“Saya ke kantin, Bu. Kalo ada apa-apa dengan Brian, tolong telepon saya.”
Bu Retno mengangguk mendengar omongan menantunya. Hadi berpamitan lalu mencium tangan mertuanya. Wanita tua ini memandang kepergian sang menantu dengan perasaan sedih.Langkah kaki wanita tua ini memutar arah masuk kembali ke ruang perawatan. Tampak di dekat ranjang, Ambar mengelus wajah anak semata wayangnya. Sesekali bulir bening menetes membasahi pipi hingga kulit Brian. Namun, dia buru-buru menyekanya dengan tisu. Dia tak ingin sang jagoan mengetahui keterpurukannya.Anaknya sudah teramat terluka dan itu pasti menghancurkan psikis. Ambar pun seketika teringat seorang teman yang tahun lalu mendampingi Brian hingga lepas dari rasa depresi. Dia mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kontak sang teman. Ambar bangkit dari kursi lalu berjalan keluar ruangan.Sementara itu, Bu Retno berjalan menghampiri Ambar dan menepuk bahu putrinya beberapa kali lalu mendekati ranjang cucunya. Sesampai di luar ruangan, Ambar menutup daun pintu perlahan. Dia berdiri tak jauh dari sana dengan ponsel menempel di telinga.“Hai, Bar. Tumben nih. Ngajakin nongkrong?”“Maunya kita meet up. Lu sibuk mulu. Gak terasa udah 6 bulan kaga ketemu,” balas Ambar terdengar ceria, tetapi raut wajahnya tak bisa menipu.“Samaan. Giliran gue kosong, lu full time. Udah berani ngajakin meet up, udah sekarung tuh dolar,” sahut sang teman dari ujung telepon.“Mitaa ... kita harus meet up!” teriak Ambar tanpa sadar dan buru-buru terdiam lalu celingukan dan mencoba tersenyum kepada beberapa orang di sekitar dia.“Baar! Brian sehat?” tanya sang teman yang sukses membuat kedua kelopak mata Ambar tergenang cairan bening kembali.Beberapa saat wanita berkaki jenjang ini tertegun. Dia sibuk menyeka air mata yang tak berhenti mengalir, meski telah diusap tiap kali keluar.“Ambaaarr? Are you okey, Dear? What happen with you? Tell me, please!” teriak sang teman bernada cemas dari ujung telepon.“Mita! Kenapa air mataku gak mau berhenti, ya? Ada yang salah dengan kelopak matanya,” ucap Ambar serupa orang meracau dengan senyum yang sulit diartikan.“Dear, share loc. I will coming for you,” kata sang teman dengan intonasi pelan dan jelas dengan mengeja per-kata.Ambar segera mengirimkan lokasi dia kepada temannya melalui aplikasi berlogo hijau. Hubungan mereka pun terputus dengan menyisakan seraut wajah tirus berurai air mata. Ponsel di tangan Ambar beberapa kali berbunyi, akan tetapi dia sudah tak ingin berbicara lagi.Tampak dari kejauhan Hadi mengamati perilaku sang istri yang tampak kacau. Kebetulan ruang perawatan anak berada di seberang kantin. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Jadi, Hadi bisa melihat dengan jelas ekspresi Ambar yang sangat terluka.Pria ini amat menyayangi Ambar dan tak ingin membuatnya terluka. Akhirnya, Hadi segera beranjak dari kantin, meski kopi susu masih separuh gelas diminumnya. Langkah kaki pria ini mantap ke arah laboratorium.Dia bertekat akan memperjelas semuanya hari ini dan ingin segera mengakhiri kemelut di antara dia dengan Ambar. Tak lupa, Hadi masih menyempatkan berkirim pesan kepada wanita tercintanya.[Sayang, akan kubuktikan bahwa aku tak serendah itu. Aku amat menyayangi kalian. Love U]Pesan terkirim bersamaan dengan langkah kaki Hadi tepat berada di depan laboratorium. Setelah dia mengutarakan keinginannya, oleh salah satu petugas disarankan untuk berkonsultasi dulu dengan dokter.Hadi pun segera menuju ruang dokter yang dimaksud. Kini di depan matanya terpampang palang, Dokter spesialis kulit dan kelamin. Pria ini mengetuk daun pintu sebanyak tiga kali lalu terdengar sahutan dari dalam yang memintanya masuk.Berjarak 100 meter dari Hadi mengetuk pintu, terdapat Ambar yang sedang bersandar ke dinding di samping ruang perawatan Brian. Wanita ini baru saja melihat pemberitahuan sebuah pesan yang telah diterima dan salah satunya dari Hadi.Dia tak ingin membacanya. Ponsel masih tergenggam di tangan kanan, sementara kedua mata Ambar menatap nanar awan putih yang berarak di celah-celah daun akasia yang tumbuh di depan ruang perawatan anak.