“A-pa maksud Dokter ... pelecehan seksual lewat anal?” tanya Ambar dengan mengusap air mata kembali dan ditanggapi dengan anggukan oleh pria di hadapannya.
Dari awal pembicaraan dokter, Ambar sudah menduga akan ke arah situ. Namun, tetap saja anggukan sang dokter membuat dada bertambah sakit menjalar sampai ke relung hati.“Saya mesti bagaimana, Dok?” tanya Ambar mirip orang linglung.“Kami akan berusaha mengobati agar sembuh dan saya sarankan Ibu mencari psikiater untuk mendampingi ananda. Maaf, selain dengan Bapak, apakah ananda akrab dengan pria dewasa lain?” tanya dokter pelan-pelan.“Pelakunya orang dewasa?”“Sebatas praduga saya dan perlu dibuktikan. Nanti Ibu bisa membuat laporan ke kantor polisi untuk menangkap pelaku sebenarnya. Ananda trauma untuk kedua kalinya. Semoga semakin kuat mentalnya,” ucap pria berjas putih tersebut berusaha memberi support ke Ambar.“Iya, Dok. Rasa kehilangan kemarin barusan sembuh,” balas Ambar dengan nada sedih.“Apakah dia mengalami gangguan makan kayak dulu?”“Kayaknya, Dok. Saya enggak tau pasti karena baru kemarin pulang dinas dari luar kota.”“Kalo perlu, hal ini akan saya tanyakan kepada Pak Hadi. Mungkin beliau yang tau keseharian ananda, selama tak ada Ibu.”“Gak perlu, Dok. Biar saya yang ngomong ke suami. Saya akan bikin laporan ke polisi dulu. Terima kasih atas penjelasannya. Permisi,” ucap Ambar dengan mata memerah yang sesekali buliran bening masih menetes.“Silakan, Bu Ambar. Saya turut prihatin dengan kejadian ini. Sabar dan ikhlas. Semoga Tuhan segera memberi jalan,” balas dokter sembari mengiringi langkah Ambar lalu membantu membukakan pintu untuk wanita yang tampak terpuruk tersebut.Ambar mengangguk sebelum berlalu dari hadapan dokter. Wanita ini beberapa kali mendongak untuk menahan laju air mata. Meski beberapa lembar tisu telah terbuang, tetapi buliran bening yang keluar seolah tak mau surut.Ya Tuhan! Harus bagaimana lagi menjalani ini semua? Tanyanya dalam hati.Akhirnya langkah kaki Ambar harus mampir ke toilet karena tak ingin jadi tontonan pengunjung yang lain. Dia hancur bagai tembok kena hantam badai tsunami dan masih bernyawa. Kehancuran tersebut terasa meluluh lantakkan persendian dan organ dalam tubuhnya.Otak dan pikiran sempat nge-blank sesaat, untung Ambar segera tersadar. Dia tak boleh goyah karena ada sang anak yang harus diangkat tubuhnya dari kubangan lumpur. Ya, dia harus menyingkirkan lumpur tersebut hingga tubuh Brian kembali bersih dan suci seperti saat dia dilahirkan.Setelah membasuh muka, Ambar segera keluar dari toilet. Dia harus menyakinkan diri bahwa akan mampu melewatinya. Sekarang hal pertama yang harus dilakukan adalah menghubungi sang ibu lalu pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sebuah ponsel dikeluarkan dari dalam tas lalu dia melakukan panggilan.“Ibu sedang di jalan mau ke rumah kamu. Bentar lagi nyampe. Kangen banget sama jagoan,” ucap seseorang dari ujung telepon.Begitu mendengar suara sang ibu, Ambar hanya mampu menjawab dengan isak tangis.“Ambar ada apa? Loh ini ... rumah kamu sepi. Ke mana kalian?” tanya Bu Retno—sang ibu--yang baru saja turun dari taksi tepat di depan gerbang rumah.Beberapa saat kemudian terdapat pemberitahuan sebuah pesan telah diterima. Bu Retno segera mengakhiri hubungan telepon lalu membaca pesan dari Ambar.Sementara itu, Ambar bergegas menuju tempat Brian. Saat ini, dia hanya ingin memeluk putra semata wayangnya dengan sangat erat. Beribu penyesalan mendera dalam dada. Sesampai di hadapan sang jagoan yang belum sadarkan diri, kedua tangannya mengusap lembut kedua pipi gembul yang mulai menyusut.Bocah tampan yang selalu jadi penyemangat dirinya untuk tak punya rasa capek dalam mencari uang. Semua dia lakukan demi memenuhi keinginan sang buah hati. Dia berharap bisa membuat sang putra bahagia dengan membeli segala hal yang terbaik.Namun, nyatanya sang putra telah hancur di saat tak bersamanya. Setan berwujud manusia telah merusak mutiara yang selalu dijaganya agar tak sampai meneteskan air mata.