Kakek Suma menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa lampau. “Kerajaan takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Alkemis memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa menandingi kekuatan para pangeran dan pejabat kerajaan. Jika alkemis terus berkembang, mereka takut kekuatan mereka akan runtuh. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk memusnahkan semua alkemis, agar tak ada yang bisa menandingi kekuasaan mereka.”
Zidan menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan ketidakadilan yang mendalam. "Jadi, itulah mengapa mereka menyerang Desa Teratai," gumamnya. “Ya, Nak,” jawab Kakek Suma. “Desa Teratai terkenal karena para alkemisnya. Itulah sebabnya kerajaan memilih untuk menghancurkannya,” Mendengar itu, Zidan merasa bebannya semakin berat. Ia sadar bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang masa depan alkemis yang tersisa. "Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanyanya dengan suara lemah. “Kau harus terus belajar, Zidan. Kakek akan membantumu menguasai ilmu bela diri,” jelas Kakek Suma yang bisa mengajarkan Zidan beladiri. Karena Kakek Suma menguasai itu. Melihat pemuda yang ada dihadapannya kini membuat Kakek Suma ingin menurunkan semua ilmunya. Apalagi setelah tragedi desa teratai. Banyak orang yang menjadi korban karena kekuasaan dan rasa takut akan kehebatan seorang. “Benarkah, tapi saya belum cukup kuat untuk itu,” kata Zidan tidak yakin ia akan bisa menguasai ilmu beladiri. Karena sebelum belum ada Alkemis yang bisa ilmu beladiri dan pengobatan. Kekuatan yang seharusnya berdampingan. Kini harus ia pelajari bersama. Memikirkannya pun membuat Zidan tak percaya. “Tenang saja, kau juga bisa belajar alkemis,” jelas Kakek Suma yang pernah memiliki seorang Sahabat Alkemis. Jadi kakek Suma sudah terbiasa dengan Alkemis. “Katanya, kakek bukan seorang alkemis?” tanya Zidan yang tak yakin jika Kakek Suma bisa mengajarkan beladiri dan pengobatan. “Kau bisa mengetahuinya sendiri,” jawab Kakek Suma sambil tersenyum tipis. “Temanku pernah memberiku beberapa kitab alkimia. Bacalah, dan pelajari sendiri.” Zidan tersenyum lebar, matanya berbinar. “Baik, Kek!” ucapnya penuh semangat, langkah kakinya cepat menuju rumah kecil mereka di pinggir desa. Sesampainya di gubuk, Zidan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang ia kumpulkan selama perjalanan. Di tangannya, ada beberapa tumbuhan, akar, dan, yang paling berharga, sebatang ginseng tua. “Kau yakin ingin membuatnya sekarang?” tanya Kakek Suma, mengawasi Zidan dengan tatapan lembut. “Iya, Kek. Aku akan membuat pil pemulihan ini. Ayah pernah mengajarkannya padaku dulu,” jawab Zidan yakin sambil menata bahan-bahannya dengan hati-hati. “Benarkah? Apakah bahannya sama dengan yang ayahmu ajarkan?” Kakek Suma meneliti bahan-bahan yang terhampar di depan Zidan. Zidan tersenyum penuh percaya diri. “Tidak sepenuhnya. Aku menambahkan ginseng ini dan sedikit mengubah komposisinya.” Kakek Suma menyipitkan mata. “Apa kau yakin akan berhasil?” Zidan menarik napas dalam. “Ini percobaan pertamaku tanpa bantuan Ayah, jadi ada kemungkinan gagal. Tapi aku siap menghadapi risikonya.” Kakek Suma terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. “Kau sudah memahami risiko yang ada, itu bagus. Cobalah.” Dengan penuh ketelitian, Zidan mulai meracik bahan-bahannya. Tangannya cekatan, sementara matanya penuh konsentrasi. Ia menyalurkan tenaga dalamnya, dan seketika sinar biru terang menyelimuti ruangan. Aura misterius menyebar di udara, membuat suasana terasa tegang. Kakek Suma memperhatikan setiap gerakan Zidan dengan seksama. Dalam hati, ia terkejut. “Alkemis tingkat tiga... Siapa sangka, pemuda ini sudah bisa menguasai tingkat tiga dengan begitu sempurna,” gumamnya