Share

ALKEMIS TERAKHIR
ALKEMIS TERAKHIR
Author: PengkhayalMalam

1. Kehancuran Desa

Suara kaki kuda begitu ramai, sebuah pasukan dari kerajaan datang menyerang desa teratai, Zidan yang saat itu sedang berlatih membuat pil pemulihan bersama sang Ayah segera lari ke rumah, sayangnya semua rumah yang ada di desa itu langsung di bakar, jika ada yang keluar dai rumah, orang itu langsung dibunuh oleh pasukan kerajaan tampa belas kasihan.

“Ayah ayo kita keluar,” ucap Zidan yang tahu ia pasti akan terbakar jika terus di dalam rumah. Namun ia juga tak bisa keluar karena ada pasukan kerajaan, kebingung terus membuat Zidan panik.

“Jika keluar sekarang pasukan kerajaan akan langsung membunuhmu,” ucap sang Ayah yang juga terlihat gelisah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

“Tapi ayah, jika kita tetap disini, kita juga pasti akan mati,” ucap Zidan yang tak atah lagi api yang membakar rumahnya semaki terasa panas.

Belum sempat Zidan dan ayahnya keluar suara sang ibu berteriak memebuat Zidan kager dari luar rumh pasukan itu membunuh adik dan ibunya, sang Ayah terpukul hingga ia tak sadar balok rumah sudah menimpannya,

Zidan yang menyaksikan itu semua benar-benar tak bisa bergerak, rasa sakit yang ia rasakan membuat Zidan membeku. Keluarga sudah terbunuh.

Di tengah kepanikan itu, Zidan sudah terbujur kaku, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kakinya terasa berat, seolah terikat oleh rasa sakit dan ketidakberdayaan. Hari itu, pasukan kerajaan benar-benar menghanguskan segalanya. Tanpa ampun, mereka merobohkan bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu kehidupan masyarakat. Setiap jeritan, setiap suara tangisan, seolah terukir dalam ingatan Zidan, membakar jiwanya lebih dalam daripada api yang menghanguskan desanya.

“Larilah, nak, selagi kau bisa, balas dendamlah untuk klan kita,” suara paruh yang terbata-bata terdengar dari bawah puing. Zidan familiar dengan suara ayahnya, yang kini terkapar di antara reruntuhan. Suara itu mengisi hatinya dengan rasa sakit yang mendalam. Zidan merasa seolah dunia ini runtuh di hadapannya.

Mendengar permintaan terakhir sang ayah untuk balas dendam, Zidan berusaha bangkit. Ia ingin menyelamatkan diri dari kobaran api yang mengancam. Dengan segenap tenaga yang tersisa, ia terus menarik tubuhnya menjauh dari sana. Kakinya sudah lemah, dan setiap tarikan napas terasa berat. Zidan hanya bisa menggunakan tangannya untuk cepat-cepat menjauh dari kobaran api yang terus mengejarnya.

“Apa yang sudah kaisar lakukan?” batin Zidan, pikirannya berputar dalam kebencian dan kesedihan. Ia melihat jelas seluruh desa terbakar; kini hanya ia yang berhasil menyelamatkan diri dan masuk ke hutan yang tak jauh dari desa. Hutan itu seolah menjadi satu-satunya tempat perlindungan, meski ia tahu bahwa kegelapan di dalamnya sama menakutkannya dengan api yang membakar desanya.

Suara kobaran api membakar Desa Teratai yang terkenal dengan para ahli alkemis. Mereka semua dibantai oleh sang raja, karena alasan yang tidak jelas.

Zidan yang berhasil keluar dari rumah dan menyusup ke dalam semak, membuat para pasukan tak melihatnya, kekacauan yang ada di desa benar-benar mengerikan. Kobaran api di dimana-mana, jeritan kesakitan seakan menyayat tubuh.

Zidan yang masih terus bertahan, tekadnya untuk selamat begitu kuat, ia yang mendengar permintaan terakhir sang ayah tentunya tidak boleh ikut mati bersama mereak. Dalam sekejap dea teratai menjadi neraka yang nyata.

Ketika suara kuda milik pasukan semakin menjauh, kesunyian menyelimuti hutan. Hanya tercium bau api yang masih terus melahap habis Desa Teratai. Zidan merasakan kesadaran yang semakin memudar, seakan menariknya ke dalam kegelapan yang tak berujung.

“Apa aku juga akan mati,” batin Zidan merasa jika kesadaran mulai menghilang.

Zidan tergeletak di tengah rerimbunan semak-semak hutan, tubuhnya dipenuhi luka dan debu. Nafasnya tersengal, dada terasa sesak oleh kepedihan yang mengguncang hatinya. Suara desahan angin yang melewati daun-daun seolah mengucapkan salam perpisahan bagi mereka yang telah gugur. Suara kuda pasukan kerajaan yang tadinya terdengar begitu jelas kini telah menghilang, namun Zidan tahu, meskipun mereka telah pergi, mereka telah meninggalkan jejak kehancuran yang tak akan pernah dilupakan.

Dengan susah payah, Zidan mencoba duduk. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan hanya karena luka-luka yang ia derita, tetapi juga karena beban emosional yang menekannya. Bayangan ibunya yang dibunuh dengan kejam, adiknya yang masih kecil terkapar tak bernyawa, dan ayahnya yang tertimpa puing-puing rumah menghantui pikirannya. Semua itu membuatnya merasa seolah hidup tak lagi berarti. Namun, suara ayahnya yang terdengar dalam sisa-sisa hidupnya terus menggema di kepalanya, “Balas dendamlah untuk klan kita.”

Zidan tahu, ia tidak bisa menyerah. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan ini. Pasukan kerajaan yang telah menghancurkan desanya dan membantai keluarganya harus membayar atas apa yang telah mereka lakukan. Tekad balas dendam mulai menyala dalam hatinya, menjadi satu-satunya alasan bagi Zidan untuk terus bertahan.

Dengan pelan, Zidan berusaha bangkit, meskipun tubuhnya terasa lemah. Setiap langkah yang ia ambil menuju kedalaman hutan terasa berat, seolah dunia menolaknya untuk terus maju. Namun, ia tahu, berdiam diri berarti mati. Hutan ini, meskipun gelap dan penuh misteri, adalah satu-satunya tempat yang dapat memberinya perlindungan untuk sementara waktu.

Sesampainya di sebuah celah batu besar yang sedikit tertutup oleh semak-semak, Zidan memutuskan untuk beristirahat. Tubuhnya terlalu lemah untuk terus berjalan. Dalam kegelapan, Zidan memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu, saat desa Teratai masih damai. Ia teringat saat-saat ia berlatih bersama ayahnya membuat pil pemulihan. Ayahnya selalu mengajarkannya tentang keseimbangan hidup, tentang bagaimana kekuatan sesungguhnya berasal dari dalam diri seseorang, bukan dari kebencian. Namun kini, semua yang ayahnya ajarkan terasa hampa. Keseimbangan itu telah hancur bersama desa dan keluarganya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Zidan tersentak, membuka matanya lebar-lebar. Apakah pasukan kerajaan telah kembali? Dengan cepat, ia menahan nafas, tubuhnya menegang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status