Share

BAB 5. PERJODOHAN YANG GAGAL

"Pa, Papa pernah berpikir nggak sekali saja dalam hidup selama menikah dengan Mama terlintas untuk berselingkuh?" ucap Yolan tiba-tiba.

"Ada-ada saja pertanyaanmu, Lan. Emang kamu rela kalau punya orang tua yang selingkuh?" balas Wistara.

"Enggaklah, rasanya ingin ganti orang tua saja, kalau tahu orang tua kita selingkuh. Nggak tahu diri banget, 'kan, Pa?"

"Nggak mungkin papa selingkuh, Lan. Apa jadinya keluarga kita, Mama, kamu, Yoka dan Yoni anak-anak papa, kalau sebagai Imam, Papa berselingkuh?"

"Kalau Mama, apa yang terlintas dalam pikiran Mama kalau misalnya suami Mama meninggal duluan?" Yolan menembak Hananti dengan tanya.

"Kok kamu ngarep Papa meninggal duluan Lan?" protes Wistara.

"Ini, 'kan seandainya, Pa. Aku lagi tanya Mama." Yolan berkilah dan langsung bertanya lagi pada Hananti, "Apa Mama senang atau gimana, Ma? Mama pernah nggak ngebayangin kalau Papa meninggal duluan. Apa yang akan Mama lakukan? Mama akan menikah lagi atau ...."

"Kamu ini bikin pertanyaan kok aneh, Lan?"

Seketika Hananti melotot, gemetar, keringat dingin, nambah pucet.

"Ini, 'kan hanya berandai-andai, Ma."

"Berandai-andai kok kematian orang tua," cetus Hananti. "Mama, sih, berharap bisa menjadi tua bersama-sama dengan Papamu." Hananti melirik sekilas ke Suaminya lalu selingkuhannya.

"Dasar perempuan ular," desis Yolan teringat rayuan Mamanya pada Jaya untuk segera menceraikan Istrinya agar mereka bisa cepat bersatu.

"Serius Mama ngomongnya dari hati?" tekan Yolan yang masih ingat bagaimana rasa terhina dan terbakar hatinya mendapati chat mesum Hananti dan Jaya malam itu.

Yolan ingin sekali balas dendam kepada Mamanya dan Jaya meski belum tahu bagaimana caranya?

Hanya di momen ini Yolan punya kesempatan supaya Mama dan Jaya bisa merasakan sakit hati seperti yang dirasakannya.

***

Tiga waiter datang membawakan menu makanan yang banyak. Ada hot pot dengan api menyala dan panci mini tempat menyimpan sayur berkuah di atasnya.

"Maaf pesanannya agak lama karena ala carte." Waiter berbasa-basi sambil meletakkan semua makanan yang dibawa.

Yolan menggeser duduknya mendekat di samping Jaya Kumara agar Mamanya bisa berdekatan dengan Papanya. Lalu Sabda Perkasa duduk di samping Wistara.

Meja bundar berisi lima orang sudah penuh makanan di meja menjadi acara lunch yang tidak direncanakan sebelumnya.

Tak disengaja juga selingkuhan Mamanya itu bertemu dengan Papa Yolan.

Melihat api hotpot menyala di meja, membuat Yolan ingin membalas api dengan api. Otaknya berpikir.

Setidaknya memberi Jaya pelajaran jika ingin meneruskan hubungan terlarang dengan Mamanya. 

Yolan memasang muka menggemaskan.

Lalu mulai mengajak doa bersama sebelum makan diiringi tatapan aneh dari Jaya dan Sabda.

"Dajjal Jaya dan anaknya pasti berpikir kalau momen berdoa bersama di restoran merupakan hal yang memalukan bukan?" batin Yolan.

"Doa bersama saat akan makan di manapun adalah teladan yang diajarkan Papa padaku sejak kecil," celoteh Yolan mengabaikan tatapan aneh Sabda dan Papa dajjalnya.

"Banyak orang ketika akan makan langsung caplok saja. Seolah rejeki makanan mereka hari itu turun langsung dari langit tanpa ada campur tangan Tuhan sama sekali," sambung Yolan sambil memperhatikan dengan senang meja yang penuh berisi makanan.

Makanan-makanan aliran 'hotplate' dan 'hotpot,' itu sepertinya dipesan ngasal oleh Jaya karena ada juga pecel dan acar! Benar-benar tidak nyambung!

Semua disajikan dengan wadah khusus yang cantik.

Yolan tahu, wadah kayu dan plate panas itu meskipun terlihat menempel, tapi sebenarnya tidak menempel.

Hot plate itu terpisah, tidak menempel erat seperti yang terlihat mata.

"Ayo, makan. Sudah selesai, 'kan berdoanya?" tawar Jaya pada semuanya dengan mimik seperti meremehkan. Entah pada siapa?

Yolan masih memperhatikan makanan yang tidak mungkin dimasak dengan tatakan kayu beserta hotplate-nya itu.

Yolan lalu membayangkan visualisasi waiter yang sedang meletakan hotplate di atas tatakan kayu.

Yang panas hanya hotplatenya. Sedangkan tatakan kayunya tidak. Makanya tadi waitres dengan santai membawanya tanpa kepanasan.

Coba kalau tidak dengan tatakan kayu pasti tangan para waiter tadi sudah melepuh.

Kecuali mereka punya ilmu debus. Atau pendekar kebal yang sedang menyamar bekerja menjadi waiter di restoran.

Beberapa menit berselang, kelima anak beranak dengan satu pasangan berselingkuh itu menikmati makanan di atas hotplate.