pelan. Ini bukan hal baru bagi Kakek Suma. Sebagai seseorang yang pernah hidup di antara para alkemis hebat, ia tahu betul bagaimana mengukur kekuatan dan keterampilan seorang alkemis. Meskipun dirinya tak pernah mempraktekkan alkemia, ia memiliki mata yang terlatih. Setelah melihat Zidan bekerja dengan penuh dedikasi, Kakek Suma merasa tenang. “Dia pasti bisa melakukannya,” pikirnya, lalu beranjak keluar gubuk untuk menunggu hasil di luar. Namun, tidak lama kemudian DUAR!! Sebuah ledakan mengguncang gubuk kecil itu. Suara keras menggema, mengejutkan Kakek Suma yang sedang menunggu di luar. “Apa yang terjadi?” gumam Kakek Suma, hatinya berdegup kencang. “Apakah dia gagal? Sayang sekali kalau ginseng seribu tahun itu terbuang sia-sia.” Dengan cepat, ia berlari masuk ke dalam gubuk, khawatir akan keselamatan Zidan. Kakek Suma menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu gubuk. Suara ledakan yang tadi terdengar jelas membuat hatinya berdebar-debar. Ia bukan hanya khawatir akan kegagalan Zidan, tapi juga cemas jika cucunya terluka karena ledakan itu. “Zidan! Kau baik-baik saja?” seru Kakek Suma sambil bergegas masuk ke dalam gubuk. Asap tipis masih memenuhi ruangan, dan aroma berbagai ramuan yang bercampur menyeruak ke udara. Di tengah ruangan, Zidan terduduk dengan wajah tertutup debu, namun senyum kecil terlihat di sudut bibirnya. “Kakek, aku... aku tidak apa-apa,” sahut Zidan sambil terbatuk-batuk, membersihkan wajahnya dengan lengan baju. Kakek Suma menghela napas lega meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Ia melangkah mendekat, memperhatikan meja kayu di depan Zidan"Bagaimana, Nak? Kau baik-baik saja?" tanya Kakek Suma dengan lembut, nada suaranya kali ini lebih tenang dibanding biasanya.Zidan, dengan penuh kebanggaan, mengangkat pil kecil yang baru saja dia buat. "Kek, lihat! Aku berhasil!" serunya penuh antusias.Kakek Suma mendekat, menatap pil di tangan Zidan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar saat ia berkata, “Luar biasa, Zidan. Kau benar-benar berhasil.”Zidan masih tidak percaya dengan hasilnya. "Ini pertama kalinya aku melakukannya sendiri, dan berhasil!" ucapnya takjub.Kakek Suma mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. “Ternyata kekhawatiranku tidak perlu, kau berhasil, Nak,” ucapnya sambil mengusap kepala Zidan dengan penuh kasih sayang.Zidan tersenyum, namun tatapannya tetap fokus pada pil itu. “Aku akan segera meminumnya, Kek,” katanya dengan penuh keyakinan.Namun, Kakek Suma segera mengingatkan. "Kau tahu, kan? Pil ini pasti ada efek sampingnya," ujarnya serius, memperingatkan cucun
Brakk!Keduanya dilempar ke dalam penjara yang gelap dan lembap tanpa diadili. Dinding-dinding batu tua yang dingin meresap ke tulang, dan suasana di tempat itu begitu mencekam. Zidan benar-benar merasa bersalah, dadanya sesak oleh rasa penyesalan. Tindakannya membawa mereka ke situasi yang tidak terduga. “Maafkan aku, Kek,” ucap Zidan dengan nada pasrah. Matanya menunduk, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Penyesalan itu menghantui setiap sudut pikirannya.Kakek Suma, yang duduk di sebelahnya, tersenyum lemah. Wajahnya yang sudah penuh keriput menyimpan ketenangan yang sulit dijelaskan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tidak mungkin mereka dilempar ke penjara begitu saja tanpa ada pengadilan. "Ini bukan salahmu," jawab Kakek Suma dengan suara rendah tapi tegas. Matanya yang tajam berkeliling, meneliti setiap sudut penjara, mencari petunjuk.Zidan menelan ludah dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah botol kecil berisi pil. "Aku hanya ingin menunjukkan in
Tanpa ampun, Kakek Suma dan Zidan diseret ke tiang gantungan, di hadapan kaisar dan para petinggi kerajaan. Ratusan pasang mata menyaksikan mereka dengan tegang. Ini adalah pemandangan yang suram, namun menjadi peringatan bagi semua orang bahwa menyembunyikan seorang alkemis adalah pengkhianatan terbesar terhadap kerajaan. Hukuman mati menjadi ganjarannya, tak peduli apa alasan di baliknya. Kaisar, dengan jubah mewah dan mahkota emas yang berkilauan, duduk di singgasananya, matanya memancarkan kebencian yang dalam.Kakek Suma berdiri di sana dengan tubuh renta, namun matanya penuh perlawanan. Di sebelahnya, Zidan terkapar lemah, tak berdaya. Tubuhnya ringkih, napasnya terdengar berat. Rasa sakit mendera tubuhnya, tetapi bukan hanya rasa sakit fisik yang menggerogotinya, melainkan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, di tengah kesunyian yang mencekam, Kakek Suma merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Perasaannya berkata bahwa ada kejanggalan. Ini bukan saat yang te
Semua orang menoleh, termasuk Kaisar. Pria itu melangkah maju, menatap Kaisar dengan hormat tetapi penuh keyakinan. “Aku seorang tabib dari desa sebelah. Aku telah mendengar banyak tentang alkemis, tetapi anak ini... dia tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai alkemis.”Kaisar menyipitkan matanya, tidak senang dengan interupsi tersebut. “Siapa kau, berani-beraninya kau menantang perintahku?”“Aku hanya seorang tabib sederhana, Yang Mulia,” jawab pria itu dengan tenang. “Namun, aku telah merawat banyak orang yang menderita luka bakar. Luka seperti yang dilaporkan pada anak ini biasanya meninggalkan bekas yang tidak bisa sembuh dalam semalam, bahkan dengan bantuan obat yang paling kuat sekalipun.”Kerumunan mulai berbisik-bisik lagi. Kaisar terlihat semakin marah, tetapi pria tua itu melanjutkan, “Jika anak ini tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai alkemis, bahkan aku melihat kondisinya juga sangat lemah, mungkin hidupnya sudah tidak lama lagi,”Kakek Suma melirik tabib tua itu dengan sin
Kakek Suma menoleh ke arah Asmar dengan tatapan tajam, namun ada kilatan rasa sakit di matanya. “Dia hanya anak kecil, Asmar. Seorang anak tak bersalah yang terjebak dalam kekacauan ini.” Suma berhenti sejenak, memperhatikan wajah pucat Zidan yang bersandar lemah di bahunya. “Desanya hancur terbakar, aku bahkan menyaksikan neraka itu,”Asmar hanya menghela napas panjang, masih dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. “Dulu, aku pikir kau adalah pria yang tak peduli pada siapa pun yang memiliki keterkaitan dengan alkimia. Kau tahu betul bagaimana aku bertarung demi kesetiaanku padamu saat itu, tapi aku juga tahu kebencianmu terhadap segala sesuatu yang berbau alkemis. Sekarang, kau malah mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkan bocah ini. Bukankah itu bertolak belakang dengan semua prinsipmu?”Suma terdiam, pikirannya melayang jauh ke masa lalu, ke dalam kenangan yang telah lama ia kubur dalam-dalam. “Ada banyak hal yang berubah sejak saat itu, Asmar. Tidak semua alkemis adalah ancam
Malam semakin larut, namun Asmar terus berupaya mengontrol kondisi Zidan dengan cara-cara yang ia tahu. Segala usaha ia lakukan untuk bisa menyembuhkan Zidan. Semua cara sudah dicoba. Asmar tak ingin kehilangan seorang Alkemis, terlebih lagi di tengah pembantaian habis-habisan terhadap Alkemis.“Apa yang kau lakukan ini, Asmar?” tanya Kakek Suma setelah lama terdiam, suaranya penuh penyesalan.“Aku mencoba memulihkan energinya, tapi jika tubuhnya tak cukup kuat, aku tak bisa menjamin hidupnya,” jawab Asmar dengan nada datar.Kakek Suma menundukkan kepalanya, seolah terbebani oleh dosa-dosa lama yang terus menghantui. “Jika dia selamat, Asmar, aku berjanji akan menjaga dia, bahkan jika itu berarti aku harus mengorbankan diriku sendiri.”“Janji itu harus ditepati, Suma. Aku tak akan membiarkanmu melarikan diri kali ini.” Asmar melanjutkan dengan nada tajam, suaranya penuh ketegasan.Setelah beberapa saat, Asmar berbicara lagi, “Dulu, aku pikir kita bisa bekerja sama untuk masa depan yan
