Share

7. Pengawal Kerajaan

"Bagaimana, Nak? Kau baik-baik saja?" tanya Kakek Suma dengan lembut, nada suaranya kali ini lebih tenang dibanding biasanya.

Zidan, dengan penuh kebanggaan, mengangkat pil kecil yang baru saja dia buat. "Kek, lihat! Aku berhasil!" serunya penuh antusias.

Kakek Suma mendekat, menatap pil di tangan Zidan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar saat ia berkata, “Luar biasa, Zidan. Kau benar-benar berhasil.”

Zidan masih tidak percaya dengan hasilnya. "Ini pertama kalinya aku melakukannya sendiri, dan berhasil!" ucapnya takjub.

Kakek Suma mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. “Ternyata kekhawatiranku tidak perlu, kau berhasil, Nak,” ucapnya sambil mengusap kepala Zidan dengan penuh kasih sayang.

Zidan tersenyum, namun tatapannya tetap fokus pada pil itu. “Aku akan segera meminumnya, Kek,” katanya dengan penuh keyakinan.

Namun, Kakek Suma segera mengingatkan. "Kau tahu, kan? Pil ini pasti ada efek sampingnya," ujarnya serius, memperingatkan cucunya.

Zidan mengangguk. "Iya, Kek. Ayahku pernah bilang semakin kuat khasiat sebuah pil, semakin besar pula risikonya."

"Tepat," sahut Kakek Suma. "Kau tidak perlu terburu-buru meminumnya. Persiapkan dulu tenagamu."

Zidan setuju. "Baik, Kek. Mungkin nanti malam setelah istirahat."

Kakek Suma mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus. Kau harus memulihkan tenagamu terlebih dahulu."

Setelah mengingatkan Zidan, Kakek Suma bersiap-siap untuk pergi ke kota mencari bahan makanan. "Kakek akan keluar sebentar ke kota untuk mencari bahan makanan. Apa kau butuh sesuatu?"

Zidan tampak ragu. "Seharusnya aku ikut, Kek. Aku bisa membantu."

Namun, Kakek Suma menggelengkan kepala dengan lembut. "Tidak perlu, Nak. Kebutuhan dapur sudah menipis, aku harus segera pergi."

Zidan tak menyerah begitu saja. "Bagaimana kalau besok saja, Kek? Aku ingin ikut."

Kakek Suma tersenyum kecil, namun tetap bersikeras. "Tidak bisa. Kau perlu istirahat. Besok mungkin kita bisa pergi bersama."

Zidan akhirnya menyerah. "Baiklah," katanya pelan. Ia melangkah ke kamarnya, merasa lelah setelah seluruh energinya terkuras akibat proses pembuatan pil tadi.

Sementara itu, Kakek Suma bergegas menuju pasar di kota. Namun, di dalam hatinya, ada rasa gelisah yang sulit dijelaskan. Di kota, situasi sedang tidak menentu. Pihak kerajaan tengah mencari orang-orang yang selamat dari insiden di Desa Teratai, terutama mereka yang memiliki tanda-tanda luka bakar seperti yang dialami Zidan. Berita ini membuat Kakek Suma cemas, apalagi Zidan berencana ikut ke kota besok.

Setelah selesai berbelanja, Kakek Suma segera pulang dengan langkah cepat. Pikiran tentang keselamatan Zidan terus menghantuinya. “Aku harus segera memberi tahu anak itu. Kasihan kalau sampai dia tertangkap,” gumamnya dalam hati. Luka bakar di wajah Zidan terlalu mencolok dan sulit untuk disembunyikan.

Sesampainya di rumah, Kakek Suma segera menuju kamar Zidan. Namun, dia terkejut saat melihat kamar itu kosong. Di meja, terdapat sepucuk surat yang ditinggalkan Zidan.

“Kek, aku keluar sebentar untuk mencari bahan obat,” tulis Zidan dalam surat itu.

Hati Kakek Suma langsung panik. Dia tahu betul risiko yang dihadapi Zidan jika sampai bertemu dengan pasukan kerajaan. Dengan cepat, Kakek Suma bergegas mencari Zidan. "Aku harus menemukannya sebelum terlambat," batinnya.

Sementara itu, Zidan yang tidak tahu bahwa dia sedang dalam bahaya, sedang berjalan di pinggiran kota mencari tanaman obat. Dia berharap bisa menemui Kakek Suma di sana. Namun, dia tidak menyadari bahwa di kota tersebut sedang berlangsung perburuan besar-besaran oleh pasukan kerajaan. Mereka mencari korban yang selamat dari insiden Desa Teratai untuk diinterogasi lebih lanjut.

Saat Zidan sedang memetik beberapa tanaman, dia mendengar suara langkah kaki yang berat. Dia menoleh dan melihat seorang pengawal kerajaan sedang mendekatinya.

"Tunggu sebentar!" seru pengawal itu, mencoba menghentikan Zidan.

Jantung Zidan langsung berdegup kencang. Dia merasa terancam dan tubuhnya seketika membeku. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. "Kenapa pengawal ini menghentikanku?" pikirnya penuh kekhawatiran.

Pengawal itu semakin mendekat, matanya menatap tajam ke arah Zidan. "Apa yang kau lakukan di sini, bocah?!" tanya pengawal itu dengan nada curiga.

Zidan mencoba tetap tenang, meskipun pikirannya kacau. "Aku... aku hanya mencari kakekku, Tuan," jawabnya dengan suara gemetar.

Pengawal itu menyipitkan mata, seolah mencoba membaca kebenaran dari ucapan Zidan. Lalu tatapannya tertuju pada bekas luka bakar di wajah Zidan. "Luka di wajahmu... dari mana kau mendapatkannya?" tanya pengawal itu dengan nada yang lebih tegas.

Zidan tersentak. Dia tahu bahwa luka itu bisa menjadi petunjuk yang membahayakan dirinya. "Ini... ini luka lama, Tuan. Kecelakaan," jawabnya terbata-bata.

Pengawal itu tampak tidak yakin. "Kau dari mana, bocah?"

Zidan terdiam. Dia tahu bahwa salah menjawab pertanyaan ini bisa membahayakan nyawanya. Namun, sebelum dia sempat menjawab, suara lain terdengar.

"Hei, bocah!" Kakek Suma muncul dari balik pepohonan, berjalan dengan cepat menuju Zidan. "Maaf, Tuan. Cucuku ini sedikit keras kepala. Dia seharusnya tidak berada di sini."

Pengawal itu menatap Kakek Suma dengan tatapan curiga. "Siapa kau, orang tua?"

"Saya hanya seorang pedagang keliling dari desa sebelah, Tuan," jawab Kakek Suma sambil menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan sikap hormat.

Kakek Suma dan Zidan tidak tahu apa pengawal itu percaya. Kakek Suma sudah berusaha keras untuk bisa menyelamatkan Zidan.

Pengawal kerajaan tak bisa percaya dengan mudah, walau kakek Suma sudah memberi penjelasan. Pengawal itu tetap membawa Zidan untuk melakukan pengecekan.

“Semua itu akan terbukti nanti, bawa anak ini dan Kakeknya ke Pengadilan,” ucapan Pengawal itu membuat Zidan bergetar.

Kakek Suma bahkan harus ikut bersama Zidan ke pengadilan kerajaan. “Bagaimana aku bisa membahayakan Kakek juga, apa yang harus aku lakukan,” batin Zidan yang kacau tak bisa berbuat apapun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status