Tiga hotplate yang masih panas berisi kuah kare sisa, diamati oleh Yolan sambil membulatkan tekad.

Kebulatan tekad ini semakin membuncah tatkala melihat Mamanya masih sempat lirik-lirikan dan saling melempar senyum dengan Jaya Kumara.

"Dasar ganjen nggak tahu diri!" rutuk Yolan.

Lalu dimulailah rencana bencana yang sudah terancang rapi di benak Yolan.

Tanpa banyak cing-c*ng, langsung saja  Yolan sok-sok-an membereskan hot plate yang sudah ia prediksi akan menjadi seperti apa di moment berikutnya.

Pura-pura akan menambah, mengambil kaki hotpot mendekat.

Lalu mengisi hotplate kosong yang tersisa dengan sedikit kuah kare--yang Yolan ambil dari panci mini hotpot ke hotplate.

Yolan mengangkat tadahan kayu beserta hotplate di atasnya. Lalu memiringkan sedikit. Menyenggol kaki hotpot yang apinya masih menyala.

Dan kuah kare panas pun mengucur dengan syantik. Dengan satu hentakan pura-pura kepanasan, Yolan miringkan lagi, dan miringkan lagi.

Dan ....

"Braaak. Gedubrak, traaang ... gubrak ... dug. Jedyer, Krompyang ....!"

Tiga hospot pecah, satu hotpot hancur menimpa Jaya Kumara yang langsung histeris berteriak.

Dalam keadaan masih memegang tadahan kayu, Yolan mematung beberapa detik, berusaha mencerna yang terjadi baru saja.

Di saat yang sama, Yolan sadar Mamanya berteriak mendekati Jaya.

Untung restoran sepi, namun Yolan sempat berhalusinasi melihat wajah pengunjung restoran yang semua matanya tertuju ke arah meja mereka--karena telah terjadi insiden cukup memalukan.

Yolan lalu melihat ke sekitar. Beberapa waiter datang berlarian menuju ke meja tkp.

Sabda memapah Papanya yang masih mengaduh keluar dari kafe. "Papa mau Sabda bawa ke rumah sakit, Tan," ucapnya pada Hananti yang seringkali melihat ke arah Suaminya--Wistara.

Paha Jaya terkena sambaran api hotpot juga pecahan hotplate yang sudah direncanakan dengan manis oleh Yolan.

Wistara serta-merta bergegas langsung membayar bill di kasir dan menanyakan berapa kerugian yang harus diganti.

Kelar urusan di kasir, Wistara lalu dengan tergopoh ngeloyor keluar kafe bersama Yolan.

"Emang Mama mau ikut ngantar Om Jaya ke rumah sakit?" tanya Yolan dengan mata menyelidik.

"Owh, ya, enggaklah. Cuma ngantar ke depan," jawab Hananti yang berdiri di samping mobil Jaya.

"Terima kasih traktirannya, Pak Jaya," kata Wistara melihat Jaya duduk di samping Sabda yang siap menyetir. Menjalankan mobil menuju rumah sakit terdekat.

Jaya seperti kehilangan kata. Padahal yang membayar makan siang itu Wistara. Tapi Jaya mengangguk dengan wajah menahan nyeri.

Mungkin dia sudah tidak bisa berpikir lagi siapa yang membayar bil karena fokus dengan luka bakar di beberapa bagian tubuhnya.

"Mampus, pasti Jaya trauma dan tidak akan pernah mau datang lagi ke semua restoran yang menyajikan makanan di atas hotplate. Ha ha!" sorak Yolan kegirangan dalam hati.

"Hati-hati, ya, Mas Sabda nyetirnya?" ucap Yolan mengulum senyumnya dan melambaikan tangan untuk Jaya sambil menundukkan kepala seolah memberi hormat.

Meledek dan merasa puas. Itu yang sebenarnya dilakukan Yolan melalui gestur tubuhnya.

"Papa duluan, ya? Mobil Papa di sana," tunjuk Wistara yang menyimpan kendaraannya agak jauh dari kafe. 

Sedangkan mobil mamanya parkir di samping mobil Jaya.

"Okey Pa, hati-hati, ya? Aku sama Mama langsung pulang, kok!" Yolan melambaikan tangan untuk Wistara.

Hananti masih bersungut-sungut saat mengendarai roda empatnya diperjalanan pulang. 

"Kamu itu Yolan. Benar-benar sangat memalukan Mama hari ini. Juga Papamu. Ngapain coba Papamu nyusul ke kafe ...." gerundelnya sepanjang jalan.

Yolan yang masih benci, sedih dan marah karena perselingkuhan Mamanya dan Jaya namun tidak bisa meluapkan langsung itu hanya bisa menyimpan tawa pahitnya.

"Setidaknya dengan celaka yang dialami Jaya hari ini, bisa membuat mereka berhenti bertemu sementara. Syukur-syukur selamanya." Itu harapan Yolan.

***

Malamnya di rumah Keluarga Wistara.

Wistara mendekati Yolan yang sedang rebahan di depan tivi dengan setumpuk buku tugas kuliah di meja.

"Mamamu sudah tidur?" tanya Wistara.

"Nggak tahu. Kenapa, Pa? Lihat saja di kamarnya," balas Yolan.

Seperti teringat sesuatu Yolan bangkit dari rebahannya.

"Pa ... kenapa tadi siang Papa nyusul aku dan Mama ke kafe? Kok tidak bilang dulu ke Yolan kalau mau datang?"

"Papa itu ...."

***

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status