“Ambar, apa kabar?” sapa seorang wanita berblazer hijau tosca berpadu celana jeans sembari memeluk erat tubuh Ambar.Mereka bercipika-cipiki sesaat lalu mengurai pelukan dan tersenyum bersama.“Gue hancur, Mit,” sahut Ambar seraya menatap sang teman dengan pandangan layu.“Kita ke kantin, yuk. Gue yang traktir lu. Ini ruang jagoan?”Ambar pun mengangguk menanggapi pertanyaan Mita. Sang teman menatap kedua mata Ambar sembari memegang kedua lengannya.“Brian ada yang jaga?”“Ada ibu gue,” jawab Ambar sambil menunduk.“Okey, kita ke kantin, girl!” pungkas Mita segera menggandeng tangan Ambar.Keduanya melangkah berdampingan menuju kantin yang sudah mulai ramai dengan pembeli. Mita adalah teman akrab Ambar sedari SMP. Hanya dengan wanita cantik berwajah keibuan ini, Ambar mampu bercerita semua hal.Begitu pun sebaliknya. Hanya keberuntungan belum berpihak kepada Mita. Hingga menginjak usianya yang ke 35 tahun, wanita hitam manis ini masih betah melajang. Seperti yang sering kali wanita berblazer ini bilang ke Ambar bahwa dirinya tak masalah ada suami apa enggak, yang penting punya anak banyak.Hal itu akhirnya menjadi kenyataan, kini Mita dicintai banyak anak karena profesinya sebagai psikiater anak. Mereka bercengkerama melepas rindu sekaligus berdiskusi tentang masalah yang sedang dihadapi Ambar. Tiba-tiba ponsel Ambar berbunyi dan tertera nomor kontak Bu Retno di layarnya.“Ya, Bu. Aku di kantin,” jawab Ambar sesaat setelah terhubung.“Brian mencari kamu,” balas Bu Retno dari ujung telepon.“Bujuk dia bentar, Bu. Aku segera datang,” ucap Ambar lalu memutuskan hubungan telepon.“Mir, pasien lu udah bangun. Kita ke sana!” ajak Ambar seraya bangkit.Sang teman juga mengikuti berdiri, tetapi langkah kakinya masih mengitari seisi kantin dengan mengambil beberapa bungkus camilan dari rak makanan. Wanita hitam manis ini lalu membayar ke penjaga kantin.Kedua wanita berpostur tubuh sama ini melangkah bersama ke arah ruang Brian. Ambar membuka pintu saat mereka sampai depan ruangan.“Selamat siang, Tante, Jagoan,” sapa ramah Mita sembari mendekat ke arah ranjang.“Selamat siang, Cantik. Kok tau kita di sini?”tanya Bu Retno yang segera berdiri lalu memeluk Mita.Ambar seketika duduk di depan Brian yang terlihat terluka dalam. Sorot matanya mewakili perihnya jiwa yang tercabik.“Jagoan Mama udah bangun. Setelah ini kita liburan, ya. Tante Mita juga ikut, loh,” ucap lembut Ambar sembari memegang tangan Brian.“Brian mau pup tapi takut,” ucap bocah berkulit bersih ini sembari memegang pangkal paha.“Gak usah takut, Sayang. Udah ada obat di infus. Lukanya mulai mengering. Mama juga dapat obat semprot dari dokter barusan. Yuk, Mama antar,” bujuk Ambar dengan menahan sekuat mungkin air mata yang mulai ingin keluar.Dia tak ingin terlihat sedih di mata putra kesayangannya. Kedua tangannya membantu bocah bongsor untuk berdiri. Ambar mengamati diam-diam cara berjalan putra kesayangannya. Tampak jelas perbedaannya kini, Brian berjalan mulai normal kembali, meski sesekali, bibir bawah digigit seperti menahan sakit.“Jagoan Mama udah bangun. Setelah ini kita liburan, ya. Tante Mita juga ikut, loh,” ucap lembut Ambar sembari memegang tangan Brian. “Brian mau pup tapi takut,” ucap bocah berkulit bersih ini sembari memegang pangkal paha.“Gak usah takut, Sayang. Udah ada obat di infus. Lukanya mulai mengering. Mama juga dapat obat semprot dari dokter barusan. Yuk, Mama antar,” bujuk Ambar dengan menahan sekuat mungkin air mata yang mulai ingin keluar.Ambar tak ingin terlihat sedih di mata putra kesayangannya. Kedua tangannya membantu bocah bongsor untuk berdiri. Ambar mengamati diam-diam cara berjalan putra kesayangannya. Tampak jelas perbedaannya kini, Brian berjalan mulai normal kembali, meski sesekali, bibir bawah digigit seperti menahan sakit.Ah, Nak. Mama enggak akan dinas ke luar kota lagi, batinAmbar menjerit.Wanita ini menahan sesak di dada, hingga tiap air yang keluar dari pelupuk mata, buru-buru diusapnya. Dia harus terlihat tegar di depan anaknya.“Mama perlu ikut masuk?” tanya Ambar
Mita dan Bu Retno mengangguk ke arah Ambar dan segera direspon dengan sebuah dobrakan keras ke arah pintu oleh si kaki jenjang.Namun, tak membuahkan hasil. Bahan daun pintu yang tebal tak goyah sedikit pun oleh tenaga Ambar.“Biar Papa aja, Mah,” ucap Hadi yang muncul tiba-tiba lalu mendobrak pintu sekuat tenaga dan pintu pun terbuka.Dalam toilet, bocah bongsor sedang duduk di lantai sambil bersandar di dinding dengan kaki tertekuk. Kepala tertunduk di atas dua lutut dan kedua lengan memegang erat kakinya. Tubuh Brian menggigil, meski tak terdengar isak tangis.Ambar segera menghambur ke arah sang putra lalu segera membopong keluar. Hadi yang hendak mendekati mereka, dengan cekatan dicegah oleh Mita.“Maaf, Bang. Tolong biarkan mereka berdua dulu,” ucap Mita pelan sembari tersenyum.“Kamu tau apa? Aku ini papanya! Setiap hari Brian bersamaku, siang dan malam. Dia anakku, meski bukan kandung,” teriak Hadi berurai airmata.Tampak sekali pria ini terguncang jiwanya melihat keadaan sang
“Tolong diterima ini dari para guru. Mereka salut padamu dan mendukung pertobatan kamu,” ucap Sapto sembari meletakkan amplop di depan Hadi.“Ini apa? Kalian gak takut kalo kena skors gara-gara ini?”“Ngapain takut? Ini di luar jam mengajar. Lagi pula tak pake stempel sekolah. Tunjukkan bahwa kamu memang udah lurus. Lagian kenapa enggak laporkan aja, akun yang sebar berita hoaks itu?”“Dia punya foto-foto aku saat dulu. Mau gimana lagi?”“Itu foto-foto lama dan sekarang kamu udah tobat. Buktikan itu!”Akhirnya setelah sejam berbincang berdua, Sapto pamit pulang. Hadi menjadi bersemangat lagi setelah kedatangan sang teman. Pria berkaca mata minus ini menutup pintu kembali.Kemudian Hadi melangkahkan kaki menuju kamar tidur dan di salah satu dindingnya terdapat foto bertiga. Moment manis di saat mereka masih bersama. Ada Ambar, dia dan juga Brian. Mereka tampak bahagia di foto. Hal tersebut terjadi sebelum badai menerpa rumah tangga mereka. Hadi tersenyum mengenang hal tersebut.“Kalian
"Gue langsung meluncur ke rumah lu. Si Tante udah kelabakan, tuh. Brian marah-marah karena darah tambah deras,” jelas Mita dengan mimiksedih.Ambar yang mendengar cerita sang teman segera memacu mobil agar segera sampai rumah sakit. Dia membayangkan wajah sang anak yang semakin ketakutan karena hal tersebut.Akhirnya, tak sampai dua puluh menit, mobil sampai tempat parkir rumah sakit. Kedua sahabat ini langsung turun lalu dengan setengah berlari menuju ruang UGD. Saat kedua wanita ini tiba, Bu Retno berada tak jauh dari tempat Brian yang sedang diperiksa oleh dokter.“Gimana Brian, Bu?” tanya Ambar kepada sang ibu yang tampak pucat pasi dan gemetar.“Ibu, ngeri, Nduk. Darahnya keluar terus. Brian pake sarung tuh. Apa kehabisan darah jadi pingsan?”Mita hanya tersenyum mendengar pertanyaan Bu Retno yang polos.“Brian pingsan tuh karena kaget, Bu. Kita tunggu saran dokter aja. Moga aja setelah ini Brian sehat, enggak sakit-sakit lagi. Kasian dia. Berat badan turun dratis. Tampak kurus b
