“Brian ikut.” Bocah ini berlari masuk kamar lalu keluar dengan memakai hoddy.Ketiga orang dewasa terkejut dengan perilaku Brian. Mereka heran, karena sejak awal kasus bergulir bocah ini trauma. Jangankan ikut ke kantor polisi seperti yang akan dilakukan sekarang, bahkan bertemu dengan polisi atau lebih tepatnya pria, dia histeris. Namun, kini ... lain dan ganjil. Mencengangkan!“Brian di rumah sama Nenek. Belum boleh bepergiaan jauh sama dokter. Besok kalo udah sembuh, boleh ke mana aja,” jelas Bu Retno sembari merangkul bocah berkulit bersih ini.Namun tampaknya, Brian tak mau ditinggal oleh Sapto. Tangan kanan bocah ini memegang erat lengan Sapto. Hal tersebut membuat Ambar tak enak hati dengan pria jangkung tersebut. Bu Retno mencoba membujuk dengan jus mangga kesukaannya pun, tak digubris.“Teacher gak mau Brian bertambah sakit. Di luar ada Om Iksan, yang kemarin mau jahat sama Brian. Ingat?” tanya Sapto sembari jongkok menghadap sang bocah.Ambar dan Bu Retno mengamati interaksi
Ambar mengurai pelukan dengan masih terisak-isak lalu tangan mengusap air mata dengan tisu. Kepala wanita ini mendongak, seketika tangan Sapto merapikan anak rambut yang menutupi wajah wanita berhidung pesek, tetapi berparas manis ini.“Saya merasa sangat beruntung, di saat yang lain pergi karena berkhianat, Bapak ada untuk kami. Terima kasih,” ucap Ambar terbata-bata dengan sisa buliran bening yang merembes dari kedua pelupuk mata.“Terima kasih kembali, Bu. Saya memang harus bertanggung jawab soal ini,” ucap Sapto dengan nada tetap sopan. Oleh karena wajah dan perilaku antara Sapto dengan Eksanti yang berbeda jauh, Ambar tak menyangka bahwa mereka merupakan saudara kandung. Sapto yang sopan dalam berperilaku dan berucap bukan saudara yang tepat bagi Eksanti yang serampangan, itu menurut pandangan Ambar.Wanita yang kini dengan rambut tergerai di bawah pundak, sempat Sapto tertegun sesaat memandang paras cantiknya, sesaat merenung. Ambar memikirkan semua, tentang segala kemungkinan
“Benar-benar laknat! Dia suruh temannya buat teror kamu sekeluarga. Gak ada nurani mereka. Makhluk tak berakal. Simpan buat bukti laporan,” kata Sapto sambil mengelus rambut Ambar.Mereka berjalan ke tempat parkir lalu masuk mobil dan segera pergi menuju pulang. Sepanjang jalan, Ambar tak berkata apa pun. Wanita ini jadi syok kembali dengan pesan yang diterimanya. Hanya helaan napas yang didengar oleh Sapto.“Tenangin diri! Gak usah mikir terlampau jauh. Kita hadapi bersama. Mereka yang jahat, harus bertanggung jawab,” ucap Sapto sambil mata awas melihat spion karena mobil akan belok.“Ada berapa orang mereka semua? Otak mereka pada miring. Dipikir udah bener kelakuan biadab kayak gini,” ungkap Ambar dengan nada kesal.Sapto hanya tersenyum mendengar perkataan Ambar. Kini mobil tinggal beberapa meter lagi mengarah ke rumah Ambar dan Sapto menghentikan mobil di pinggir jalan. Wanita yang berada di sampingnya jadi merasa heran.“Dek, katakan padaku! Hukuman macam apa yang pantas untuk I
Kaca jendela pecah dan hancur. Serpihan-serpihannya berantakan seketika jatuh memenuhi halaman. Baik Ambar maupun Sapto tercengang melihat hal dramatis barusan.“Briaaaan!” Terdengar teriakan Bu Retno dari lantai atas.Sapto yang tak sabaran segera membopong tubuh Ambar lalu bergegas masuk rumah. Mereka panik dan sedih melihat perilaku Brian yang temperamen. Sapto menaruh tubuh Ambar di sofa ruang tamu, sementara dirinya langsung berlari menaiki tangga.Begitu sampai lantai atas, Sapto melihat Bu Retno sedang menenangkan Brian yang tantrum. Bu Retno kewalahan dengan perlawanan bocah bongsor ini. Beberapa kali wanita ini hampir jatuh, beruntung bisa berpegangan pada kursi.“Brian! Tenang, Nak.” Sapto berusaha membujuk dengan mendekat pelan-pelan.Seketika Bu Retno menoleh lalu tersenyum. Sedang Brian masih tak menyadari kehadiran guru kesayangannya. Namun, bocah ini sudah mulai melemah tenaganya. Dia lalu duduk di lantai sambil memegang kedua lutut. Bu Retno ikut berjongkok karenanya.
