Kakek itu tersenyum dan menepuk bahu Zidan dengan lembut. “Tentu saja aman. Kau bersama kakek sekarang. Hutan ini penuh dengan tanaman berharga, dan jika kau tahu cara menggunakannya, kau bisa menyembuhkan dirimu sendiri lebih cepat daripada menggunakan obat-obatan biasa. Jadi, ayo kita cari tanaman yang kau butuhkan. Kakek akan menemanimu.”
Zidan merasa tenang setelah mendengar kata-kata Kakek Suma. Ia keluar dari gubuk bersama kakek itu, menyusuri jalan yang sama seperti kemarin, namun kali ini dengan semangat baru. Zidan tahu betapa pentingnya tanaman-tanaman obat yang ada di hutan ini. Ia bisa menyembuhkan dirinya lebih cepat jika menggunakan ramuan racikan sendiri, ramuan yang diajarkan oleh ayahnya. Dengan hati-hati, ia mulai memetik beberapa tanaman yang ia tahu memiliki khasiat penyembuhan. Meski tubuhnya masih terasa sakit akibat luka bakar, semangatnya tidak surut. Setiap kali ia menemukan tanaman yang ia butuhkan, ia merasa semakin dekat dengan kesembuhan. "Apa kau senang?" tanya Kakek Suma sambil tersenyum, melihat Zidan begitu serius mencari bahan obat. Bahkan luka-luka di tubuh Zidan seolah tak lagi terasa sakit. Ia tampak tenang dan fokus, seperti seseorang yang sedang menjalani misi penting. "Tentu saja, Kek," jawab Zidan dengan antusias. "Ini bahan obat yang sangat berharga. Aku pernah belajar tentang khasiatnya dari ayahku." “Kau lanjutkan saja mencari tumbuhan obat, aku kan menunggumu di bawah pohon itu,” Kata kakek Suma menunjuk pohon rindang yang tak jauh dari tempat Zidan berada. Kakek Suma memang tidak tahu banyak tentang tumbuhan, jadi ia hanya mengawasi Zidan dari jauh saja, sambil terus memperhatikan Zidan yang begitu asik dengan tanaman obat yang sedang ia petik. Kakek Suma memperhatikan Zidan dengan kagum. "Aku harap aku bisa melihat hasil yang bagus dari ramuan nanti," katanya dalam hati, sambil mengingat masa-masa ketika ia memiliki seorang sahabat alkemis yang sangat berbakat. Sayangnya, sahabatnya itu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Karena itulah, Kakek Suma memutuskan untuk tinggal di hutan ini, dekat dengan Desa Teratai, tempat tinggal para alkemis yang dulu begitu ia kagumi. Namun kini, desa itu hanya tinggal sejarah. Sambil terus berjalan, Zidan semakin asyik memetik berbagai tanaman yang ia anggap penting untuk pengobatan dirinya. Setiap langkahnya penuh kehati-hatian, matanya terus mencari tanaman yang diajarkan oleh ayahnya. Tumbuhan dengan daun hijau yang lebar, bunga kecil yang berwarna ungu, hingga akar-akar yang tersembunyi di bawah tanah. Namun, saking asyiknya mencari tanaman obat, Zidan tidak menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Ketika ia berhenti sejenak dan melihat sekeliling, ia baru menyadari bahwa Kakek Suma tidak lagi ada di dekatnya. "Kakek? Kakek Suma, di mana kau?" Zidan mulai panik. Ia berbalik dan mulai berjalan kembali, namun arah yang ia tempuh tidak terlihat familiar. Suasana hutan yang semula tenang tiba-tiba terasa mencekam. Rasa takut mulai menjalar dalam hatinya. "Kakek!" Zidan berteriak lagi, namun tidak ada jawaban. Ia mulai berlari, mencoba mencari jalan kembali ke tempat mereka berpisah. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin terburu-buru, dan ia semakin bingung dengan arah yang ia tuju. Tanpa ia sadari, langkahnya yang tergesa-gesa membuatnya kehilangan keseimbangan. Kakinya tersandung oleh akar pohon yang menonjol dari tanah, dan dalam sekejap, tubuhnya jatuh terperosok. "Brukk!" Zidan terpeleset dan jatuh ke dalam sebuah tebing curam yang tertutupi oleh semak-semak. Tubuhnya terhempas ke bawah, berguling-guling di antara bebatuan dan dedaunan. Rasa sakit langsung menyebar ke seluruh tubuhnya, terutama di bagian yang sudah terluka akibat luka bakar. "Ahhh!" Zidan mengerang kesakitan. Ia terjatuh hingga akhirnya berhenti di dasar tebing yang agak landai. Napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya terasa sangat lemah. Di sekelilingnya hanya ada pepohonan tinggi dan semak-semak lebat, seolah-olah menutupinya dari dunia luar. Butuh beberapa menit bagi Zidan untuk bisa mengumpulkan tenaga dan membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, dan beberapa bagian tubuhnya terasa sangat nyeri. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka barunya yang semakin memperparah kondisinya. Zidan mencoba bangkit, namun rasa sakit membuatnya terhuyung-huyung. Ia menoleh ke arah tebing yang baru saja ia jatuh dari sana. Tebing itu terlalu tinggi untuk didaki kembali, dan ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah mencari cara lain untuk keluar dari situasi ini. Ia duduk sejenak, mencoba menenangkan dirinya dan memikirkan langkah berikutnya. "Kakek... di mana kau?" gumam Zidan dengan suara lemah. Harapannya sekarang adalah agar Kakek Suma menyadari bahwa ia hilang dan segera mencarinya. Hutan semakin sunyi, sepertinya Kakek Suma tak menyadari jika Zidan terjatuh, Zidan yang menahan rasa sakit mencoba untuk bertahan, suaranya hampir habis, ia ingin sekali memanggil Kakek Suma, tapi sayangnya ia tak sanggup lagi.Butuh beberapa menit bagi Zidan untuk bisa mengumpulkan tenaga dan membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, dan beberapa bagian tubuhnya terasa sangat nyeri. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka barunya yang semakin memperparah kondisinya. Zidan mencoba bangkit, namun rasa sakit membuatnya terhuyung-huyung. Ia menoleh ke arah tebing yang baru saja ia jatuh dari sana. Tebing itu terlalu tinggi untuk didaki kembali, dan ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah mencari cara lain untuk keluar dari situasi ini. Ia duduk sejenak, mencoba menenangkan dirinya dan memikirkan langkah berikutnya. "Kakek... di mana kau?" gumam Zidan dengan suara lemah. Harapannya sekarang adalah agar Kakek Suma menyadari bahwa ia hilang dan segera mencarinya. Namun, Zidan tahu ia tidak bisa hanya menunggu di sini. Ia harus melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Zidan merogoh kantong kecil di sabuknya, mencari bahan-bahan obat yang ia petik tadi. Meskipun dalam kondisi le
Kakek Suma menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa lampau. “Kerajaan takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Alkemis memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa menandingi kekuatan para pangeran dan pejabat kerajaan. Jika alkemis terus berkembang, mereka takut kekuatan mereka akan runtuh. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk memusnahkan semua alkemis, agar tak ada yang bisa menandingi kekuasaan mereka.” Zidan menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan ketidakadilan yang mendalam. "Jadi, itulah mengapa mereka menyerang Desa Teratai," gumamnya. “Ya, Nak,” jawab Kakek Suma. “Desa Teratai terkenal karena para alkemisnya. Itulah sebabnya kerajaan memilih untuk menghancurkannya,” Mendengar itu, Zidan merasa bebannya semakin berat. Ia sadar bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang masa depan alkemis yang tersisa. "Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanyanya dengan suara lemah. “Kau harus terus belajar, Zidan. Kakek akan mem
