Mereka menikmati sensasi rasa desiran pintu surga dunia beberapa saat dan dipaksa berhenti oleh dering ponsel Sapto. Pria ini lalu mengecup kening Ambar lembut lalu berbisik lirih di telinganya. “I love you. I”ll be there for you.”“I love you too,” balas Ambar sambil mendongak menatap kedua mata teduh di hadapannya. Sapto pun tersenyum manis lalu melihat nama yang tertera di layar dan mengangkatnya. “Selamat siang,” salam Sapto kepada seseorang di seberang telepon.“Selamat siang, Pak Sapto. Semua berkas kematian telah siap untuk ditandatangani,” balas sang penelepon. Seketika Sapto menoleh ke arah Ambar lalu menjawab,”Terima kasih, Pak. Saya segera akan mengurusnya. Selamat siang. Hubungan telepon berakhir dan Sapto menaruh ponsel kembali ke atas meja.Pria ini menatap lekat ke arah Ambar lalu tersenyum tipis. Dia hanya berpikir, bagaimana bisa menangani pemakaman jenazah Eksanti, sedangkan dirinya sendiri masih dibantu kursi roda. Dia hanya memikirkan akan memberi kabar ke orang tu
Ambar segera berkata lirih ke sang sahabat. “Sab, lu liat orang tua Bang Sapto. Kayak curiga ke gua gitu, ya.” Perkataan Ambar langsung ditimpali oleh Sabrina. “Gimana gak curiga. Lu masih di kursi roda, bela-belain urusin jenazah dan juga tuh, mata gebetan lu, meleng dimari mulu. Ada yang bisa jelasin pandangan gua?” tanya Sabrina sembari tersenyum tipis yang langsung kena cubit kecil oleh Ambar.Prosesi pemakaman berlangsung hikmat dan lancar sampai selesai. Seluruh kerabat dan handai tolan telah meninggalkan area pemakaman. Kini, tinggal Sapto sekeluarga dan Ambar serta Sabrina yang tertinggal. Sapto menghampiri Ambar, sesaat akan kembali ke rumah sakit. Sabrina sengaja berpamitan menunggu di mobil untuk memberi kesempatan kedua insan untuk berbicara.“Terima kasih, Sayang. Entar di rumah sakit, orang tua Abang mau ngajakin kita ngobrol,” kata Sapto sambil memegang tangan Ambar yang telah berdiri tanpa kursi roda. Ambar sengaja meminta ke Sabrina untuk membawa benda tersebut ke da
“Kok bisa Brian ke kantin sendirian? Ibu ke mana?” tanya Ambar yang semakin yakin, ada sesuatu di kantin yang membuat Brian tak terkendali emosinya.“Maafkan, Ibu sedang menerima telepon waktu Brian pamit pengen beli roti. Barusan ada pesanan katering,” jawab Bu Retno yang akhirnya sadar bahwa Brian tantrum¹ karena ada pemicunya dan itu ada di kantin.“Sab, tolong ikut jaga Brian, ya. Gua mau ke kantin,” ucap Ambar yang langsung memutar arah kursi rodanya untuk keluar ruangan. Wanita ini merasa gerakannya jadi terbatas oleh kursi roda, lagipula dia sudah cukup kuat untuk berjalan tanpa mempergunakannya lagi. Aku gak boleh manja. Banyak yang harus aku lakukan, batin Ambar sambil bangkit lalu berjalan keluar kamar tanpa kursi roda. Perilaku Ambar diamati oleh Bu Retno dan Sabrina dengan kekaguman. Mereka melihatnya sebagai tindakan yang hebat.Namun, Sabrina yang punya rasa empati yang tinggi, merasa perlu untuk menjaganya dari jauh. Wanita bermata sipit ini mendekat ke arah Bu Retno.