“Sayang, bagaimana Mama menyembuhkanmu kembali? Andai Tuhan mengizinkan, tubuhmu Mama telan agar tetap terjaga dalam perut,” ucap Ambar sembari berderai air mata.Hadi yang melihat perilaku sang istri dan merasa ganjil segera mendekat lalu mengelus rambutnya lembut.“Mah, ada apa dengan anak kita?” tanya pria berprofesi guru ini sambil berbisik.“I-ni anakku! Bu-kan anak kita!” ucap Ambar lirih, tetapi cukup keras menampar pendengaran Hadi.Pria berpostur tinggi ini mencoba memahami keadaan sang istri yang sedang kalut. Dia paham rasa keibuan membuat Ambar yang dalam keseharian lembut hati menjadi emosi seperti barusan.“Sabar ya, Mah. Kita beri pengobatan terbaik agar Brian segera sembuh,” kata Hadi pelan-pelan sembari menatap wajah sang putra sambung yang mulai membaik setelah mendapat infus.Saat datang ke UGD, wajah Brian pucat pasi bagai kapas dengan suhu tubuh tinggi. Sesaat setelah perawat memasang infus lalu Hadi sempat meraba dahi dan telapak kaki sang putra terasa mulai menurun suhunya.Tak beberapa lama tampak Bu Retno mendatangi mereka. Nenek Brian yang masih bugar di usia 70 tahun melempar senyum ke arah menantunya. Hadi segera menjabat lalu mencium tangan wanita tua ini.“Spidermanku sakit apa?” tanya Bu Retno yang membuat Ambar menoleh lalu mencium tangannya.“Yang tau mamanya. Dia tadi berkonsultasi dengan dokter,” jawab Hadi dengan tersenyum menampakkan ceruk kecil di kedua pipinya.“Nanti aku cerita, Bu. Tolong jaga Brian, ya. Ambar ada urusan sebentar,” jelas Ambar yang bangkit dari sisi sang putra lalu bersiap akan pergi.“Mau ke mana, Mah?” tanya Hadi yang mulai terlihat cemas.Ambar tak menjawab pertanyaan Hadi. Wanita ini bahkan telah melangkah pergi keluar dari UGD.“Segera susul dia,” saran Bu Retno kepada menantunya.“Baik, Bu. Saya permisi dulu. Titip Brian, Bu,” balas Hadi yang segera mencium tangan sang mertua lalu menyusul Ambar.Dengan setengah berlari, Hadi akhirnya bisa mensejajarkan diri di samping Ambar.“Mah, ada apa sebenarnya?” tanya Hadi dengan napas terengah-engah.“Nanti juga tau, saat di kantor polisi,” jawab Ambar datar tanpa ekspresi tak seperti tadi penuh emosi.“Kenapa ke kantor polisi? Brian kenapa, sih?” Pertanyaan Hadi tak dijawab oleh Ambar sampai mereka di sebelah mobil.Ambar baru tersadar bahwa kunci kontak ada dalam genggaman Hadi. Wanita muda pun ini segera naik saat sang suami membuka pintu kursi pengemudi.“Biar aku yang nyetir,” kata Ambar sembari merebut kunci mobil dari tangan Hadi.Pria berkaca mata minus ini sempat terkejut lalu segera berjalan memutar lekas membuka pintu dan duduk di sebelah Ambar. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara mereka.Keduanya sedang asik dengan pikiran masing-masing. Ekor mata Hadi sesekali melirik wanita sebelahnya, saat tiba-tiba mengerem mendadak dan membunyikan klakson. Pikiran Ambar yang sedang kacau membuat emosinya mudah terpancing.Keduanya sedang asik dengan pikiran masing-masing. Ekor mata Hadi melirik wanita di sebelahnya, sering kali Ambar mengerem mendadak dan membunyikan klakson lalu mengomel kesal.Pikiran Ambar yang sedang kacau membuat emosinya mudah terpancing. Hadi hanya bisa mengelus dada melihat perilaku sang istri yang berubah dratis.“Mah, biar Papa yang nyetir. Tenangin hati Mama dulu,” ucap Hadi selembut mungkin agar emosi Ambar bisa segera stabil dan mau menyerahkan kemudi padanya.“Diem aja. Entar kasih keterangan ke polisi sebanyak-banyaknya. Bikin alibi palsu atau ada saksi bayaran? Bedebah!” teriak Ambar sembari memukul kemudi.Wanita ini tampak emosi dan Hadi masih bersabar menghadapinya. Pria berkaca mata tersebut hanya diam menunggu sampai emosi sang istri reda. Di saat pasutri ini sedang tegang, tiba-tiba ponsel Hadi berbunyi.Pria ini segera merogoh benda tersebut dari saku celana dan tanpa melihat nama si penelepon langsung menjawab panggilan.“Lagi di jalan, belum bisa terima telepon
“Saya ke kantin, Bu. Kalo ada apa-apa dengan Brian, tolong telepon saya.”Bu Retno mengangguk mendengar omongan menantunya. Hadi berpamitan lalu mencium tangan mertuanya. Wanita tua ini memandang kepergian sang menantu dengan perasaan sedih.Langkah kaki wanita tua ini memutar arah masuk kembali ke ruang perawatan. Tampak di dekat ranjang, Ambar mengelus wajah anak semata wayangnya. Sesekali bulir bening menetes membasahi pipi hingga kulit Brian. Namun, dia buru-buru menyekanya dengan tisu. Dia tak ingin sang jagoan mengetahui keterpurukannya.Anaknya sudah teramat terluka dan itu pasti menghancurkan psikis. Ambar pun seketika teringat seorang teman yang tahun lalu mendampingi Brian hingga lepas dari rasa depresi. Dia mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kontak sang teman. Ambar bangkit dari kursi lalu berjalan keluar ruangan.Sementara itu, Bu Retno berjalan menghampiri Ambar dan menepuk bahu putrinya beberapa kali lalu mendekati ranjang cucunya. Sesampai di luar ruangan, Ambar men
“Jagoan Mama udah bangun. Setelah ini kita liburan, ya. Tante Mita juga ikut, loh,” ucap lembut Ambar sembari memegang tangan Brian. “Brian mau pup tapi takut,” ucap bocah berkulit bersih ini sembari memegang pangkal paha.“Gak usah takut, Sayang. Udah ada obat di infus. Lukanya mulai mengering. Mama juga dapat obat semprot dari dokter barusan. Yuk, Mama antar,” bujuk Ambar dengan menahan sekuat mungkin air mata yang mulai ingin keluar.Ambar tak ingin terlihat sedih di mata putra kesayangannya. Kedua tangannya membantu bocah bongsor untuk berdiri. Ambar mengamati diam-diam cara berjalan putra kesayangannya. Tampak jelas perbedaannya kini, Brian berjalan mulai normal kembali, meski sesekali, bibir bawah digigit seperti menahan sakit.Ah, Nak. Mama enggak akan dinas ke luar kota lagi, batinAmbar menjerit.Wanita ini menahan sesak di dada, hingga tiap air yang keluar dari pelupuk mata, buru-buru diusapnya. Dia harus terlihat tegar di depan anaknya.“Mama perlu ikut masuk?” tanya Ambar
Mita dan Bu Retno mengangguk ke arah Ambar dan segera direspon dengan sebuah dobrakan keras ke arah pintu oleh si kaki jenjang.Namun, tak membuahkan hasil. Bahan daun pintu yang tebal tak goyah sedikit pun oleh tenaga Ambar.“Biar Papa aja, Mah,” ucap Hadi yang muncul tiba-tiba lalu mendobrak pintu sekuat tenaga dan pintu pun terbuka.Dalam toilet, bocah bongsor sedang duduk di lantai sambil bersandar di dinding dengan kaki tertekuk. Kepala tertunduk di atas dua lutut dan kedua lengan memegang erat kakinya. Tubuh Brian menggigil, meski tak terdengar isak tangis.Ambar segera menghambur ke arah sang putra lalu segera membopong keluar. Hadi yang hendak mendekati mereka, dengan cekatan dicegah oleh Mita.“Maaf, Bang. Tolong biarkan mereka berdua dulu,” ucap Mita pelan sembari tersenyum.“Kamu tau apa? Aku ini papanya! Setiap hari Brian bersamaku, siang dan malam. Dia anakku, meski bukan kandung,” teriak Hadi berurai airmata.Tampak sekali pria ini terguncang jiwanya melihat keadaan sang
“Tolong diterima ini dari para guru. Mereka salut padamu dan mendukung pertobatan kamu,” ucap Sapto sembari meletakkan amplop di depan Hadi.“Ini apa? Kalian gak takut kalo kena skors gara-gara ini?”“Ngapain takut? Ini di luar jam mengajar. Lagi pula tak pake stempel sekolah. Tunjukkan bahwa kamu memang udah lurus. Lagian kenapa enggak laporkan aja, akun yang sebar berita hoaks itu?”“Dia punya foto-foto aku saat dulu. Mau gimana lagi?”“Itu foto-foto lama dan sekarang kamu udah tobat. Buktikan itu!”Akhirnya setelah sejam berbincang berdua, Sapto pamit pulang. Hadi menjadi bersemangat lagi setelah kedatangan sang teman. Pria berkaca mata minus ini menutup pintu kembali.Kemudian Hadi melangkahkan kaki menuju kamar tidur dan di salah satu dindingnya terdapat foto bertiga. Moment manis di saat mereka masih bersama. Ada Ambar, dia dan juga Brian. Mereka tampak bahagia di foto. Hal tersebut terjadi sebelum badai menerpa rumah tangga mereka. Hadi tersenyum mengenang hal tersebut.“Kalian
"Gue langsung meluncur ke rumah lu. Si Tante udah kelabakan, tuh. Brian marah-marah karena darah tambah deras,” jelas Mita dengan mimiksedih.Ambar yang mendengar cerita sang teman segera memacu mobil agar segera sampai rumah sakit. Dia membayangkan wajah sang anak yang semakin ketakutan karena hal tersebut.Akhirnya, tak sampai dua puluh menit, mobil sampai tempat parkir rumah sakit. Kedua sahabat ini langsung turun lalu dengan setengah berlari menuju ruang UGD. Saat kedua wanita ini tiba, Bu Retno berada tak jauh dari tempat Brian yang sedang diperiksa oleh dokter.“Gimana Brian, Bu?” tanya Ambar kepada sang ibu yang tampak pucat pasi dan gemetar.“Ibu, ngeri, Nduk. Darahnya keluar terus. Brian pake sarung tuh. Apa kehabisan darah jadi pingsan?”Mita hanya tersenyum mendengar pertanyaan Bu Retno yang polos.“Brian pingsan tuh karena kaget, Bu. Kita tunggu saran dokter aja. Moga aja setelah ini Brian sehat, enggak sakit-sakit lagi. Kasian dia. Berat badan turun dratis. Tampak kurus b
“Bu, kemarin saat Brian sakit, sempat fotoin kantin, kan?”tanya Ambar kepada Bu Retno.“Iya, sih. Emang kenapa?”“Boleh kasih liat hasil jepretan Tante?” tanya Mita yang tak sabaran.Bu Retno segera mengambil ponsel dari dalam tas lalu membuka menu dan mulai mengamati foto-foto di galeri. Setelah ketemu file khusus fotodi kantin dengan segera ponsel diserahkan kepada Ambar. Wanita yang hobi berkuncir kuda ini pun meneliti foto demi foto dan akhirnya ketemu yang dicari.“Bu, tolong liatin! Bukankah dua orang pria ini yang Ibu ceritain kemarin?” tanya Ambar sembari menyodorkan layar ponsel dan Mita segera mendekat.Bu Retno menatap layar dan mengamati dua sosok wajah yang terpampang.“Iya, bener ini. Baju motif bunga sepatu dan kaos biru. Mereka kenal Hadi dan Brian. Yang ini,” ucap Bu Retno sembari menunjuk pria berbaju motif bunga sepatu lalu melanjutkan, “dia bilang yang nularin penyakit ke cucuku. Tega bener, orang biadab.”Bu Retno tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wanita tua m
“Bu, maaf. Mau tanya sebentar. Benar mereka pernah ke sini?”tanya Mita seraya menyodorkan sebuah foto di ponsel.”Sesaat penjaga kantin mengamati foto tersebut lalu berkata,“Oh, iya. Mereka pernah ke sini. Ada apa, ya?”“Enggak papa. Kebetulan saya lagi cari teman saya ini.Terima kasih, Bu,” ucap Mita yang hendak beranjak pergi, tetapi terhenti karena omongan penjaga kantin.“Dari sebulan yang lalu, polisi juga nyariin mereka.Terutama laki berbaju bunga sepatu.”Mita akhirnya menatap ke penjaga warung dengan mimik heran.“Oh ya? Mereka tanya apa aja, Bu?”“Tanya, apa mereka sering kemari lalu apa saya mendengar pembicaraan mereka. Itu aja, sih. Selebihnya motoin kantin dan sekitarnya. Emang ada pembunuhan, Bu?” tanya sang penjaga yang tampak semakin penasaran.“Entah, ya. Ibu kok gak tanya polisinya?”“Saya udah tanya. Bapak polisi bilang masih penyelidikan, gak boleh bocor,” jawab penjaga kantin kemudian.“Berarti kasus serius. Dirahasiakan agar pelaku gak keburu kabur, Bu. Oh, ya, sa