"Bagaimana, Nak? Kau baik-baik saja?" tanya Kakek Suma dengan lembut, nada suaranya kali ini lebih tenang dibanding biasanya.Zidan, dengan penuh kebanggaan, mengangkat pil kecil yang baru saja dia buat. "Kek, lihat! Aku berhasil!" serunya penuh antusias.Kakek Suma mendekat, menatap pil di tangan Zidan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar saat ia berkata, “Luar biasa, Zidan. Kau benar-benar berhasil.”Zidan masih tidak percaya dengan hasilnya. "Ini pertama kalinya aku melakukannya sendiri, dan berhasil!" ucapnya takjub.Kakek Suma mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. “Ternyata kekhawatiranku tidak perlu, kau berhasil, Nak,” ucapnya sambil mengusap kepala Zidan dengan penuh kasih sayang.Zidan tersenyum, namun tatapannya tetap fokus pada pil itu. “Aku akan segera meminumnya, Kek,” katanya dengan penuh keyakinan.Namun, Kakek Suma segera mengingatkan. "Kau tahu, kan? Pil ini pasti ada efek sampingnya," ujarnya serius, memperingatkan cucun
Suara kaki kuda begitu ramai, sebuah pasukan dari kerajaan datang menyerang desa teratai, Zidan yang saat itu sedang berlatih membuat pil pemulihan bersama sang Ayah segera lari ke rumah, sayangnya semua rumah yang ada di desa itu langsung di bakar, jika ada yang keluar dai rumah, orang itu langsung dibunuh oleh pasukan kerajaan tampa belas kasihan.“Ayah ayo kita keluar,” ucap Zidan yang tahu ia pasti akan terbakar jika terus di dalam rumah. Namun ia juga tak bisa keluar karena ada pasukan kerajaan, kebingung terus membuat Zidan panik.“Jika keluar sekarang pasukan kerajaan akan langsung membunuhmu,” ucap sang Ayah yang juga terlihat gelisah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.“Tapi ayah, jika kita tetap disini, kita juga pasti akan mati,” ucap Zidan yang tak atah lagi api yang membakar rumahnya semaki terasa panas.Belum sempat Zidan dan ayahnya keluar suara sang ibu berteriak memebuat Zidan kager dari luar rumh pasukan itu membunuh adik dan ibunya, sang Ayah terpukul hingga ia
Zidan dengan cepat berbalik untuk lari, rasa takut menguasai hatinya. Ia tidak tahu siapa yang baru saja meraih tangannya, namun bayangan akan pasukan kerajaan membuatnya panik. Langkahnya yang terseok-seok akibat luka-luka di tubuhnya tak menghalanginya mencoba melarikan diri. Namun tangan yang kuat itu berhasil menangkapnya. Dia membeku. Nafasnya tertahan saat mendengar suara tua dan serak berkata, “Kau mau kemana, dengan tubuh penuh luka seperti itu?” Suara itu berasal dari seorang kakek tua yang sekarang berdiri di hadapannya.Zidan terpaku, tidak berani bergerak. Ingin rasanya ia melarikan diri, tapi tangan kakek itu memegangnya dengan kuat. Perlahan-lahan, Zidan memutar tubuhnya, berbalik untuk melihat siapa yang telah menghentikannya. Matanya bertemu dengan sosok seorang kakek berusia lanjut, rambutnya memutih, wajahnya penuh kerutan, namun ada kelembutan yang terpancar dari senyumannya. Senyum itu, entah bagaimana, mengusir sebagian rasa takut di hati Zidan."Kau takut padaku?
Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Dunia ini tak sesederhana itu, Nak. Tidak semua orang setuju dengan kerajaan. Kadang kita harus menolong seseorang, bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka membutuhkan pertolongan. Dan kau, Nak, jelas membutuhkan pertolongan.”Zidan terdiam. Kata-kata kakek itu begitu dalam dan penuh makna. Untuk pertama kalinya sejak tragedi di desanya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa memperdulikan siapa dia atau apa yang telah terjadi. Dia hanya seorang bocah yang terluka, dan kakek ini hanya ingin menolongnya.“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Zidan pelan.“Tak perlu berkata apa-apa,” jawab kakek itu. “Sekarang istirahatlah, dan biarkan tubuhmu sembuh.”Zidan mulai memejamkan mata rasa nyaman membuatnya ingin sekali beristirahat, hari-hari kemarin begitu berat, kini ia bisa sedikit lega, karena ia bisa bersembunyi dalam hutan. Meski masih banyak pertanyaan tentang siapa kakek itu sebenarnya,