Malam semakin larut, namun Asmar terus berupaya mengontrol kondisi Zidan dengan cara-cara yang ia tahu. Segala usaha ia lakukan untuk bisa menyembuhkan Zidan. Semua cara sudah dicoba. Asmar tak ingin kehilangan seorang Alkemis, terlebih lagi di tengah pembantaian habis-habisan terhadap Alkemis.“Apa yang kau lakukan ini, Asmar?” tanya Kakek Suma setelah lama terdiam, suaranya penuh penyesalan.“Aku mencoba memulihkan energinya, tapi jika tubuhnya tak cukup kuat, aku tak bisa menjamin hidupnya,” jawab Asmar dengan nada datar.Kakek Suma menundukkan kepalanya, seolah terbebani oleh dosa-dosa lama yang terus menghantui. “Jika dia selamat, Asmar, aku berjanji akan menjaga dia, bahkan jika itu berarti aku harus mengorbankan diriku sendiri.”“Janji itu harus ditepati, Suma. Aku tak akan membiarkanmu melarikan diri kali ini.” Asmar melanjutkan dengan nada tajam, suaranya penuh ketegasan.Setelah beberapa saat, Asmar berbicara lagi, “Dulu, aku pikir kita bisa bekerja sama untuk masa depan yan
Pengawal itu tidak menjawab, dia langsung masuk dan mulai menggeledah setiap sudut gubuk kecil itu. Satu pengawal tetap berjaga di depan pintu, matanya tajam memantau siapa saja yang berada di dalam. "Ada perintah dari Kaisar untuk menggeledah tempat ini. Tabib yang membantu kalian dianggap mencurigakan," ucapnya dengan nada dingin tanpa menatap Kakek Suma.Kakek Suma hanya bisa berdiri, menyaksikan para pengawal mengobrak-abrik tempat tinggalnya yang sederhana itu. Hatinya bercampur antara kesal dan cemas. Ia sadar, meski ia hanya seorang rakyat kecil, perhatian Kaisar yang curiga pada siapa pun yang berhubungan dengan alkemis membuatnya berada dalam bahaya. Asmar memiliki kepekaan luar biasa. Begitu mendengar berita bahwa pengawal datang, dia segera membereskan semua bahan-bahan yang berkaitan dengan alkemis yang ada di ruang belakang. Asmar tahu betul, Kaisar tidak butuh alasan jelas untuk menuduh dan menghukum orang. Sehelai daun kering yang terlihat mencurigakan pun bisa dijadi
Asmar berdiri di dekat jendela kecil gubuk itu, memandang ke luar. Sinar matahari mulai merayap perlahan di antara pepohonan, menandai datangnya pagi yang baru. Namun, hatinya masih diliputi kekhawatiran. Ia memandang Zidan yang masih belum pulih sepenuhnya, meski denyut nadinya sudah terasa lebih stabil."Aku ingin melatih anak ini lebih jauh," kata Asmar, memecah keheningan. "Aku akan mencari bahan-bahan yang kita perlukan keluar, tapi kita harus melakukannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimana menurutmu?"Kakek Suma, yang duduk bersila di sisi Zidan, mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus. Aku akan memastikan keadaan rumah ini terkondisi dengan baik. Jika ada pengawal kerajaan atau mata-mata yang datang lagi, kita harus siap." Tatapan Suma penuh dengan ketegasan, menandakan ia bersungguh-sungguh untuk menjaga keamanan Zidan.Asmar mengangguk, sedikit lega mendapat dukungan dari Suma. "Benar. Kaisar selalu mengawasi dengan cermat. Bukan hanya pada para pendekar dan pemberontak,
