Hari itu, Asmar dan Zidan keluar dari gubuk tua dan menuju ke sebuah lapangan terbuka yang tersembunyi di dalam hutan. Tempat itu sepi, jauh dari pandangan orang-orang, dan sempurna untuk latihan intensif yang akan mereka jalani. Sinar matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, menciptakan cahaya lembut yang menyelimuti suasana. Zidan berdiri dengan semangat di depan Asmar, siap menyerap semua pelajaran yang diberikan oleh gurunya.Asmar menatap Zidan dengan penuh perhatian. "Hari ini kita akan memulai dari dasar," ucapnya. "Sebagai seorang alkemis, kau harus memahami dasar dari energi alam dan cara mengendalikan tenaga dalammu sendiri."Zidan mengangguk, wajahnya serius dan penuh rasa ingin tahu.Asmar kemudian duduk bersila di tanah dan memberi isyarat pada Zidan untuk duduk di depannya. "Duduklah, dan tenangkan pikiranmu," perintah Asmar dengan lembut. Zidan segera mengikuti. "Lekukan pertama ini adalah dasar yang sangat penting," lanjut Asmar. "Kau harus bisa merasakan aliran ene
Asmar mengangguk, matanya mengerjap tajam ke arah yang dimaksud Kakek Suma. "Pengawal kaisar?" bisiknya, merasa detak jantungnya meningkat karena menyadari betapa gentingnya situasi ini. Kakek Suma mengangguk, wajahnya kian serius. "Mereka datang memeriksa keberadaan kita. Mungkin ini hanya patroli biasa, atau mungkin mereka sudah mencium jejak kita."Tanpa menunggu lebih lama, Kakek Suma memberi isyarat kepada Zidan dan Asmar untuk tetap tenang dan tidak menimbulkan suara apa pun. Mereka semua bergerak perlahan-lahan, mengambil posisi perlindungan di balik semak-semak dan pohon-pohon besar yang ada di sekitar tempat itu.Asmar meletakkan tangannya di bahu Zidan, menekannya pelan sebagai tanda agar Zidan tetap tenang. Zidan berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu, berusaha menekan rasa panik yang mendadak muncul. Ia belum sepenuhnya paham bahaya yang mungkin mereka hadapi, namun tatapan penuh waspada dari kedua gurunya membuatnya sadar bahwa ini bukan situasi biasa.Ketegangan
Kakek Suma dan Asmar berjalan menyusuri jejak yang baru saja mereka temukan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jelas tanda-tanda bahwa seseorang telah berada di sekitar area itu belum lama ini. Pohon-pohon di sekitarnya menunjukkan ranting yang patah, dan ada bekas-bekas tapak kaki yang ringan, seolah sang pemilik kaki memiliki kemampuan untuk melangkah tanpa meninggalkan jejak yang terlalu dalam. Kakek Suma menatap Asmar yang tampak penuh semangat, seolah mengikuti jejak tersebut adalah satu-satunya hal yang ada di pikirannya. Merasa khawatir, Kakek Suma pun akhirnya berbicara, suaranya berat dengan nada ketidaksetujuan. "Kau meninggalkan Zidan sendirian?" tanyanya, nada suaranya terdengar ragu. Ia tahu betul bahwa Zidan masih muda dan kekuatannya masih jauh dari cukup untuk melindungi diri. Asmar menoleh sekilas, memberikan senyum tipis. "Aku yakin dia aman. Aku sudah membuat jebakan di sekeliling tempat latihannya. Dia sudah berlatih di situ selama berhari-hari, cukup unt