Dalam hati Ambar berkecambuk tentang roti cokelat pemberian Bu Mirna. Dia berpikir tentang hubungan antara Besti dengan Bu Mirna. Terpikir oleh Ambar juga, siapa yang menelepon ibunya. Ada rasa heran dalam hati Ambar, dari mana Besti tahu kalau yang dibicarakan dengan Brian bisa membuat sang bocah badmood. Ada tanda tanya dalam otaknya, siapa yang menyuruh bestie? Kenapa Bu Mirna menitipkan roti cokelat di kantin? Mengapa nggak samperin langsung ke kamar? Padahal Bu Mirna adalah partner bisnis ibunya.Ambar akan mencari tahu semuanya. Semua masalah berurutan secara sistematis seperti sudah diperhitungkan secara matang. Ambar melangkah melewati taman dan dihadang oleh Sabrina, membuat wanita berkaki jenjang ini kaget."Ya, ampun, Sab! Sejak kapan di sini?" tanya Ambar dengan wajah pias karena sempat syok terapi barusan.Sabrina yang merasa bersalah, segera memeluk sahabatnya. Wanita bermata sipit ini lalu berbisik,"Lu dicari Sapto sama ortunya."Seketika Ambar kaget mendengar ucapan S
Tampak beberapa pembezuk telah bertemu para narapidana dan asik bercengkerama. Tiba-tiba ada seorang sipir penjara menghampiri keduanya lalu berucap,”Maaf, Bu. Pak Hadi sedang dalam perawatan karena ambeien. Bisa jadi harus dilakukan tindakan pembedahan. Ada unsur rudapaksa terhadap Pak Hadi yang dilakukan oleh salah satu penghuni sel penjara.”“Kasus apalagi ini?” tanya Ambar setengah berteriak karena histeris. Dia harus tahu di mana Hadi dirawat, meski tak tersakiti. Namun, bagaimanapun, Ambar tak rela Hadi dipecundangi seperti mainan dan pelaku harus dapat hukuman setimpal. Mengerikan!“Kita pulang, Bar,” ajak Sabrina, tetapi tak dihiraukan oleh Ambar. Wanita berkaki jenjang ini setengah berlari mengejar sipir. “Pak, tunggu!” teriak Ambar yang menghentikan langkah kaki petugas tersebut. “Dirawat di mana?”Pria berseragam ini pun segera menoleh lalu menjawab, ”Rumah sakit umum, Bu. Kalo mau menjenguk, bisa minta surat pengantar dari sini. Asal Ibu masih kerabat dekat narapidana.”Am
“Aaach ... Sayaaaang!” jerit lirih Mita yang kini semakin mendesah panjang. Kedua tangannya meremas kuat rambut Hadi.“Aku buat agar tak sakit lagi, Sayang,” ucap Hadi yang semakin ganas. Mereka berpacu dalam irama jantung dengan peluh bercucuran.Bilik UGDHadi tersadar dari lamunannya. Aku pikir kemarin, meski dalam keadaan setengah sadar dan tak ada unsur paksaan, tetap harus bertanggung jawab kepada Mita. Karena aku yang telah merenggut kesuciannya, ucap Hadi dalam hati. Pria ini sedang perang batin sekarang.Wanita yang disangka polos dan tulus karena masih suci, rupanya tak sebaik dugaannya. Mita punya banyak akal licik untuk memuluskan segala rencana dan bisa jadi, dia terjebak dalam alur cerita yang dibuat Mita.Hadi sudah terlambat untuk menyadari hal tersebut. Dia baru tahu semua tentang akal bulus Mita, saat mereka telah ditangkap karena kasus perselingkuhan. Kini, Hadi tak punya harga diri di hadapan Ambar. Apalagi sekarang, dia telah menjadi korban pelecehan oleh sesama p
“Jangan kira lu akan bisa menikmati kebahagiaan setelah dapat restu Hadi. Lu kira bangga bikin Hadi bucin. Hanya nama lu yang disebut dia, meski bercinta ama gua. Hidup lu harus hancur!” ancam seseorang dari seberang telepon dan Ambar bisa memastikan kalau dia adalah Mita. Hubungan telepon seketika terputus. Saat Ambar menghubungi kembali, sudah tak bisa. Ambar memasukkan ponsel kembali ke saku.Kok aneh? Mita bisa telepon gua. Pake ponsel siapa? Kaga bener ini. Dia dendam banget sama gua karena ulah Bokap Nyokap. Gua harus cari kebenarannya, ucap Ambar dalam hati lalu beranjak kembali akan masuk ruangan dengan terlebih dahulu menyapa kedua polisi yang berjaga depan pintu. Wanita berkaki jenjang ini mengamati kedua petugas sekilas lalu melangkah masuk. Satu di antara mereka ada yang menjadi mata-mata Mita. Harus waspada, batin Ambar.Ketiga orang dalam ruangan seketika menghentikan pembicaraan saat Ambar masuk. Mereka merasa heran dengan tingkah laku wanita berkuncir kuda tersebut. Am
Sapto ini meringis sebentar, merasakan sensasi nikmat yang baru pertama kali dirasakannya. Beberapa saat berhenti lalu dia berbisik,”Sabar, Sayang. Bimbing aku, ya.” Ambar pun segera mengecup lembut leher prianya hingga meninggalkan kesan di sana. “Kau milikku,” ucap Ambar sembari menggoyangkan pinggul mengikuti gerakan Sapto.Sang pria yang sudah berada di puncak gairah segera mempercepat gerakan dan akhirnya lemas. “Terima kasih, Sayang,” ucapnya terengah-engah lalu tersenyum. “Aku belum, Honey,” balas Ambar sendu. Sapto cukup pengertian lalu memulai lagi kerja kerasnya hingga Ambar mencengkeram rambutnya kuat-kuat.Petualangan liar keduanya telah berakhir dan mereka segera membersihkan sisanya dari tubuh masing-masing. Sapto keluar toilet terlebih dulu, lima menit kemudian baru disusul oleh Ambar. Saat Ambar keluar dari kamar mandi telah ada Bu Retno yang telah menunggu. “Bagaimana keadaan kamu, Bar?” tanya sang ibu yang memandang dengan cemas.“Aku sehat. Emang ada apa, Bu?” Ambar