Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
“Sayang, ayo bangun. Udah jam berapa ini?” tanya Ambar sambil menyingkap selimut yang membungkus tubuh Brian.“Brian enggak sekolah, Ma,” ucap bocah usia 11 tahun dengan tatapan mata kuyu.Ambar merasa heran, tak biasanya anak kesayangannya bolos sekolah. Brian terkenal paling rajin dan cerdas di antara teman-teman sebayanya dalam satu kompleks. Oleh karena kecerdasannya pula bocah berkulit bersih ini sering menjuarai olimpiade matematika dan IPA. Berawal dari bimbingan belajar untuk persiapan ke olimpiade, akhirnya Brian semakin akrab dengan Hadi—guru pembimbingnya. Hadi yang seorang penyayang anak bertemu dengan Brian, si anak yatim.Oleh karena komunikasi yang intens antar keduanya, akhirnya berdampak kepada hubungan Hadi dengan Ambar selaku orang tua murid. Takdir pula membawa kedua insan ini mengikatkan janji suci dalam mahligai pernikahan.Ambar melihat raut wajah Brian yang bersemu merah segera meraba kening sang anak.“Panas sekali badanmu, Sayang. Biar diantar Papa periksa,”
“A-pa maksud Dokter ... pelecehan seksual lewat anal?” tanya Ambar dengan mengusap air mata kembali dan ditanggapi dengan anggukan oleh pria di hadapannya.Dari awal pembicaraan dokter, Ambar sudah menduga akan ke arah situ. Namun, tetap saja anggukan sang dokter membuat dada bertambah sakit menjalar sampai ke relung hati.“Saya mesti bagaimana, Dok?” tanya Ambar mirip orang linglung.“Kami akan berusaha mengobati agar sembuh dan saya sarankan Ibu mencari psikiater untuk mendampingi ananda. Maaf, selain dengan Bapak, apakah ananda akrab dengan pria dewasa lain?” tanya dokter pelan-pelan.“Pelakunya orang dewasa?”“Sebatas praduga saya dan perlu dibuktikan. Nanti Ibu bisa membuat laporan ke kantor polisi untuk menangkap pelaku sebenarnya. Ananda trauma untuk kedua kalinya. Semoga semakin kuat mentalnya,” ucap pria berjas putih tersebut berusaha memberi support ke Ambar.“Iya, Dok. Rasa kehilangan kemarin barusan sembuh,” balas Ambar dengan nada sedih.“Apakah dia mengalami gangguan mak
Keduanya sedang asik dengan pikiran masing-masing. Ekor mata Hadi melirik wanita di sebelahnya, sering kali Ambar mengerem mendadak dan membunyikan klakson lalu mengomel kesal.Pikiran Ambar yang sedang kacau membuat emosinya mudah terpancing. Hadi hanya bisa mengelus dada melihat perilaku sang istri yang berubah dratis.“Mah, biar Papa yang nyetir. Tenangin hati Mama dulu,” ucap Hadi selembut mungkin agar emosi Ambar bisa segera stabil dan mau menyerahkan kemudi padanya.“Diem aja. Entar kasih keterangan ke polisi sebanyak-banyaknya. Bikin alibi palsu atau ada saksi bayaran? Bedebah!” teriak Ambar sembari memukul kemudi.Wanita ini tampak emosi dan Hadi masih bersabar menghadapinya. Pria berkaca mata tersebut hanya diam menunggu sampai emosi sang istri reda. Di saat pasutri ini sedang tegang, tiba-tiba ponsel Hadi berbunyi.Pria ini segera merogoh benda tersebut dari saku celana dan tanpa melihat nama si penelepon langsung menjawab panggilan.“Lagi di jalan, belum bisa terima telepon
“Saya ke kantin, Bu. Kalo ada apa-apa dengan Brian, tolong telepon saya.”Bu Retno mengangguk mendengar omongan menantunya. Hadi berpamitan lalu mencium tangan mertuanya. Wanita tua ini memandang kepergian sang menantu dengan perasaan sedih.Langkah kaki wanita tua ini memutar arah masuk kembali ke ruang perawatan. Tampak di dekat ranjang, Ambar mengelus wajah anak semata wayangnya. Sesekali bulir bening menetes membasahi pipi hingga kulit Brian. Namun, dia buru-buru menyekanya dengan tisu. Dia tak ingin sang jagoan mengetahui keterpurukannya.Anaknya sudah teramat terluka dan itu pasti menghancurkan psikis. Ambar pun seketika teringat seorang teman yang tahun lalu mendampingi Brian hingga lepas dari rasa depresi. Dia mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kontak sang teman. Ambar bangkit dari kursi lalu berjalan keluar ruangan.Sementara itu, Bu Retno berjalan menghampiri Ambar dan menepuk bahu putrinya beberapa kali lalu mendekati ranjang cucunya. Sesampai di luar ruangan, Ambar men