Hari itu, Asmar dan Zidan keluar dari gubuk tua dan menuju ke sebuah lapangan terbuka yang tersembunyi di dalam hutan. Tempat itu sepi, jauh dari pandangan orang-orang, dan sempurna untuk latihan intensif yang akan mereka jalani. Sinar matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, menciptakan cahaya lembut yang menyelimuti suasana. Zidan berdiri dengan semangat di depan Asmar, siap menyerap semua pelajaran yang diberikan oleh gurunya.Asmar menatap Zidan dengan penuh perhatian. "Hari ini kita akan memulai dari dasar," ucapnya. "Sebagai seorang alkemis, kau harus memahami dasar dari energi alam dan cara mengendalikan tenaga dalammu sendiri."Zidan mengangguk, wajahnya serius dan penuh rasa ingin tahu.Asmar kemudian duduk bersila di tanah dan memberi isyarat pada Zidan untuk duduk di depannya. "Duduklah, dan tenangkan pikiranmu," perintah Asmar dengan lembut. Zidan segera mengikuti. "Lekukan pertama ini adalah dasar yang sangat penting," lanjut Asmar. "Kau harus bisa merasakan aliran ene
Asmar mengangguk, matanya mengerjap tajam ke arah yang dimaksud Kakek Suma. "Pengawal kaisar?" bisiknya, merasa detak jantungnya meningkat karena menyadari betapa gentingnya situasi ini. Kakek Suma mengangguk, wajahnya kian serius. "Mereka datang memeriksa keberadaan kita. Mungkin ini hanya patroli biasa, atau mungkin mereka sudah mencium jejak kita."Tanpa menunggu lebih lama, Kakek Suma memberi isyarat kepada Zidan dan Asmar untuk tetap tenang dan tidak menimbulkan suara apa pun. Mereka semua bergerak perlahan-lahan, mengambil posisi perlindungan di balik semak-semak dan pohon-pohon besar yang ada di sekitar tempat itu.Asmar meletakkan tangannya di bahu Zidan, menekannya pelan sebagai tanda agar Zidan tetap tenang. Zidan berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu, berusaha menekan rasa panik yang mendadak muncul. Ia belum sepenuhnya paham bahaya yang mungkin mereka hadapi, namun tatapan penuh waspada dari kedua gurunya membuatnya sadar bahwa ini bukan situasi biasa.Ketegangan
Kakek Suma dan Asmar berjalan menyusuri jejak yang baru saja mereka temukan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jelas tanda-tanda bahwa seseorang telah berada di sekitar area itu belum lama ini. Pohon-pohon di sekitarnya menunjukkan ranting yang patah, dan ada bekas-bekas tapak kaki yang ringan, seolah sang pemilik kaki memiliki kemampuan untuk melangkah tanpa meninggalkan jejak yang terlalu dalam. Kakek Suma menatap Asmar yang tampak penuh semangat, seolah mengikuti jejak tersebut adalah satu-satunya hal yang ada di pikirannya. Merasa khawatir, Kakek Suma pun akhirnya berbicara, suaranya berat dengan nada ketidaksetujuan. "Kau meninggalkan Zidan sendirian?" tanyanya, nada suaranya terdengar ragu. Ia tahu betul bahwa Zidan masih muda dan kekuatannya masih jauh dari cukup untuk melindungi diri. Asmar menoleh sekilas, memberikan senyum tipis. "Aku yakin dia aman. Aku sudah membuat jebakan di sekeliling tempat latihannya. Dia sudah berlatih di situ selama berhari-hari, cukup unt
Pria itu hanya terdiam, matanya penuh kebencian. "Aku tidak akan mengatakannya, meski kalian membunuhku," balasnya dengan nada dingin.Asmar maju, berdiri di samping Kakek Suma. "Kaisar mengutusmu, bukan? Hanya orang yang memiliki kepentingan besar yang akan berani memasuki wilayah terlarang ini."Pria itu tidak menjawab, tetapi dari ekspresinya, mereka tahu bahwa dugaan Asmar benar.Mendengar itu, Kakek Suma menghela napas panjang. "Kalau begitu, kembalilah dan sampaikan pada Kaisar bahwa kami tidak akan menyerahkan Zidan."Pria itu tertawa pelan, penuh ejekan. "Kaisar tidak peduli siapa yang kalian lindungi. Yang jelas, siapa pun yang dianggap sebagai ancaman akan dihancurkan."Kakek Suma tampak tak terpengaruh. Ia hanya menatap pria itu dengan pandangan dingin, lalu dengan satu gerakan cepat, menotok titik tertentu di leher pria tersebut. Seketika, pria itu pingsan, tubuhnya jatuh lemas ke tanah.Asmar menatap Kakek Suma, wajahnya tampak muram. Ia mengeluarkan racun dan memberikann