Pria itu hanya terdiam, matanya penuh kebencian. "Aku tidak akan mengatakannya, meski kalian membunuhku," balasnya dengan nada dingin.Asmar maju, berdiri di samping Kakek Suma. "Kaisar mengutusmu, bukan? Hanya orang yang memiliki kepentingan besar yang akan berani memasuki wilayah terlarang ini."Pria itu tidak menjawab, tetapi dari ekspresinya, mereka tahu bahwa dugaan Asmar benar.Mendengar itu, Kakek Suma menghela napas panjang. "Kalau begitu, kembalilah dan sampaikan pada Kaisar bahwa kami tidak akan menyerahkan Zidan."Pria itu tertawa pelan, penuh ejekan. "Kaisar tidak peduli siapa yang kalian lindungi. Yang jelas, siapa pun yang dianggap sebagai ancaman akan dihancurkan."Kakek Suma tampak tak terpengaruh. Ia hanya menatap pria itu dengan pandangan dingin, lalu dengan satu gerakan cepat, menotok titik tertentu di leher pria tersebut. Seketika, pria itu pingsan, tubuhnya jatuh lemas ke tanah.Asmar menatap Kakek Suma, wajahnya tampak muram. Ia mengeluarkan racun dan memberikann
Wanita tua itu menoleh dengan mata berkaca-kaca, suaranya hampir tersedak ketika menjawab. "Dulu, benar. Tapi sekarang... perang tak henti-hentinya. Kaisar Arzan mengirim pasukan berkali-kali ke sini. Lahan kami dibakar, ladang padi hancur, binatang ternak habis dibawa paksa oleh pasukan. Kami sudah kehilangan segalanya. Yang tersisa hanya sisa-sisa harapan yang tak tahu sampai kapan bisa bertahan."Asmar terdiam, merasakan kemarahan mendidih di dadanya. “Dia bahkan menghancurkan negeri yang bukan miliknya,” gumamnya. “Kekejaman seperti ini… tak bisa dibiarkan.”“Jika kerajaannya sudah hancur, dimana sang Raja berada sekrang?” tanya Kakek Suma yang penasaran dengan kondisi sang Raja dari kerajaan Arventia yang terkenal bijaksana.Wanita tua itu menggeleng tidak tahu, hal itu membuat Kakek Suma prihati dan makin penasaran dengan kondisi kerajaan itu sekarang. “Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku lihat, ini benar-benar pemusnahan. Apa Raja dari Arvencia selamat, melihat tidak ad
Kakek Suma menatap Raja Aldrian yang terbaring lemah di atas ranjang besar. Sorot matanya dingin dan tajam, namun dalam hatinya, ada rasa iba yang tersisa. Para ksatria kerajaan berdiri tegak, membentuk lingkaran penjagaan di sekitar raja, siap menghadapi ancaman apapun yang mungkin muncul. Suasana ruangan itu terasa berat dan penuh ketegangan.Hans, penasehat Raja, maju dengan langkah penuh kehati-hatian. Ia memberi hormat, lalu berkata dengan suara pelan, “Maaf telah membawa kalian ke sini dalam situasi seperti ini.”Kakek Suma hanya mengangguk kecil. Matanya tetap mengamati sekeliling ruangan yang suram dan beraroma ramuan medis. Ia tahu Hans bicara tentang dirinya dan Asmar—salah satu dari mereka adalah seorang alkemis, rahasia yang tak banyak diketahui orang.“Lalu, apa tujuanmu membawa kami ke sini?” Kakek Suma akhirnya membuka suara, nadanya tegas namun dingin.Hans menarik napas dalam. “Kami membutuhkan bantuan. Beberapa hari ini, para pengawal kami memperhatikan pergerakan ka
“Ini aku!” kata Hans, bergegas masuk sambil menuntun seorang prajurit yang terluka parah. “Maaf mengagetkan kalian, tapi tolong sembuhkan dia dulu.” Kakek Suma dan Asmar segera memahami keseriusan situasinya. Rasa lega menghapus ketegangan sejenak, berganti kesibukan untuk membantu prajurit yang terluka itu. Asmar bergerak cepat memeriksa kondisinya, sementara Zidan, yang masih dalam tahap latihan, mulai mempraktikkan penyembuhan dasar yang telah ia pelajari.Kakek Suma mendekati Hans yang tampak gelisah, alisnya mengernyit, mencari jawaban. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.Hans menghela napas, memandang prajurit yang terbaring dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. “Dia adalah salah satu pengawal yang aku tugaskan untuk mencari bahan obat. Mereka berpencar, tapi aku tidak menyangka ini akan terjadi…”Kakek Suma memperhatikan kondisi prajurit itu dengan cermat. “Lalu, apa dia mendapatkan bahan yang kita butuhkan?”Hans mengangkat bahu,
Kakek Suma, dengan penuh kehati-hatian, menyusuri area di sekitar perbatasan istana, matanya tajam mengamati setiap sudut yang mungkin menjadi titik rawan. Pengintaian ini sangat penting—bukan hanya untuk memastikan keamanan, tetapi juga untuk menjaga keselamatan Zidan dan Asmar yang tengah berlatih keras di dalam, demi menyiapkan obat penyembuh bagi Raja.Di dalam ruangan tempat Raja Aldrian terbaring, suasana dipenuhi ketegangan dan keseriusan. Zidan, ditemani Asmar, berkonsentrasi penuh dalam latihannya. Asmar memberikan instruksi rinci, membantu Zidan memahami teknik alkimia lanjutan yang diperlukan untuk meracik pil penyembuhan.Di luar, Kakek Suma terus bergerak dalam diam, memastikan bahwa tak ada musuh atau penyusup yang mengintai di balik bayang-bayang istana. Dengan nalurinya yang tajam dan pengalaman bertahun-tahun dalam bertahan hidup, ia merasa ada yang mencurigakan.Setelah memastikan bahwa area perbatasan aman, Kakek Suma kembali ke dalam dan mendapati Zidan masih berla
Zidan duduk di dalam kamar kecilnya, menatap kosong ke arah meja tempat gulungan peta dan catatan latihan beladirinya tersimpan. Ia merasa tidak berdaya. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing: Hans dengan pengintaian, Asmar dengan racikannya, dan Kakek Suma yang entah sedang menghadapi apa di luar sana. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hans masuk dengan raut wajah serius.“Zidan, kita perlu bicara,” kata Hans langsung ke intinya.Zidan berdiri, mencoba membaca ekspresi Hans. “Ada apa? Apa ini tentang Kakek Suma?”Hans menggeleng. “Belum ada kabar darinya, tapi aku punya firasat buruk. Pasukan patroli Arzan semakin mendekati batas wilayah kita. Mereka seperti sedang mencari sesuatu… atau seseorang.”Zidan menggigit bibirnya. “Apa kau pikir mereka mencari kita? Atau mungkin Kakek Suma?”“Mungkin keduanya,” jawab Hans dingin. “Kau harus tetap di dalam benteng. Kita tidak bisa mengambil risiko. Apalagi dengan kemampuanmu yang terus berkembang, kau menjadi target yang berharga.”“
Malam itu, Zidan duduk di tepi jendela kecil di kamarnya. Angin dingin menyusup masuk, membawa suara hutan yang sunyi. Pikirannya dipenuhi gambaran tentang Laskar Hitam, bayangan hitam tanpa wajah yang terus menghantui benaknya. Tidak bisa tidur, dia memutuskan untuk menemui Asmar yang biasanya masih terjaga hingga larut.Saat Zidan mengetuk pintu kamar Asmar, suara lembut tetapi tegas menyambutnya. “Masuklah, Zidan. Aku tahu kau pasti punya banyak pertanyaan.”Zidan tersenyum tipis sebelum duduk di kursi dekat Asmar yang sedang memeriksa ramuan-ramuannya. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan Laskar Hitam, Guru. Hans bilang mereka tidak terkalahkan. Bagaimana kita bisa melawan mereka?”Asmar meletakkan botol kaca di tangannya dan menatap Zidan dengan penuh perhatian. “Laskar Hitam adalah pasukan yang memang menakutkan, tapi ingatlah ini, Zidan: tidak ada yang benar-benar tak terkalahkan. Kunci untuk mengalahkan mereka adalah memahami kekuatan dan kelemahan mereka.”“Kelemahan?” Zidan m
Hans sampai di perbatasan antara Kerajaan Arzan dan Arventia saat matahari mulai condong ke barat. Udara terasa tegang, seolah mengetahui betapa pentingnya perbatasan ini dalam menjaga kedamaian rapuh yang tersisa. Pasukan perbatasan Arventia tampak siaga di setiap sudut, memegang senjata mereka dengan erat. Di kejauhan, terlihat penjaga dari pihak Arzan, berdiri tegap dengan sorotan mata dingin dan waspada.Hans melangkah perlahan, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Ia mendekati salah satu pos penjaga Arventia, seorang perwira dengan seragam kebiruan yang dikenalnya. “Bagaimana situasi di sini, Kapten Rivon?” tanya Hans sambil menatap pemandangan di seberang perbatasan.Kapten Rivon menghela napas panjang sebelum menjawab, “Cukup tenang untuk saat ini, tapi kami tahu ini hanya sementara. Pasukan Arzan telah meningkatkan patroli mereka. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.”Hans mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa ketenangan di perbatasan ini hanya ilusi—Arzan terkenal
“Itu sebabnya kami mengandalkan informasi intelijen, seperti dari Kakek Suma. Jika ada tanda-tanda ancaman dari musuh, kita akan mengetahuinya lebih awal,” jawab Hans sambil berjalan lebih jauh ke arah pintu gerbang luar. Mereka berhenti di depan barikade yang tampak kokoh. “Di sinilah titik terakhir sebelum keluar dari lapisan luar benteng,” kata Hans. “Tapi untuk saat ini, kami tidak akan keluar. Aku hanya ingin kau mengerti bagaimana perlindungan di sini bekerja.”Zidan mengangguk. “Aku tidak menyangka bahwa strategi dan keamanan di benteng ini begitu rumit.”Hans tertawa kecil. “Seharusnya memang begitu. Kami tahu siapa yang kami hadapi. Kekaisaran Arzan dan Laskar Hitam tidak akan mudah menyerah. Tapi ingat, sekuat apa pun benteng ini, pada akhirnya, kekuatan individu seperti kau, Asmar, dan Kakek Suma juga sangat penting.”“Kenapa ada prajurit Arzan di sana?” tanya Zidan panik, matanya membulat saat melihat seseorang dengan seragam khas pasukan Arzan sedang berjalan di area lap
“Terakhir, kau akan mengenali mereka dari cara mereka berbicara,” kata Hans sambil tersenyum. “Alkemis biasanya memiliki cara berpikir yang dalam dan penuh perhitungan. Mereka bisa menganalisis situasi dengan cepat dan sering kali memberikan solusi yang orang lain bahkan tidak terpikirkan.”Zidan terdiam sejenak, merenungi apa yang baru saja ia dengar. Ia mulai menyadari bahwa menjadi seorang alkemis bukan hanya tentang kekuatan atau kemampuan, tapi juga tentang bagaimana mereka membawa diri di tengah dunia yang penuh bahaya.“Tapi,” tambah Hans sambil menatap Zidan dengan serius, “kau juga harus hati-hati. Tidak semua alkemis adalah teman. Beberapa mungkin telah berpihak pada kekaisaran Arzan karena janji kekayaan atau kekuasaan.”Mata Zidan menyipit, rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran. “Jadi, kita tidak bisa mempercayai semua alkemis begitu saja?”“Benar,” kata Hans tegas. “Kau harus belajar mengenali siapa yang benar-benar di pihakmu dan siapa yang hanya berpura-pura. Tap
Hans berjalan mantap di lorong-lorong benteng, sesekali menoleh ke belakang memastikan Zidan tetap mengikutinya. Di sepanjang perjalanan, ia menunjuk ke arah berbagai struktur dan menjelaskan dengan detail yang membuat Zidan terkagum-kagum."Zidan, perhatikan baik-baik," ujar Hans sambil menunjuk pintu baja besar di depan mereka. "Benteng ini memiliki tiga lapisan pertahanan utama. Lapisan pertama adalah gerbang luar. Di sinilah para penjaga kita berjaga sepanjang waktu. Meski terlihat sederhana, sistemnya sangat kuat. Setiap pintu dirancang untuk menahan serangan besar-besaran."Zidan mengangguk sambil mencatat penjelasan itu dalam ingatannya. "Apa yang membuatnya begitu kuat, Hans?"Hans tersenyum kecil, merasa bangga bisa memberikan penjelasan. "Gerbang ini terbuat dari baja hitam yang dilapisi dengan sihir pelindung yang dirancang oleh salah satu alkemis sebelum mereka diburu habis oleh Arzan. Jika musuh mencoba menyerang langsung, mereka akan menghadapi jebakan dan serangan otoma
