Share

6. Percobaan Pertama

Kakek Suma menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa lampau. “Kerajaan takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Alkemis memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa menandingi kekuatan para pangeran dan pejabat kerajaan. Jika alkemis terus berkembang, mereka takut kekuatan mereka akan runtuh. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk memusnahkan semua alkemis, agar tak ada yang bisa menandingi kekuasaan mereka.”

Zidan menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan ketidakadilan yang mendalam. "Jadi, itulah mengapa mereka menyerang Desa Teratai," gumamnya.

“Ya, Nak,” jawab Kakek Suma. “Desa Teratai terkenal karena para alkemisnya. Itulah sebabnya kerajaan memilih untuk menghancurkannya,”

Mendengar itu, Zidan merasa bebannya semakin berat. Ia sadar bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang masa depan alkemis yang tersisa. "Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanyanya dengan suara lemah.

“Kau harus terus belajar, Zidan. Kakek akan membantumu menguasai ilmu bela diri,” jelas Kakek Suma yang bisa mengajarkan Zidan beladiri. Karena Kakek Suma menguasai itu.

Melihat pemuda yang ada dihadapannya kini membuat Kakek Suma ingin menurunkan semua ilmunya. Apalagi setelah tragedi desa teratai. Banyak orang yang menjadi korban karena kekuasaan dan rasa takut akan kehebatan seorang.

“Benarkah, tapi saya belum cukup kuat untuk itu,” kata Zidan tidak yakin ia akan bisa menguasai ilmu beladiri.

Karena sebelum belum ada Alkemis yang bisa ilmu beladiri dan pengobatan. Kekuatan yang seharusnya berdampingan. Kini harus ia pelajari bersama. Memikirkannya pun membuat Zidan tak percaya.

“Tenang saja, kau juga bisa belajar alkemis,” jelas Kakek Suma yang pernah memiliki seorang Sahabat Alkemis. Jadi kakek Suma sudah terbiasa dengan Alkemis.

“Katanya, kakek bukan seorang alkemis?” tanya Zidan yang tak yakin jika Kakek Suma bisa mengajarkan beladiri dan pengobatan.

“Kau bisa mengetahuinya sendiri,” jawab Kakek Suma sambil tersenyum tipis. “Temanku pernah memberiku beberapa kitab alkimia. Bacalah, dan pelajari sendiri.”

Zidan tersenyum lebar, matanya berbinar. “Baik, Kek!” ucapnya penuh semangat, langkah kakinya cepat menuju rumah kecil mereka di pinggir desa.

Sesampainya di gubuk, Zidan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang ia kumpulkan selama perjalanan. Di tangannya, ada beberapa tumbuhan, akar, dan, yang paling berharga, sebatang ginseng tua.

“Kau yakin ingin membuatnya sekarang?” tanya Kakek Suma, mengawasi Zidan dengan tatapan lembut.

“Iya, Kek. Aku akan membuat pil pemulihan ini. Ayah pernah mengajarkannya padaku dulu,” jawab Zidan yakin sambil menata bahan-bahannya dengan hati-hati.

“Benarkah? Apakah bahannya sama dengan yang ayahmu ajarkan?” Kakek Suma meneliti bahan-bahan yang terhampar di depan Zidan.

Zidan tersenyum penuh percaya diri. “Tidak sepenuhnya. Aku menambahkan ginseng ini dan sedikit mengubah komposisinya.”

Kakek Suma menyipitkan mata. “Apa kau yakin akan berhasil?”

Zidan menarik napas dalam. “Ini percobaan pertamaku tanpa bantuan Ayah, jadi ada kemungkinan gagal. Tapi aku siap menghadapi risikonya.”

Kakek Suma terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. “Kau sudah memahami risiko yang ada, itu bagus. Cobalah.”

Dengan penuh ketelitian, Zidan mulai meracik bahan-bahannya. Tangannya cekatan, sementara matanya penuh konsentrasi. Ia menyalurkan tenaga dalamnya, dan seketika sinar biru terang menyelimuti ruangan. Aura misterius menyebar di udara, membuat suasana terasa tegang.

Kakek Suma memperhatikan setiap gerakan Zidan dengan seksama. Dalam hati, ia terkejut. “Alkemis tingkat tiga... Siapa sangka, pemuda ini sudah bisa menguasai tingkat tiga dengan begitu sempurna,” gumamnya pelan.

Ini bukan hal baru bagi Kakek Suma. Sebagai seseorang yang pernah hidup di antara para alkemis hebat, ia tahu betul bagaimana mengukur kekuatan dan keterampilan seorang alkemis. Meskipun dirinya tak pernah mempraktekkan alkemia, ia memiliki mata yang terlatih.

Setelah melihat Zidan bekerja dengan penuh dedikasi, Kakek Suma merasa tenang. “Dia pasti bisa melakukannya,” pikirnya, lalu beranjak keluar gubuk untuk menunggu hasil di luar.

Namun, tidak lama kemudian DUAR!!

Sebuah ledakan mengguncang gubuk kecil itu. Suara keras menggema, mengejutkan Kakek Suma yang sedang menunggu di luar.

“Apa yang terjadi?” gumam Kakek Suma, hatinya berdegup kencang. “Apakah dia gagal? Sayang sekali kalau ginseng seribu tahun itu terbuang sia-sia.” Dengan cepat, ia berlari masuk ke dalam gubuk, khawatir akan keselamatan Zidan.

Kakek Suma menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu gubuk. Suara ledakan yang tadi terdengar jelas membuat hatinya berdebar-debar. Ia bukan hanya khawatir akan kegagalan Zidan, tapi juga cemas jika cucunya terluka karena ledakan itu.

“Zidan! Kau baik-baik saja?” seru Kakek Suma sambil bergegas masuk ke dalam gubuk. Asap tipis masih memenuhi ruangan, dan aroma berbagai ramuan yang bercampur menyeruak ke udara. Di tengah ruangan, Zidan terduduk dengan wajah tertutup debu, namun senyum kecil terlihat di sudut bibirnya.

“Kakek, aku... aku tidak apa-apa,” sahut Zidan sambil terbatuk-batuk, membersihkan wajahnya dengan lengan baju.

Kakek Suma menghela napas lega meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Ia melangkah mendekat, memperhatikan meja kayu di depan Zidan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status