Wanita tua itu menoleh dengan mata berkaca-kaca, suaranya hampir tersedak ketika menjawab. "Dulu, benar. Tapi sekarang... perang tak henti-hentinya. Kaisar Arzan mengirim pasukan berkali-kali ke sini. Lahan kami dibakar, ladang padi hancur, binatang ternak habis dibawa paksa oleh pasukan. Kami sudah kehilangan segalanya. Yang tersisa hanya sisa-sisa harapan yang tak tahu sampai kapan bisa bertahan."Asmar terdiam, merasakan kemarahan mendidih di dadanya. “Dia bahkan menghancurkan negeri yang bukan miliknya,” gumamnya. “Kekejaman seperti ini… tak bisa dibiarkan.”“Jika kerajaannya sudah hancur, dimana sang Raja berada sekrang?” tanya Kakek Suma yang penasaran dengan kondisi sang Raja dari kerajaan Arventia yang terkenal bijaksana.Wanita tua itu menggeleng tidak tahu, hal itu membuat Kakek Suma prihati dan makin penasaran dengan kondisi kerajaan itu sekarang. “Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku lihat, ini benar-benar pemusnahan. Apa Raja dari Arvencia selamat, melihat tidak ad
Pada malam yang sunyi, Zidan terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Suara angin yang berhembus pelan dari jendela yang terbuka sedikit memberikan ketenangan, tapi sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya. Ia merasa seolah ada yang mengawasi, atau lebih tepatnya, ada sesuatu yang mengintai dalam kegelapan.Zidan bangkit perlahan, mencoba untuk tidak membangunkan teman-temannya yang sedang tidur di ranjang masing-masing. Ketika ia melangkah menuju jendela, ia melihat Elric berdiri di luar, tampak seperti menunggu sesuatu. Zidan merasa ada ketegangan yang tak biasa di antara mereka.Dengan hati-hati, Zidan mendekati Elric yang tampak tidak memperhatikan kedatangannya. "Elric," panggil Zidan pelan.Elric menoleh, terkejut sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Oh, Zidan. Kau terjaga juga?""Kenapa kau di sini?" tanya Zidan, mencoba tidak terdengar terlalu curiga."Aku tidak bisa tidur," jawab Elric dengan nada yang tidak biasa, agak datar. "Ada banyak hal yang aku pikirkan. Tentang kit
Elric berdiri di tepi jendela kamar mereka malam itu, pandangannya menerawang jauh ke luar. Cahaya bulan yang redup memantulkan bayangan murung di wajahnya. Kekejaman yang baru saja disaksikannya di aula utama membuat pikirannya terus bergolak. Ia menggenggam bingkai jendela dengan erat, mencoba menenangkan diri, namun rasa tidak nyaman semakin mencekiknya.“Apa yang mereka lakukan tadi… itu bukan keadilan,” gumam Elric dengan nada rendah, namun cukup keras untuk didengar oleh yang lain.Kyro, yang sedang duduk di tempat tidur, menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu? Bukankah mereka bilang itu untuk menjaga keamanan kekaisaran?"Elric berbalik, matanya tajam menatap Kyro. "Keamanan? Itu lebih mirip teror. Membunuh tanpa belas kasihan di depan semua orang. Bagaimana itu bisa disebut sebagai keadilan?"Daren, yang sedang berbaring, mencoba menyela. "Tapi mereka adalah pengkhianat. Mereka melanggar aturan dan mencoba melawan kekaisaran. Kau tahu apa akibatnya jika ada yang mencoba melawan Arz