Zidan terus berlatih dengan tekun, memusatkan pikirannya pada teknik-teknik yang diajarkan oleh Asmar. Namun, di tengah konsentrasinya, rasa penasaran mulai mengusik pikirannya. Ia teringat momen ketika mereka pertama kali dibawa ke tempat ini—persembunyian yang dirahasiakan, bahkan untuk dirinya sendiri.Ia mengingat jelas bagaimana ia dibawa dengan mata tertutup, hanya bisa merasakan jalan yang berliku dan suasana yang sunyi. "Kenapa mereka merahasiakan tempat ini dariku?" pikir Zidan sambil menghentikan latihannya sejenak. Asmar, yang mengamati dari kejauhan, mendekatinya. "Kau terlihat tidak fokus, Zidan," katanya sambil duduk di atas sebuah batu besar di dekatnya. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"Zidan menghela napas pelan. "Guru, aku hanya penasaran... kenapa persembunyian ini dirahasiakan dariku? Bahkan aku dibawa ke sini dengan mata tertutup. Apakah mereka tidak mempercayaiku?"Asmar tersenyum kecil, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Bukan soal kepercayaan, Zi
Asmar memandang pil kecil berwarna kehijauan yang baru saja selesai dibuat oleh Zidan. Pil itu tampak sederhana, tetapi proses pembuatannya sangat kompleks. Ini adalah salah satu pil baru yang dirancang untuk membantu memperkuat energi dalam sambil menyembunyikan jejak kekuatan dari pengintai yang terlatih. Pil semacam ini sangat penting jika mereka ingin tetap aman dari Laskar Hitam dan pasukan Raja Arzan.“Sudah siap diuji?” tanya Asmar sambil menyerahkan pil itu kepada Zidan.Zidan mengangguk, meskipun ada sedikit keraguan di matanya. “Aku sudah mengikuti semua langkah yang kau ajarkan, Guru. Tapi ini pertama kalinya aku membuat pil sekompleks ini. Aku tidak yakin hasilnya akan sempurna.”Hans yang berdiri di dekat mereka mendekat dengan ekspresi serius. “Kalau pil ini gagal, apa dampaknya?”Asmar menjelaskan dengan tenang, “Jika pilnya gagal, dampaknya hanya energi dalam Zidan akan sedikit terganggu untuk sementara. Tidak ada risiko fatal. Tapi kalau berhasil… ini akan menjadi sal
“Dia menemukan lokasi persembunyian Laskar Hitam dan indikasi kerja sama mereka dengan Raja Arzan,” jawab Zidan, suaranya campuran antara kekaguman dan kekhawatiran. “Tapi dia juga menulis bahwa dia belum bisa kembali sekarang. Ada sesuatu yang harus dia pastikan terlebih dahulu.”“Hmm…” gumam Asmar sambil mengelus janggutnya. “Berarti dia sedang menyusup lebih dalam. Berbahaya, tapi itu memang gaya Suma.”Hans mengangguk. “Kalau Kakek Suma sudah memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh, artinya informasi itu sangat penting. Tapi aku tetap khawatir, apa dia butuh bantuan?”Zidan menggeleng. “Dia menulis agar kita tetap fokus di sini, menjaga Raja dan menyelesaikan semua persiapan. Dia tidak ingin kita terbagi fokus.”Asmar tersenyum kecil. “Tentu saja. Suma selalu percaya pada kita. Sekarang tugas kita adalah memastikan kita siap untuk apapun yang akan datang.”Zidan meremas surat itu di tangannya. Kekhawatirannya sedikit mereda, tapi tidak sepenuhnya hilang. “Kalau begitu, aku akan te