Kaca jendela pecah dan hancur. Serpihan-serpihannya berantakan seketika jatuh memenuhi halaman. Baik Ambar maupun Sapto tercengang melihat hal dramatis barusan.“Briaaaan!” Terdengar teriakan Bu Retno dari lantai atas.Sapto yang tak sabaran segera membopong tubuh Ambar lalu bergegas masuk rumah. Mereka panik dan sedih melihat perilaku Brian yang temperamen. Sapto menaruh tubuh Ambar di sofa ruang tamu, sementara dirinya langsung berlari menaiki tangga.Begitu sampai lantai atas, Sapto melihat Bu Retno sedang menenangkan Brian yang tantrum. Bu Retno kewalahan dengan perlawanan bocah bongsor ini. Beberapa kali wanita ini hampir jatuh, beruntung bisa berpegangan pada kursi.“Brian! Tenang, Nak.” Sapto berusaha membujuk dengan mendekat pelan-pelan.Seketika Bu Retno menoleh lalu tersenyum. Sedang Brian masih tak menyadari kehadiran guru kesayangannya. Namun, bocah ini sudah mulai melemah tenaganya. Dia lalu duduk di lantai sambil memegang kedua lutut. Bu Retno ikut berjongkok karenanya.
Begitu mendengar perkataan Sapto, sang bocah berdiri lalu segera berlari menuju tangga dan menuruninya. Sapto berjalan santai mengikuti. Tak disangka sesampai di bawah, Brian mendapati Ambar dan Bu Teti sedang diikat di bawah ancaman senjata tajam oleh empat orang wanita.Sang bocah berbalik arah lalu memberi kode ke arah Sapto dengan telapak tangan melintang depan leher, seperti gerakan menggorok. Sapto segera mengajak Brian menuju kamar paling terluar. Dari jendela kamar mereka bisa melihat teras dan halaman rumah. Ada sebuah mobil terparkir dekat mobil Sapto. Pria ini segera memotretnya lalu mengirimkan kepada polisi.“Teacher, ada tangga menuju samping rumah,” ucap Brian sembari melangkah ke arah toilet.Sapto mengikuti langkah Brian ke arah pintu di sebelah toilet. Rupanya, di balik pintu terdapat tangga. Brian dengan langkah buru-buru menuruninya dan diikuti oleh Sapto. Bocah usia 11 tahun ini dengan setengah berlari menuju sebuah panel yang berada di samping teras. Brian meneka
“Abang kenapa tak cegah Brian? Kenapaaaa??” Ambar berteriak histeris sambil memukul dada Sapto.“Tenang, dalam pengejaran polisi! Abang tadi sedang ikat para pelaku, dia keburu lari. Abang minta maaf,” jelas Sapto sambil memegang tangan Ambar. Buliran bening menetes dari pelupuk mata wanita berkuncir kuda ini. Hatinya bingung. Tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi semua.Akhirnya, Ambar bisa segera mengatasi emosi. Beberapa kali, wanita ini menarik napas untuk melegakan rasa sesak di dada. Sapto merangkulnya serta memberi semangat. Perilaku keduanya tak luput dari pandangan Bu Retno. Wanita tua ini tampak keheranan melihat keduanya.Sementara itu, mereka kini telah siap di dalam mobil untuk mengejar penculik Brian. Tiba-tiba ponsel Ambar berdering, dia pun segera mengambil dari dalam tas. Tampak nomor kontak tak dikenal. Wanita ini menyodorkan layar ponsel ke arah Sapto dan pria ini menyuruhnya untuk menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.” Suara Ambar terdengar ragu-ragu lalu m
Beruntung, ada bilik kosong di sebelah tempat Ambar dirawat. Jadi ibu dan anak bisa tidur berdampingan. Sapto ikut masuk bilik tempat Brian diperiksa. Pria ini mengelus pipi sang bocah.“Brian, bangun, Boy!” Hanya ada tarikan napas yang halus terdengar dari indra penciuman sang bocah.Sapto memandangi anak ini sambil berpikir bahwa sang bocah dan ibunya adalah dua orang yang teruji. Pria ini berjanji pada diri sendiri, akan membantu semaksimal mungkin. Baru saja, Sapto memikirkan solusi untuk kemelut anak beranak tersebut, ponsel di kantung celana bergetar.Sengaja nada dering disilent, begitu masuk tempat parkir barusan. Tertera nomor kontak penyidik. Tentu saja, Sapto merasa keheranan.Ada apa penyidiknya?Mungkinkah dia diminta datang untuk memberi keterangan?Gimana Ambar dan Brian?Demi memenuhi rasa penasarannya, Sapto pun segera menjawab telepon.Selamat sore.” “Selamat sore, Pak Sapto. Mohon Bapak berkenan hadir ke kantor segera. Sekitar sejam yang lalu saudara Chris meningga