Malam tiba, dan suasana di asrama terasa lebih hening dari biasanya. Zidan duduk di ranjangnya, berpikir keras tentang langkah selanjutnya. Latihan hari ini jelas membuatnya menonjol, sesuatu yang justru ingin ia hindari. Namun, di sisi lain, kerja sama dengan timnya berjalan lebih baik dari perkiraannya. “Zidan,” suara Elric memecah kesunyian. Ia berdiri di dekat jendela, memandangi bulan yang menggantung di langit. “Aku harus mengakui, rencanamu tadi luar biasa. Tapi... aku masih merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan.”Daren, yang sedang berbaring dengan tangan di belakang kepala, tertawa kecil. “Elric, kau ini terlalu curiga. Zidan itu hanya pintar. Apa salahnya?”“Tapi kepintaran itu tidak sesuai dengan cerita yang ia sampaikan,” balas Elric sambil menatap tajam ke arah Zidan.Kyro, yang sedang asyik menggambar sesuatu di buku catatannya, ikut angkat bicara. “Elric, mungkin kau benar. Tapi, apa pentingnya? Zidan telah membantu kita, itu yang terpenting.”Zidan menarik napas pan
Keesokan harinya, Zidan merasa suasana semakin tegang. Elric tampak semakin intens mengawasi setiap langkahnya, dan Zidan tahu bahwa waktunya untuk tetap tersembunyi semakin sedikit. Ia harus memikirkan strategi untuk tetap menjaga identitasnya, sementara Elric semakin mendekati kebenaran.Saat latihan dimulai, Zidan kembali disertakan dalam tim yang sama dengan Daren, Kyro, dan Elric. Kali ini, mereka dihadapkan dengan simulasi pertahanan yang lebih kompleks, di mana mereka harus melawan tim yang dipimpin oleh instruktur yang lebih berpengalaman.“Zidan, kau akan bertarung melawan instruktur utama dalam simulasi ini,” kata instruktur dengan nada tegas. “Jaga stamina dan gunakan segala kemampuan yang ada.”Zidan menelan ludah, meskipun ia berusaha tetap tenang. Lawan kali ini jauh lebih kuat daripada yang sebelumnya. Instruktur yang akan ia lawan sudah terkenal akan kelihaiannya dalam bertarung, dan meskipun Zidan bisa mengandalkan pilnya untuk menutupi kekuatannya, ia tahu itu tidak
Zidan berdiri tegak di arena, menatap Elric yang masih terbaring di tanah dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Meskipun ia telah memenangkan pertandingan itu, perasaan cemas mulai menyelinap ke dalam dirinya. Elric tidak bodoh, dan tatapan tajamnya sudah cukup untuk mengingatkan Zidan bahwa ia mungkin sudah mulai mencurigai sesuatu.“Apakah itu cukup untukmu?” Zidan bertanya dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Elric, yang sudah bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, tersenyum samar. “Hanya untuk sekarang, Zidan. Tapi aku rasa kita akan bertemu lagi. Aku penasaran denganmu.”Sesuatu dalam diri Zidan merasakan ketegangan yang lebih dalam, seolah Elric sudah tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Meskipun Zidan berusaha tetap tenang, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kekuatannya begitu saja. Setiap pertempuran, setiap tes yang ia jalani, semakin memperbesar risiko terungkapnya identitas dan kemampuannya sebagai seorang alkemis.Merek
Keesokan paginya, suasana akademi terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para murid bergegas menuju aula utama, tempat semua pengumuman penting disampaikan. Zidan dan teman-temannya ikut berbaur di antara kerumunan, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Elric, kau tahu ada apa?” tanya Kyro, sedikit terengah setelah berlari.Elric menggeleng. “Tidak ada yang memberi tahu apa-apa. Tapi biasanya, jika ada pengumuman mendadak seperti ini, pasti sesuatu yang besar.”Ketika mereka sampai di aula, seorang pria tua berwibawa, mengenakan jubah ungu keemasan khas pengawas akademi, berdiri di atas panggung. Suasana hening ketika ia mulai berbicara.“Para murid,” suara pria itu menggema, “hari ini kami mengumumkan ujian kompetensi mendadak yang akan diadakan dalam waktu dua hari. Semua murid, tanpa kecuali, diharapkan untuk berpartisipasi.”Bisik-bisik memenuhi aula. Banyak yang terkejut, termasuk Zidan.“Ujian mendadak?” Daren terlihat panik. “Aku bahkan belum mempersiapkan apa-apa!”“Tena
Latihan pagi itu semakin menantang. Instruktur yang memimpin latihan adalah seorang pendekar senior bernama Varyn, yang terkenal dengan metode pelatihannya yang keras dan tanpa ampun. Varyn mengamati setiap gerakan mereka dengan tajam, seolah mencari celah terkecil dalam kekompakan tim.“Kalian harus lebih dari sekadar kelompok. Dalam medan perang, kalian adalah satu tubuh. Jika satu dari kalian gagal, maka semuanya gagal,” kata Varyn sambil melangkah di sekitar mereka. Suaranya yang dalam dan penuh wibawa membuat suasana semakin tegang.Zidan, Daren, Kyro, dan Elric berdiri dalam formasi. Mereka telah diberi misi sederhana untuk bertahan selama lima menit dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh para pengawal. Namun, rintangan yang mereka hadapi jauh dari sederhana.Serangan pertama datang tiba-tiba. Tiga pengawal melompat ke arah mereka, menyerang dengan tongkat kayu yang cukup berat. Zidan langsung bergerak ke samping, menghindari pukulan yang hampir mengenai kepalanya. Kyr
Setelah menyerahkan kristal di pos akhir, tim Zidan dinyatakan sebagai pemenang dari ujian pertama. Para instruktur mengumumkan hasilnya dengan suara lantang, dan murid-murid lain memandang mereka dengan berbagai ekspresi—kagum, iri, bahkan tidak senang.Daren berjalan dengan penuh kebanggaan, sesekali menepuk pundak Zidan. “Aku bilang juga apa? Kita ini tim yang hebat! Hah, lihat wajah mereka yang kalah!” katanya sambil tertawa lebar.Kyro hanya tersenyum tipis. “Kita beruntung bisa menyusun strategi dengan baik,” tambahnya sambil melihat ke arah Elric yang tampak lebih diam dari biasanya. “Bagaimana menurutmu, Elric? Kau juga banyak berkontribusi tadi.”Elric menoleh, pandangannya tetap tertuju pada Zidan seolah berusaha membaca sesuatu dari wajahnya. “Ya, tentu saja. Tapi satu hal menarik, gerakan Zidan tadi cukup… mengesankan. Seperti bukan gerakan seorang murid biasa, bukan?”Zidan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tapi ia menutupinya dengan senyum ringan. “Aku hanya b
Keesokan harinya, suasana di akademi terasa lebih tegang. Para pengajar dan penjaga tampak lebih waspada dari biasanya. Zidan berusaha tetap tenang di tengah rutinitas yang tampak seperti biasa, tetapi pikirannya terus memutar ulang apa yang ia lihat dan temukan malam sebelumnya. Ia tahu informasi yang ia bawa bisa menjadi senjata penting untuk melawan Arzan, namun ia juga sadar bahwa setiap langkahnya ke depan penuh risiko.Di lapangan latihan, Daren, Kyro, dan Elric sudah bersiap. Mereka berkumpul di salah satu sudut yang agak sepi untuk berbincang sebelum sesi latihan dimulai.“Kau terlihat lelah, Zidan. Apa kau tidur nyenyak tadi malam?” tanya Daren sambil menepuk pundaknya.“Tidak ada yang spesial. Mungkin aku hanya terlalu memikirkan kompetisi kita,” jawab Zidan sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Kyro melirik Zidan dengan tatapan penasaran. “Kau ini tampaknya selalu serius. Jangan terlalu tegang, kita ada di sini untuk belajar dan berkembang.”Elric,