Pengawal itu tidak menjawab, dia langsung masuk dan mulai menggeledah setiap sudut gubuk kecil itu. Satu pengawal tetap berjaga di depan pintu, matanya tajam memantau siapa saja yang berada di dalam. "Ada perintah dari Kaisar untuk menggeledah tempat ini. Tabib yang membantu kalian dianggap mencurigakan," ucapnya dengan nada dingin tanpa menatap Kakek Suma.Kakek Suma hanya bisa berdiri, menyaksikan para pengawal mengobrak-abrik tempat tinggalnya yang sederhana itu. Hatinya bercampur antara kesal dan cemas. Ia sadar, meski ia hanya seorang rakyat kecil, perhatian Kaisar yang curiga pada siapa pun yang berhubungan dengan alkemis membuatnya berada dalam bahaya. Asmar memiliki kepekaan luar biasa. Begitu mendengar berita bahwa pengawal datang, dia segera membereskan semua bahan-bahan yang berkaitan dengan alkemis yang ada di ruang belakang. Asmar tahu betul, Kaisar tidak butuh alasan jelas untuk menuduh dan menghukum orang. Sehelai daun kering yang terlihat mencurigakan pun bisa dijadi
Asmar berdiri di dekat jendela kecil gubuk itu, memandang ke luar. Sinar matahari mulai merayap perlahan di antara pepohonan, menandai datangnya pagi yang baru. Namun, hatinya masih diliputi kekhawatiran. Ia memandang Zidan yang masih belum pulih sepenuhnya, meski denyut nadinya sudah terasa lebih stabil."Aku ingin melatih anak ini lebih jauh," kata Asmar, memecah keheningan. "Aku akan mencari bahan-bahan yang kita perlukan keluar, tapi kita harus melakukannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimana menurutmu?"Kakek Suma, yang duduk bersila di sisi Zidan, mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus. Aku akan memastikan keadaan rumah ini terkondisi dengan baik. Jika ada pengawal kerajaan atau mata-mata yang datang lagi, kita harus siap." Tatapan Suma penuh dengan ketegasan, menandakan ia bersungguh-sungguh untuk menjaga keamanan Zidan.Asmar mengangguk, sedikit lega mendapat dukungan dari Suma. "Benar. Kaisar selalu mengawasi dengan cermat. Bukan hanya pada para pendekar dan pemberontak,
Elric berdiri di tepi jendela kamar mereka malam itu, pandangannya menerawang jauh ke luar. Cahaya bulan yang redup memantulkan bayangan murung di wajahnya. Kekejaman yang baru saja disaksikannya di aula utama membuat pikirannya terus bergolak. Ia menggenggam bingkai jendela dengan erat, mencoba menenangkan diri, namun rasa tidak nyaman semakin mencekiknya.“Apa yang mereka lakukan tadi… itu bukan keadilan,” gumam Elric dengan nada rendah, namun cukup keras untuk didengar oleh yang lain.Kyro, yang sedang duduk di tempat tidur, menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu? Bukankah mereka bilang itu untuk menjaga keamanan kekaisaran?"Elric berbalik, matanya tajam menatap Kyro. "Keamanan? Itu lebih mirip teror. Membunuh tanpa belas kasihan di depan semua orang. Bagaimana itu bisa disebut sebagai keadilan?"Daren, yang sedang berbaring, mencoba menyela. "Tapi mereka adalah pengkhianat. Mereka melanggar aturan dan mencoba melawan kekaisaran. Kau tahu apa akibatnya jika ada yang mencoba melawan Arz
Malam tiba, dan suasana di asrama terasa lebih hening dari biasanya. Zidan duduk di ranjangnya, berpikir keras tentang langkah selanjutnya. Latihan hari ini jelas membuatnya menonjol, sesuatu yang justru ingin ia hindari. Namun, di sisi lain, kerja sama dengan timnya berjalan lebih baik dari perkiraannya. “Zidan,” suara Elric memecah kesunyian. Ia berdiri di dekat jendela, memandangi bulan yang menggantung di langit. “Aku harus mengakui, rencanamu tadi luar biasa. Tapi... aku masih merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan.”Daren, yang sedang berbaring dengan tangan di belakang kepala, tertawa kecil. “Elric, kau ini terlalu curiga. Zidan itu hanya pintar. Apa salahnya?”“Tapi kepintaran itu tidak sesuai dengan cerita yang ia sampaikan,” balas Elric sambil menatap tajam ke arah Zidan.Kyro, yang sedang asyik menggambar sesuatu di buku catatannya, ikut angkat bicara. “Elric, mungkin kau benar. Tapi, apa pentingnya? Zidan telah membantu kita, itu yang terpenting.”Zidan menarik napas pan
Keesokan harinya, Zidan merasa suasana semakin tegang. Elric tampak semakin intens mengawasi setiap langkahnya, dan Zidan tahu bahwa waktunya untuk tetap tersembunyi semakin sedikit. Ia harus memikirkan strategi untuk tetap menjaga identitasnya, sementara Elric semakin mendekati kebenaran.Saat latihan dimulai, Zidan kembali disertakan dalam tim yang sama dengan Daren, Kyro, dan Elric. Kali ini, mereka dihadapkan dengan simulasi pertahanan yang lebih kompleks, di mana mereka harus melawan tim yang dipimpin oleh instruktur yang lebih berpengalaman.“Zidan, kau akan bertarung melawan instruktur utama dalam simulasi ini,” kata instruktur dengan nada tegas. “Jaga stamina dan gunakan segala kemampuan yang ada.”Zidan menelan ludah, meskipun ia berusaha tetap tenang. Lawan kali ini jauh lebih kuat daripada yang sebelumnya. Instruktur yang akan ia lawan sudah terkenal akan kelihaiannya dalam bertarung, dan meskipun Zidan bisa mengandalkan pilnya untuk menutupi kekuatannya, ia tahu itu tidak
Zidan berdiri tegak di arena, menatap Elric yang masih terbaring di tanah dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Meskipun ia telah memenangkan pertandingan itu, perasaan cemas mulai menyelinap ke dalam dirinya. Elric tidak bodoh, dan tatapan tajamnya sudah cukup untuk mengingatkan Zidan bahwa ia mungkin sudah mulai mencurigai sesuatu.“Apakah itu cukup untukmu?” Zidan bertanya dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Elric, yang sudah bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, tersenyum samar. “Hanya untuk sekarang, Zidan. Tapi aku rasa kita akan bertemu lagi. Aku penasaran denganmu.”Sesuatu dalam diri Zidan merasakan ketegangan yang lebih dalam, seolah Elric sudah tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Meskipun Zidan berusaha tetap tenang, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kekuatannya begitu saja. Setiap pertempuran, setiap tes yang ia jalani, semakin memperbesar risiko terungkapnya identitas dan kemampuannya sebagai seorang alkemis.Merek
Keesokan paginya, suasana akademi terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para murid bergegas menuju aula utama, tempat semua pengumuman penting disampaikan. Zidan dan teman-temannya ikut berbaur di antara kerumunan, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Elric, kau tahu ada apa?” tanya Kyro, sedikit terengah setelah berlari.Elric menggeleng. “Tidak ada yang memberi tahu apa-apa. Tapi biasanya, jika ada pengumuman mendadak seperti ini, pasti sesuatu yang besar.”Ketika mereka sampai di aula, seorang pria tua berwibawa, mengenakan jubah ungu keemasan khas pengawas akademi, berdiri di atas panggung. Suasana hening ketika ia mulai berbicara.“Para murid,” suara pria itu menggema, “hari ini kami mengumumkan ujian kompetensi mendadak yang akan diadakan dalam waktu dua hari. Semua murid, tanpa kecuali, diharapkan untuk berpartisipasi.”Bisik-bisik memenuhi aula. Banyak yang terkejut, termasuk Zidan.“Ujian mendadak?” Daren terlihat panik. “Aku bahkan belum mempersiapkan apa-apa!”“Tena
Latihan pagi itu semakin menantang. Instruktur yang memimpin latihan adalah seorang pendekar senior bernama Varyn, yang terkenal dengan metode pelatihannya yang keras dan tanpa ampun. Varyn mengamati setiap gerakan mereka dengan tajam, seolah mencari celah terkecil dalam kekompakan tim.“Kalian harus lebih dari sekadar kelompok. Dalam medan perang, kalian adalah satu tubuh. Jika satu dari kalian gagal, maka semuanya gagal,” kata Varyn sambil melangkah di sekitar mereka. Suaranya yang dalam dan penuh wibawa membuat suasana semakin tegang.Zidan, Daren, Kyro, dan Elric berdiri dalam formasi. Mereka telah diberi misi sederhana untuk bertahan selama lima menit dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh para pengawal. Namun, rintangan yang mereka hadapi jauh dari sederhana.Serangan pertama datang tiba-tiba. Tiga pengawal melompat ke arah mereka, menyerang dengan tongkat kayu yang cukup berat. Zidan langsung bergerak ke samping, menghindari pukulan yang hampir mengenai kepalanya. Kyr
Setelah menyerahkan kristal di pos akhir, tim Zidan dinyatakan sebagai pemenang dari ujian pertama. Para instruktur mengumumkan hasilnya dengan suara lantang, dan murid-murid lain memandang mereka dengan berbagai ekspresi—kagum, iri, bahkan tidak senang.Daren berjalan dengan penuh kebanggaan, sesekali menepuk pundak Zidan. “Aku bilang juga apa? Kita ini tim yang hebat! Hah, lihat wajah mereka yang kalah!” katanya sambil tertawa lebar.Kyro hanya tersenyum tipis. “Kita beruntung bisa menyusun strategi dengan baik,” tambahnya sambil melihat ke arah Elric yang tampak lebih diam dari biasanya. “Bagaimana menurutmu, Elric? Kau juga banyak berkontribusi tadi.”Elric menoleh, pandangannya tetap tertuju pada Zidan seolah berusaha membaca sesuatu dari wajahnya. “Ya, tentu saja. Tapi satu hal menarik, gerakan Zidan tadi cukup… mengesankan. Seperti bukan gerakan seorang murid biasa, bukan?”Zidan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tapi ia menutupinya dengan senyum ringan. “Aku hanya b
Keesokan harinya, suasana di akademi terasa lebih tegang. Para pengajar dan penjaga tampak lebih waspada dari biasanya. Zidan berusaha tetap tenang di tengah rutinitas yang tampak seperti biasa, tetapi pikirannya terus memutar ulang apa yang ia lihat dan temukan malam sebelumnya. Ia tahu informasi yang ia bawa bisa menjadi senjata penting untuk melawan Arzan, namun ia juga sadar bahwa setiap langkahnya ke depan penuh risiko.Di lapangan latihan, Daren, Kyro, dan Elric sudah bersiap. Mereka berkumpul di salah satu sudut yang agak sepi untuk berbincang sebelum sesi latihan dimulai.“Kau terlihat lelah, Zidan. Apa kau tidur nyenyak tadi malam?” tanya Daren sambil menepuk pundaknya.“Tidak ada yang spesial. Mungkin aku hanya terlalu memikirkan kompetisi kita,” jawab Zidan sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Kyro melirik Zidan dengan tatapan penasaran. “Kau ini tampaknya selalu serius. Jangan terlalu tegang, kita ada di sini untuk belajar dan berkembang.”Elric,
Zidan bergerak cepat dan senyap di lorong-lorong gelap yang jarang dilalui orang. Dinding-dinding batu dingin berderak samar di bawah tekanan udara malam. Setiap langkah yang diambil harus dihitung dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangkitkan kecurigaan. Ia tahu bahwa penjaga selalu berpatroli, tetapi waktu pergantian patroli adalah momen yang paling aman untuk menyelinap.Setelah melewati beberapa tikungan sempit, Zidan sampai di sebuah pintu logam besar yang tertutup rapat dengan rantai. Di dekatnya, ada celah kecil seperti jendela yang memungkinkan cahaya dari luar masuk. Dengan cepat, ia mengeluarkan sebuah alat dari dalam pakaiannya—alat sederhana yang telah ia buat dengan keterampilan alkemisnya, mampu membuka kunci sederhana tanpa menimbulkan banyak suara.Setelah beberapa saat bekerja dengan hati-hati, rantai itu terjatuh tanpa bunyi berarti. Zidan mengintip ke dalam ruangan. Terlihat gelap, namun ada kilau samar yang berasal dari benda logam di dalamn