Begitu mendengar perkataan Sapto, sang bocah berdiri lalu segera berlari menuju tangga dan menuruninya. Sapto berjalan santai mengikuti. Tak disangka sesampai di bawah, Brian mendapati Ambar dan Bu Teti sedang diikat di bawah ancaman senjata tajam oleh empat orang wanita.Sang bocah berbalik arah lalu memberi kode ke arah Sapto dengan telapak tangan melintang depan leher, seperti gerakan menggorok. Sapto segera mengajak Brian menuju kamar paling terluar. Dari jendela kamar mereka bisa melihat teras dan halaman rumah. Ada sebuah mobil terparkir dekat mobil Sapto. Pria ini segera memotretnya lalu mengirimkan kepada polisi.“Teacher, ada tangga menuju samping rumah,” ucap Brian sembari melangkah ke arah toilet.Sapto mengikuti langkah Brian ke arah pintu di sebelah toilet. Rupanya, di balik pintu terdapat tangga. Brian dengan langkah buru-buru menuruninya dan diikuti oleh Sapto. Bocah usia 11 tahun ini dengan setengah berlari menuju sebuah panel yang berada di samping teras. Brian meneka
“Abang kenapa tak cegah Brian? Kenapaaaa??” Ambar berteriak histeris sambil memukul dada Sapto.“Tenang, dalam pengejaran polisi! Abang tadi sedang ikat para pelaku, dia keburu lari. Abang minta maaf,” jelas Sapto sambil memegang tangan Ambar. Buliran bening menetes dari pelupuk mata wanita berkuncir kuda ini. Hatinya bingung. Tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi semua.Akhirnya, Ambar bisa segera mengatasi emosi. Beberapa kali, wanita ini menarik napas untuk melegakan rasa sesak di dada. Sapto merangkulnya serta memberi semangat. Perilaku keduanya tak luput dari pandangan Bu Retno. Wanita tua ini tampak keheranan melihat keduanya.Sementara itu, mereka kini telah siap di dalam mobil untuk mengejar penculik Brian. Tiba-tiba ponsel Ambar berdering, dia pun segera mengambil dari dalam tas. Tampak nomor kontak tak dikenal. Wanita ini menyodorkan layar ponsel ke arah Sapto dan pria ini menyuruhnya untuk menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.” Suara Ambar terdengar ragu-ragu lalu m
Beruntung, ada bilik kosong di sebelah tempat Ambar dirawat. Jadi ibu dan anak bisa tidur berdampingan. Sapto ikut masuk bilik tempat Brian diperiksa. Pria ini mengelus pipi sang bocah.“Brian, bangun, Boy!” Hanya ada tarikan napas yang halus terdengar dari indra penciuman sang bocah.Sapto memandangi anak ini sambil berpikir bahwa sang bocah dan ibunya adalah dua orang yang teruji. Pria ini berjanji pada diri sendiri, akan membantu semaksimal mungkin. Baru saja, Sapto memikirkan solusi untuk kemelut anak beranak tersebut, ponsel di kantung celana bergetar.Sengaja nada dering disilent, begitu masuk tempat parkir barusan. Tertera nomor kontak penyidik. Tentu saja, Sapto merasa keheranan.Ada apa penyidiknya?Mungkinkah dia diminta datang untuk memberi keterangan?Gimana Ambar dan Brian?Demi memenuhi rasa penasarannya, Sapto pun segera menjawab telepon.Selamat sore.” “Selamat sore, Pak Sapto. Mohon Bapak berkenan hadir ke kantor segera. Sekitar sejam yang lalu saudara Chris meningga
“Mohon kesediaan Pak Sapto jika diminta datang kembali untuk kelancaran proses penyidikan,” ucap penyidik sambil menjabat tangan Sapto.“Saya siap untuk dipanggil kembali jika diperlukan. Selamat siang,” balas Sapto mempererat jabat tangan lalu bergantian menjabat tangan penyidik yang lain.Sapto meninggalkan ruang pemeriksaan, tetapi dia teringat akan sesuatu. Kemudian pria berpenampilan perlente tersebut balik badan dan mengetuk pintu.“Maaf, proses forensik atas jenazah Chris kapan selesai, Pak?” tanya Sapto sesaat memasuki ruangan kembali.“Dalam minggu ini, sudah keluar hasilnya. Ada apa, Pak?” tanya salah satu petugas kepada Sapto.“Saya minta izin agar bisa memakamkan jenazah secara layak.”“Kalo itu, besok pun sudah bisa dimakamkan. Tapi, kalo ingin tahu hasil forensik, maksimal dalam seminggu ini sudah ada. Maaf, Pak Sapto. Almarhum tak punya keluarga? Alangkah baiknya kita memberitahu pihak keluarga dulu,” jelas penyidik lagi.“Saya mengenal almarhum sejak pindah ke sini. Se
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu