Suara kaki kuda begitu ramai, sebuah pasukan dari kerajaan datang menyerang desa teratai, Zidan yang saat itu sedang berlatih membuat pil pemulihan bersama sang Ayah segera lari ke rumah, sayangnya semua rumah yang ada di desa itu langsung di bakar, jika ada yang keluar dai rumah, orang itu langsung dibunuh oleh pasukan kerajaan tampa belas kasihan.
“Ayah ayo kita keluar,” ucap Zidan yang tahu ia pasti akan terbakar jika terus di dalam rumah. Namun ia juga tak bisa keluar karena ada pasukan kerajaan, kebingung terus membuat Zidan panik. “Jika keluar sekarang pasukan kerajaan akan langsung membunuhmu,” ucap sang Ayah yang juga terlihat gelisah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. “Tapi ayah, jika kita tetap disini, kita juga pasti akan mati,” ucap Zidan yang tak atah lagi api yang membakar rumahnya semaki terasa panas. Belum sempat Zidan dan ayahnya keluar suara sang ibu berteriak memebuat Zidan kager dari luar rumh pasukan itu membunuh adik dan ibunya, sang Ayah terpukul hingga ia tak sadar balok rumah sudah menimpannya, Zidan yang menyaksikan itu semua benar-benar tak bisa bergerak, rasa sakit yang ia rasakan membuat Zidan membeku. Keluarga sudah terbunuh. Di tengah kepanikan itu, Zidan sudah terbujur kaku, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kakinya terasa berat, seolah terikat oleh rasa sakit dan ketidakberdayaan. Hari itu, pasukan kerajaan benar-benar menghanguskan segalanya. Tanpa ampun, mereka merobohkan bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu kehidupan masyarakat. Setiap jeritan, setiap suara tangisan, seolah terukir dalam ingatan Zidan, membakar jiwanya lebih dalam daripada api yang menghanguskan desanya. “Larilah, nak, selagi kau bisa, balas dendamlah untuk klan kita,” suara paruh yang terbata-bata terdengar dari bawah puing. Zidan familiar dengan suara ayahnya, yang kini terkapar di antara reruntuhan. Suara itu mengisi hatinya dengan rasa sakit yang mendalam. Zidan merasa seolah dunia ini runtuh di hadapannya. Mendengar permintaan terakhir sang ayah untuk balas dendam, Zidan berusaha bangkit. Ia ingin menyelamatkan diri dari kobaran api yang mengancam. Dengan segenap tenaga yang tersisa, ia terus menarik tubuhnya menjauh dari sana. Kakinya sudah lemah, dan setiap tarikan napas terasa berat. Zidan hanya bisa menggunakan tangannya untuk cepat-cepat menjauh dari kobaran api yang terus mengejarnya. “Apa yang sudah kaisar lakukan?” batin Zidan, pikirannya berputar dalam kebencian dan kesedihan. Ia melihat jelas seluruh desa terbakar; kini hanya ia yang berhasil menyelamatkan diri dan masuk ke hutan yang tak jauh dari desa. Hutan itu seolah menjadi satu-satunya tempat perlindungan, meski ia tahu bahwa kegelapan di dalamnya sama menakutkannya dengan api yang membakar desanya. Suara kobaran api membakar Desa Teratai yang terkenal dengan para ahli alkemis. Mereka semua dibantai oleh sang raja, karena alasan yang tidak jelas. Zidan yang berhasil keluar dari rumah dan menyusup ke dalam semak, membuat para pasukan tak melihatnya, kekacauan yang ada di desa benar-benar mengerikan. Kobaran api di dimana-mana, jeritan kesakitan seakan menyayat tubuh. Zidan yang masih terus bertahan, tekadnya untuk selamat begitu kuat, ia yang mendengar permintaan terakhir sang ayah tentunya tidak boleh ikut mati bersama mereak. Dalam sekejap dea teratai menjadi neraka yang nyata. Ketika suara kuda milik pasukan semakin menjauh, kesunyian menyelimuti hutan. Hanya tercium bau api yang masih terus melahap habis Desa Teratai. Zidan merasakan kesadaran yang semakin memudar, seakan menariknya ke dalam kegelapan yang tak berujung. “Apa aku juga akan mati,” batin Zidan merasa jika kesadaran mulai menghilang. Zidan tergeletak di tengah rerimbunan semak-semak hutan, tubuhnya dipenuhi luka dan debu. Nafasnya tersengal, dada terasa sesak oleh kepedihan yang mengguncang hatinya. Suara desahan angin yang melewati daun-daun seolah mengucapkan salam perpisahan bagi mereka yang telah gugur. Suara kuda pasukan kerajaan yang tadinya terdengar begitu jelas kini telah menghilang, namun Zidan tahu, meskipun mereka telah pergi, mereka telah meninggalkan jejak kehancuran yang tak akan pernah dilupakan. Dengan susah payah, Zidan mencoba duduk. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan hanya karena luka-luka yang ia derita, tetapi juga karena beban emosional yang menekannya. Bayangan ibunya yang dibunuh dengan kejam, adiknya yang masih kecil terkapar tak bernyawa, dan ayahnya yang tertimpa puing-puing rumah menghantui pikirannya. Semua itu membuatnya merasa seolah hidup tak lagi berarti. Namun, suara ayahnya yang terdengar dalam sisa-sisa hidupnya terus menggema di kepalanya, “Balas dendamlah untuk klan kita.” Zidan tahu, ia tidak bisa menyerah. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan ini. Pasukan kerajaan yang telah menghancurkan desanya dan membantai keluarganya harus membayar atas apa yang telah mereka lakukan. Tekad balas dendam mulai menyala dalam hatinya, menjadi satu-satunya alasan bagi Zidan untuk terus bertahan. Dengan pelan, Zidan berusaha bangkit, meskipun tubuhnya terasa lemah. Setiap langkah yang ia ambil menuju kedalaman hutan terasa berat, seolah dunia menolaknya untuk terus maju. Namun, ia tahu, berdiam diri berarti mati. Hutan ini, meskipun gelap dan penuh misteri, adalah satu-satunya tempat yang dapat memberinya perlindungan untuk sementara waktu. Sesampainya di sebuah celah batu besar yang sedikit tertutup oleh semak-semak, Zidan memutuskan untuk beristirahat. Tubuhnya terlalu lemah untuk terus berjalan. Dalam kegelapan, Zidan memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu, saat desa Teratai masih damai. Ia teringat saat-saat ia berlatih bersama ayahnya membuat pil pemulihan. Ayahnya selalu mengajarkannya tentang keseimbangan hidup, tentang bagaimana kekuatan sesungguhnya berasal dari dalam diri seseorang, bukan dari kebencian. Namun kini, semua yang ayahnya ajarkan terasa hampa. Keseimbangan itu telah hancur bersama desa dan keluarganya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Zidan tersentak, membuka matanya lebar-lebar. Apakah pasukan kerajaan telah kembali? Dengan cepat, ia menahan nafas, tubuhnya menegang.Zidan dengan cepat berbalik untuk lari, rasa takut menguasai hatinya. Ia tidak tahu siapa yang baru saja meraih tangannya, namun bayangan akan pasukan kerajaan membuatnya panik. Langkahnya yang terseok-seok akibat luka-luka di tubuhnya tak menghalanginya mencoba melarikan diri. Namun tangan yang kuat itu berhasil menangkapnya. Dia membeku. Nafasnya tertahan saat mendengar suara tua dan serak berkata, “Kau mau kemana, dengan tubuh penuh luka seperti itu?” Suara itu berasal dari seorang kakek tua yang sekarang berdiri di hadapannya.Zidan terpaku, tidak berani bergerak. Ingin rasanya ia melarikan diri, tapi tangan kakek itu memegangnya dengan kuat. Perlahan-lahan, Zidan memutar tubuhnya, berbalik untuk melihat siapa yang telah menghentikannya. Matanya bertemu dengan sosok seorang kakek berusia lanjut, rambutnya memutih, wajahnya penuh kerutan, namun ada kelembutan yang terpancar dari senyumannya. Senyum itu, entah bagaimana, mengusir sebagian rasa takut di hati Zidan."Kau takut padaku?
Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Dunia ini tak sesederhana itu, Nak. Tidak semua orang setuju dengan kerajaan. Kadang kita harus menolong seseorang, bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka membutuhkan pertolongan. Dan kau, Nak, jelas membutuhkan pertolongan.”Zidan terdiam. Kata-kata kakek itu begitu dalam dan penuh makna. Untuk pertama kalinya sejak tragedi di desanya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa memperdulikan siapa dia atau apa yang telah terjadi. Dia hanya seorang bocah yang terluka, dan kakek ini hanya ingin menolongnya.“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Zidan pelan.“Tak perlu berkata apa-apa,” jawab kakek itu. “Sekarang istirahatlah, dan biarkan tubuhmu sembuh.”Zidan mulai memejamkan mata rasa nyaman membuatnya ingin sekali beristirahat, hari-hari kemarin begitu berat, kini ia bisa sedikit lega, karena ia bisa bersembunyi dalam hutan. Meski masih banyak pertanyaan tentang siapa kakek itu sebenarnya,
Kakek itu tersenyum dan menepuk bahu Zidan dengan lembut. “Tentu saja aman. Kau bersama kakek sekarang. Hutan ini penuh dengan tanaman berharga, dan jika kau tahu cara menggunakannya, kau bisa menyembuhkan dirimu sendiri lebih cepat daripada menggunakan obat-obatan biasa. Jadi, ayo kita cari tanaman yang kau butuhkan. Kakek akan menemanimu.”Zidan merasa tenang setelah mendengar kata-kata Kakek Suma. Ia keluar dari gubuk bersama kakek itu, menyusuri jalan yang sama seperti kemarin, namun kali ini dengan semangat baru. Zidan tahu betapa pentingnya tanaman-tanaman obat yang ada di hutan ini. Ia bisa menyembuhkan dirinya lebih cepat jika menggunakan ramuan racikan sendiri, ramuan yang diajarkan oleh ayahnya. Dengan hati-hati, ia mulai memetik beberapa tanaman yang ia tahu memiliki khasiat penyembuhan. Meski tubuhnya masih terasa sakit akibat luka bakar, semangatnya tidak surut. Setiap kali ia menemukan tanaman yang ia butuhkan, ia merasa semakin dekat dengan kesembuhan."Apa kau senang?
Butuh beberapa menit bagi Zidan untuk bisa mengumpulkan tenaga dan membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, dan beberapa bagian tubuhnya terasa sangat nyeri. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka barunya yang semakin memperparah kondisinya. Zidan mencoba bangkit, namun rasa sakit membuatnya terhuyung-huyung. Ia menoleh ke arah tebing yang baru saja ia jatuh dari sana. Tebing itu terlalu tinggi untuk didaki kembali, dan ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah mencari cara lain untuk keluar dari situasi ini. Ia duduk sejenak, mencoba menenangkan dirinya dan memikirkan langkah berikutnya. "Kakek... di mana kau?" gumam Zidan dengan suara lemah. Harapannya sekarang adalah agar Kakek Suma menyadari bahwa ia hilang dan segera mencarinya. Namun, Zidan tahu ia tidak bisa hanya menunggu di sini. Ia harus melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Zidan merogoh kantong kecil di sabuknya, mencari bahan-bahan obat yang ia petik tadi. Meskipun dalam kondisi le
Kakek Suma menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa lampau. “Kerajaan takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Alkemis memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa menandingi kekuatan para pangeran dan pejabat kerajaan. Jika alkemis terus berkembang, mereka takut kekuatan mereka akan runtuh. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk memusnahkan semua alkemis, agar tak ada yang bisa menandingi kekuasaan mereka.” Zidan menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan ketidakadilan yang mendalam. "Jadi, itulah mengapa mereka menyerang Desa Teratai," gumamnya. “Ya, Nak,” jawab Kakek Suma. “Desa Teratai terkenal karena para alkemisnya. Itulah sebabnya kerajaan memilih untuk menghancurkannya,” Mendengar itu, Zidan merasa bebannya semakin berat. Ia sadar bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang masa depan alkemis yang tersisa. "Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanyanya dengan suara lemah. “Kau harus terus belajar, Zidan. Kakek akan mem
"Bagaimana, Nak? Kau baik-baik saja?" tanya Kakek Suma dengan lembut, nada suaranya kali ini lebih tenang dibanding biasanya.Zidan, dengan penuh kebanggaan, mengangkat pil kecil yang baru saja dia buat. "Kek, lihat! Aku berhasil!" serunya penuh antusias.Kakek Suma mendekat, menatap pil di tangan Zidan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar saat ia berkata, “Luar biasa, Zidan. Kau benar-benar berhasil.”Zidan masih tidak percaya dengan hasilnya. "Ini pertama kalinya aku melakukannya sendiri, dan berhasil!" ucapnya takjub.Kakek Suma mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. “Ternyata kekhawatiranku tidak perlu, kau berhasil, Nak,” ucapnya sambil mengusap kepala Zidan dengan penuh kasih sayang.Zidan tersenyum, namun tatapannya tetap fokus pada pil itu. “Aku akan segera meminumnya, Kek,” katanya dengan penuh keyakinan.Namun, Kakek Suma segera mengingatkan. "Kau tahu, kan? Pil ini pasti ada efek sampingnya," ujarnya serius, memperingatkan cucun