“Mohon kesediaan Pak Sapto jika diminta datang kembali untuk kelancaran proses penyidikan,” ucap penyidik sambil menjabat tangan Sapto.“Saya siap untuk dipanggil kembali jika diperlukan. Selamat siang,” balas Sapto mempererat jabat tangan lalu bergantian menjabat tangan penyidik yang lain.Sapto meninggalkan ruang pemeriksaan, tetapi dia teringat akan sesuatu. Kemudian pria berpenampilan perlente tersebut balik badan dan mengetuk pintu.“Maaf, proses forensik atas jenazah Chris kapan selesai, Pak?” tanya Sapto sesaat memasuki ruangan kembali.“Dalam minggu ini, sudah keluar hasilnya. Ada apa, Pak?” tanya salah satu petugas kepada Sapto.“Saya minta izin agar bisa memakamkan jenazah secara layak.”“Kalo itu, besok pun sudah bisa dimakamkan. Tapi, kalo ingin tahu hasil forensik, maksimal dalam seminggu ini sudah ada. Maaf, Pak Sapto. Almarhum tak punya keluarga? Alangkah baiknya kita memberitahu pihak keluarga dulu,” jelas penyidik lagi.“Saya mengenal almarhum sejak pindah ke sini. Se
“Baca noh, WA! Maen slonong boy. Kaga liat pesan masuk. Siapa yang salah, kalo gini?” tanya sang teman sambil sodorkan layar ponsel.Wanita menor pun tersenyum karena menyadari kesalahan. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dengan maksud ingin melihat pesan yang diterima. Namun, kedua mata segera melotot saat tahu ada panggilan telepon tak terjawab beberapa kali.“Gue telpon lu, sebel tauk. Pesen kaga dibaca. Telpon kaga digubris. Sakit cin ....” Transpuan berjilbab ini beberapa saat mulai memerah kedua mata.“Udeh, kaga useh mewek. Gue kaga tau, lu udah datang. Pake kerudung lagi,” balas si menor sambil mengeluarkan wadah bedak dari dalam tas. Dia pun seketika sibuk untuk memoles wajahnya kembali.“Gue dateng, belakangan, Ciiin. Untung lu pas hadap jendela. Poltak ama temennya lewat situ. Makasih, noh, ama suster. Gare-gare die, lu langsung ngacir. Lamaan dikit, aje. Noh, liatin!”tunjuk si kurus berjilbab ke arah ruang perawatan Sapto.“Serem, iih. Kita ngacir, yuks!” ajak si menor
“Yang telepon, siapa, Bang?” tanya Ambar yang sudah tak sabar dengan rasa penasarannya.“Petugas polsek,” jawab Sapto singkat dan tak memuaskan rasa keingin tahuan Ambar.“Identifikasi mayat siapa?”“Ik di rumahku,” jawab Sapto datar tanpa ekspresi rasa sedih.Ambar pun seketika kaget mendengar jawaban dari pria yang dianggap abang tersebut. Namun, wanita ini tetap belum paham, ada hubungan apa, Eksanti dengan mayat yang diidentifikasi polisi.“Maksudnya, Eksanti yang menemukan mayat? Itu mayat siapa? Ngapain bisa di ...,”Belum selesai pertanyaan dari Ambar, Sapto sudah menyahut, ”Ik mati dalam rumah.”“Whaaatt? Bang! Yang bener?” tanya Ambar yang semakin syok dengan penjelasan singkat dari Sapto barusan.“Udah, kaga perlu kaget. Pikiran tenang, dong. Gak ada peneror lagi. Harus bersyukur. Doamu terkabul. Sekarang tinggal mikirin Hadi,” ucap Sapto menggoda Ambar.Ambar tak membalas sindiran Sapto. Wanita berkaki jenjang ini, hanya memandang Sapto dengan sorot mata menyelidik. Sapto t
Kalo emang pengen bunuh diri, ngapain pake keluarin kucing dari kandang segala?Apakah kucing tersebut diberi minum juga karena korban tak tahu kalo beracun?Beberapa tanya memenuhi benak Ambar, tetapi hanya mampu menunggu jawaban dari Sapto nanti. Sedikit banyak, ada fakta yang terungkap dalam tulisan tangan mendiang adik Sapto. Ternyata kasus Brian harus berakhir dengan salah satu pelaku menemui ajal dengan cara seperti ini. Eksanti yang kasar dan sadis ternyata serapuh itu mentalnya.Semua serba abu-abu dalam benak Ambar dan sekarang dia hanya ingin semua segera pulih serta bisa menjalani hidup normal seperti sebelum kasus Brian. Tiba-tiba ada panggilan telepon dari Bu Retno. Wanita dengan kaki tertekuk di kursi roda segera mengalihkan ke fitur hubungan telepon.“Ada sesuatu dengan Brian?” tanya Ambar dengan nada panik.“Jagoan baik-baik aja. Kamu buruan balik ke kamar, ada perawat yang cariin,”ucap Bu Retno dari seberang telepon.“Baik, Bu. Ambar pamit ke Bang Sapto dulu,” balas A