Home / Lain / ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL / MEMBUAHKAN RASA SESAK

Share

MEMBUAHKAN RASA SESAK

“A-pa maksud Dokter ... pelecehan seksual lewat anal?” tanya Ambar dengan mengusap air mata kembali dan ditanggapi dengan anggukan oleh pria di hadapannya.

Dari awal pembicaraan dokter, Ambar sudah menduga akan ke arah situ. Namun, tetap saja anggukan sang dokter membuat dada bertambah sakit menjalar sampai ke relung hati.

“Saya mesti bagaimana, Dok?” tanya Ambar mirip orang linglung.

“Kami akan berusaha mengobati agar sembuh dan saya sarankan Ibu mencari psikiater untuk mendampingi ananda. Maaf, selain dengan Bapak, apakah ananda akrab dengan pria dewasa lain?” tanya dokter pelan-pelan.

“Pelakunya orang dewasa?”

“Sebatas praduga saya dan perlu dibuktikan. Nanti Ibu bisa membuat laporan ke kantor polisi untuk menangkap pelaku sebenarnya. Ananda trauma untuk kedua kalinya. Semoga semakin kuat mentalnya,” ucap pria berjas putih tersebut berusaha memberi support ke Ambar.

“Iya, Dok. Rasa kehilangan kemarin barusan sembuh,” balas Ambar dengan nada sedih.

“Apakah dia mengalami gangguan makan kayak dulu?”

“Kayaknya, Dok. Saya enggak tau pasti karena baru kemarin pulang dinas dari luar kota.”

“Kalo perlu, hal ini akan saya tanyakan kepada Pak Hadi. Mungkin beliau yang tau keseharian ananda, selama tak ada Ibu.”

“Gak perlu, Dok. Biar saya yang ngomong ke suami. Saya akan bikin laporan ke polisi dulu. Terima kasih atas penjelasannya. Permisi,” ucap Ambar dengan mata memerah yang sesekali buliran bening masih menetes.

“Silakan, Bu Ambar. Saya turut prihatin dengan kejadian ini. Sabar dan ikhlas. Semoga Tuhan segera memberi jalan,” balas dokter sembari mengiringi langkah Ambar lalu membantu membukakan pintu untuk wanita yang tampak terpuruk tersebut.

Ambar mengangguk sebelum berlalu dari hadapan dokter. Wanita ini beberapa kali mendongak untuk menahan laju air mata. Meski beberapa lembar tisu telah terbuang, tetapi buliran bening yang keluar seolah tak mau surut.

Ya Tuhan! Harus bagaimana lagi menjalani ini semua? Tanyanya dalam hati.

Akhirnya langkah kaki Ambar harus mampir ke toilet karena tak ingin jadi tontonan pengunjung yang lain. Dia hancur bagai tembok kena hantam badai tsunami dan masih bernyawa. Kehancuran tersebut terasa meluluh lantakkan persendian dan organ dalam tubuhnya.

Otak dan pikiran sempat nge-blank sesaat, untung Ambar segera tersadar. Dia tak boleh goyah karena ada sang anak yang harus diangkat tubuhnya dari kubangan lumpur. Ya, dia harus menyingkirkan lumpur tersebut hingga tubuh Brian kembali bersih dan suci seperti saat dia dilahirkan.

Setelah membasuh muka, Ambar segera keluar dari toilet. Dia harus menyakinkan diri bahwa akan mampu melewatinya. Sekarang hal pertama yang harus dilakukan adalah menghubungi sang ibu lalu pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sebuah ponsel dikeluarkan dari dalam tas lalu dia melakukan panggilan.

“Ibu sedang di jalan mau ke rumah kamu. Bentar lagi nyampe. Kangen banget sama jagoan,” ucap seseorang dari ujung telepon.

Begitu mendengar suara sang ibu, Ambar hanya mampu menjawab dengan isak tangis.

“Ambar ada apa? Loh ini ... rumah kamu sepi. Ke mana kalian?” tanya Bu Retno—sang ibu--yang baru saja turun dari taksi tepat di depan gerbang rumah.

Beberapa saat kemudian terdapat pemberitahuan sebuah pesan telah diterima. Bu Retno segera mengakhiri hubungan telepon lalu membaca pesan dari Ambar.

