secara matang. Ambar melangkah melewati taman dan dihadang oleh Sabrina, membuat wanita berkaki jenjang ini kaget."Ya, ampun, Sab! Sejak kapan di sini?" tanya Ambar dengan wajah pias karena sempat syok terapi barusan.Sabrina yang merasa bersalah, segera memeluk sahabatnya. Wanita bermata sipit ini lalu berbisik,"Lu dicari Sapto sama ortunya."Seketika Ambar kaget mendengar ucapan S
Tampak beberapa pembezuk telah bertemu para narapidana dan asik bercengkerama. Tiba-tiba ada seorang sipir penjara menghampiri keduanya lalu berucap,”Maaf, Bu. Pak Hadi sedang dalam perawatan karena ambeien. Bisa jadi harus dilakukan tindakan pembedahan. Ada unsur rudapaksa terhadap Pak Hadi yang dilakukan oleh salah satu penghuni sel penjara.”“Kasus apalagi ini?” tanya Ambar setengah berteriak karena histeris. Dia harus tahu di mana Hadi dirawat, meski tak tersakiti. Namun, bagaimanapun, Ambar tak rela Hadi dipecundangi seperti mainan dan pelaku harus dapat hukuman setimpal. Mengerikan!“Kita pulang, Bar,” ajak Sabrina, tetapi tak dihiraukan oleh Ambar. Wanita berkaki jenjang ini setengah berlari mengejar sipir. “Pak, tunggu!” teriak Ambar yang menghentikan langkah kaki petugas tersebut. “Dirawat di mana?”Pria berseragam ini pun segera menoleh lalu menjawab, ”Rumah sakit umum, Bu. Kalo mau menjenguk, bisa minta surat pengantar dari sini. Asal Ibu masih kerabat dekat narapidana.”Am