“Bu, kemarin saat Brian sakit, sempat fotoin kantin, kan?”tanya Ambar kepada Bu Retno.“Iya, sih. Emang kenapa?”“Boleh kasih liat hasil jepretan Tante?” tanya Mita yang tak sabaran.Bu Retno segera mengambil ponsel dari dalam tas lalu membuka menu dan mulai mengamati foto-foto di galeri. Setelah ketemu file khusus fotodi kantin dengan segera ponsel diserahkan kepada Ambar. Wanita yang hobi berkuncir kuda ini pun meneliti foto demi foto dan akhirnya ketemu yang dicari.“Bu, tolong liatin! Bukankah dua orang pria ini yang Ibu ceritain kemarin?” tanya Ambar sembari menyodorkan layar ponsel dan Mita segera mendekat.Bu Retno menatap layar dan mengamati dua sosok wajah yang terpampang.“Iya, bener ini. Baju motif bunga sepatu dan kaos biru. Mereka kenal Hadi dan Brian. Yang ini,” ucap Bu Retno sembari menunjuk pria berbaju motif bunga sepatu lalu melanjutkan, “dia bilang yang nularin penyakit ke cucuku. Tega bener, orang biadab.”Bu Retno tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wanita tua m
“Bu, maaf. Mau tanya sebentar. Benar mereka pernah ke sini?”tanya Mita seraya menyodorkan sebuah foto di ponsel.”Sesaat penjaga kantin mengamati foto tersebut lalu berkata,“Oh, iya. Mereka pernah ke sini. Ada apa, ya?”“Enggak papa. Kebetulan saya lagi cari teman saya ini.Terima kasih, Bu,” ucap Mita yang hendak beranjak pergi, tetapi terhenti karena omongan penjaga kantin.“Dari sebulan yang lalu, polisi juga nyariin mereka.Terutama laki berbaju bunga sepatu.”Mita akhirnya menatap ke penjaga warung dengan mimik heran.“Oh ya? Mereka tanya apa aja, Bu?”“Tanya, apa mereka sering kemari lalu apa saya mendengar pembicaraan mereka. Itu aja, sih. Selebihnya motoin kantin dan sekitarnya. Emang ada pembunuhan, Bu?” tanya sang penjaga yang tampak semakin penasaran.“Entah, ya. Ibu kok gak tanya polisinya?”“Saya udah tanya. Bapak polisi bilang masih penyelidikan, gak boleh bocor,” jawab penjaga kantin kemudian.“Berarti kasus serius. Dirahasiakan agar pelaku gak keburu kabur, Bu. Oh, ya, sa
“Saya minta maaf, Bapak-bapak. Ini tadi dia tiba-tiba datang dan marah-marah. Saya mohon maaf sebesar-besarnya,” ucap Hadi dengan menunduk. Pria ini merasa sangat malu dengan kejadian barusan. Secara dia adalah penghuni baru di komplek tersebut.“Gak apa-apa, Pak. Mohon sebagai pembelajaran untuk di lain waktu. Baiklah, kami pamit,” ucap Pak RT lalu menyalami Hadi dan diikuti pria yang satu.Hadi mengantar mereka sampai ke teras hingga kedua pria tersebut tak kelihatan lagi. Hadi masuk kembali lalu mengunci pintu. Pria berkaca mata tersebut mengingat kembali semua omongan Eksanti tadi. Pria ini bertekat akan melaporkan omongan transpuan tersebut ke pihak penyidik.“Brian, Papa sayang kamu dan mama kamu. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,”ucap Hadi sambil mengusap wajah-wajah yang tertampang dalam pigura di dinding. Tak terasa kedua mata pria berprofesi sebagai guru ini tergenang oleh buliran bening.•••¤•°•¤•••“Mamaaa...!”“Mama ada di sini, Sayang,” bisik Ambar lirih di
“Maaa... jangan pergi!”“Mama dekat kamu, Sayang. Ada Nenek juga. Kami sayang kamu,” ucap Ambar lalu mengusap pipi sang anak.Sementara Bu Retno yang sedang mengelus punggung Brian sudah mulai meneteskan air mata. Dengan mendengar igauan cucu tersayang, hatinya seketika remuk redam. Dua jam kemudian Mita telah datang dengan berita mengejutkan. Ambar dan Bu Retno tanpa kata menyimak penjelasan dari wanita hitam manis ini.Mita menjelaskan bahwa sesuai pernyataan pihak penyidik, perwakilan sekolah telah memberi keterangan. Brian mengikuti pelatihan untuk acara penobatan putra putri berprestasi se-propinsi dan dia adalah perwakilan satu-satunya dari kabupaten. Sebuah agenci telah ditunjuk panitia untuk pelatihan dan kebetulan milik desainer ternama Indonesia.Lelaki pemakai motif kembang sepatu adalah desainer tersebut. Hadi pun telah datang memberi keterangan bahwa mereka sempat mempunyai hubungan spesial setahun sebelum pernikahan Ambar dan Hadi. Mereka masih sering bertemu karena prof