Sementara itu, Ambar bergegas menuju tempat Brian. Saat ini, dia hanya ingin memeluk putra semata wayangnya dengan sangat erat. Beribu penyesalan mendera dalam dada. Sesampai di hadapan sang jagoan yang belum sadarkan diri, kedua tangannya mengusap lembut kedua pipi gembul yang mulai menyusut.

Bocah tampan yang selalu jadi penyemangat dirinya untuk tak punya rasa capek dalam mencari uang. Semua dia lakukan demi memenuhi keinginan sang buah hati. Dia berharap bisa membuat sang putra bahagia dengan membeli segala hal yang terbaik.

Namun, nyatanya sang putra telah hancur di saat tak bersamanya. Setan berwujud manusia telah merusak mutiara yang selalu dijaganya agar tak sampai meneteskan air mata.

“Sayang, bagaimana Mama menyembuhkanmu kembali? Andai Tuhan mengizinkan, tubuhmu Mama telan agar tetap terjaga dalam perut,” ucap Ambar sembari berderai air mata.

Hadi yang melihat perilaku sang istri dan merasa ganjil segera mendekat lalu mengelus rambutnya lembut.

“Mah, ada apa dengan anak kita?” tanya pria berprofesi guru ini sambil berbisik.

“I-ni anakku! Bu-kan anak kita!” ucap Ambar lirih, tetapi cukup keras menampar pendengaran Hadi.

Pria berpostur tinggi ini mencoba memahami keadaan sang istri yang sedang kalut. Dia paham rasa keibuan membuat Ambar yang dalam keseharian lembut hati menjadi emosi seperti barusan.

“Sabar ya, Mah. Kita beri pengobatan terbaik agar Brian segera sembuh,” kata Hadi pelan-pelan sembari menatap wajah sang putra sambung yang mulai membaik setelah mendapat infus.

Saat datang ke UGD, wajah Brian pucat pasi bagai kapas dengan suhu tubuh tinggi. Sesaat setelah perawat memasang infus lalu Hadi sempat meraba dahi dan telapak kaki sang putra terasa mulai menurun suhunya.

Tak beberapa lama tampak Bu Retno mendatangi mereka. Nenek Brian yang masih bugar di usia 70 tahun melempar senyum ke arah menantunya. Hadi segera menjabat lalu mencium tangan wanita tua ini.

“Spidermanku sakit apa?” tanya Bu Retno yang membuat Ambar menoleh lalu mencium tangannya.

“Yang tau mamanya. Dia tadi berkonsultasi dengan dokter,” jawab Hadi dengan tersenyum menampakkan ceruk kecil di kedua pipinya.

“Nanti aku cerita, Bu. Tolong jaga Brian, ya. Ambar ada urusan sebentar,” jelas Ambar yang bangkit dari sisi sang putra lalu bersiap akan pergi.

“Mau ke mana, Mah?” tanya Hadi yang mulai terlihat cemas.

Ambar tak menjawab pertanyaan Hadi. Wanita ini bahkan telah melangkah pergi keluar dari UGD.

“Segera susul dia,” saran Bu Retno kepada menantunya.

“Baik, Bu. Saya permisi dulu. Titip Brian, Bu,” balas Hadi yang segera mencium tangan sang mertua lalu menyusul Ambar.

Dengan setengah berlari, Hadi akhirnya bisa mensejajarkan diri di samping Ambar.

“Mah, ada apa sebenarnya?” tanya Hadi dengan napas terengah-engah.

“Nanti juga tau, saat di kantor polisi,” jawab Ambar datar tanpa ekspresi tak seperti tadi penuh emosi.

“Kenapa ke kantor polisi? Brian kenapa, sih?” Pertanyaan Hadi tak dijawab oleh Ambar sampai mereka di sebelah mobil.

Ambar baru tersadar bahwa kunci kontak ada dalam genggaman Hadi. Wanita muda pun ini segera naik saat sang suami membuka pintu kursi pengemudi.

“Biar aku yang nyetir,” kata Ambar sembari merebut kunci mobil dari tangan Hadi.

Pria berkaca mata minus ini sempat terkejut lalu segera berjalan memutar lekas membuka pintu dan duduk di sebelah Ambar. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara mereka.

Keduanya sedang asik dengan pikiran masing-masing. Ekor mata Hadi sesekali melirik wanita sebelahnya, saat tiba-tiba mengerem mendadak dan membunyikan klakson. Pikiran Ambar yang sedang kacau membuat emosinya mudah terpancing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status