Share

5. Ginseng Ratusan Tahun

Butuh beberapa menit bagi Zidan untuk bisa mengumpulkan tenaga dan membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, dan beberapa bagian tubuhnya terasa sangat nyeri. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka barunya yang semakin memperparah kondisinya.

Zidan mencoba bangkit, namun rasa sakit membuatnya terhuyung-huyung. Ia menoleh ke arah tebing yang baru saja ia jatuh dari sana. Tebing itu terlalu tinggi untuk didaki kembali, dan ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah mencari cara lain untuk keluar dari situasi ini.

Ia duduk sejenak, mencoba menenangkan dirinya dan memikirkan langkah berikutnya. "Kakek... di mana kau?" gumam Zidan dengan suara lemah. Harapannya sekarang adalah agar Kakek Suma menyadari bahwa ia hilang dan segera mencarinya.

Namun, Zidan tahu ia tidak bisa hanya menunggu di sini. Ia harus melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Zidan merogoh kantong kecil di sabuknya, mencari bahan-bahan obat yang ia petik tadi. Meskipun dalam kondisi lemah, ia masih ingat beberapa teknik dasar untuk meracik obat penyembuh.

Perlahan, ia mulai mengolah beberapa tanaman yang ia kumpulkan, mengunyah sebagian dan mencampurkan yang lainnya dengan air dari sungai kecil yang mengalir di dekat tempat ia terjatuh. Obat sederhana itu mungkin tidak akan menyembuhkan semua lukanya, tapi setidaknya bisa meredakan sedikit rasa sakit dan memberinya kekuatan untuk terus bergerak.

Setelah beberapa saat, Zidan merasa sedikit lebih baik, meski tubuhnya masih sangat lemah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di dasar tebing ini terlalu lama. Dengan perlahan, ia mulai bangkit dan berjalan, mencari jalan keluar dari hutan yang terasa semakin asing baginya.

Suara-suara hutan yang sebelumnya menenangkan kini terdengar seperti ancaman. Ranting yang patah, desiran angin di antara dedaunan, dan suara langkah-langkah hewan kecil yang bersembunyi di balik semak-semak. Zidan berusaha tetap tenang, meskipun hatinya diliputi kecemasan.

"Sabar, Zidan," katanya pada dirinya sendiri. "Kau pernah melewati hal-hal yang lebih sulit dari ini."

Zidan ingin bangun dan kembali ke Kakek Suma. Mungkin Kakek juga akan khawatir. Tapi saat ia akan bangun tangannya menyentuh sesuatu. Ia berbalik, saat melihat ginseng yang sudah sangat tua membuat Zidan bersemangat.

Zidan mulai menggali lebih dalam, tangan kecilnya cekatan mengangkat tanah dan akar-akar liar yang menghalangi jalannya. Ketika ia melihat akar ginseng mencuat dari dalam tanah, hatinya melonjak kegirangan. Ginseng ini adalah bahan yang langka, sering kali digunakan untuk obat mujarab yang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat terpencil seperti hutan tua ini. Zidan tahu bahwa temuannya ini sangat berharga, dan tanpa berpikir panjang, ia segera memasukkan akar tersebut ke dalam kantong kulit yang selalu dibawanya.

Dengan hati-hati, Zidan ingin naik, untuk kembali ke tempat semula. Pikirannya penuh dengan rencana, membayangkan betapa bangganya ia saat memperlihatkan temuannya. “Ini pasti akan membuat Kakek terkesan,” pikir Zidan sambil tersenyum kecil.

"Zidan!!!" Suara berat Kakek Suma memecah keheningan hutan. Zidan segera menjawab, "Kakek, aku di sini!"

Kakek Suma, yang berdiri di atas tebing kecil, melemparkan seutas tali ke bawah. Zidan menggenggam tali itu erat-erat, dan dengan sekuat tenaga, ia mulai memanjat. Setibanya di atas, wajah tua Kakek Suma menyambutnya dengan senyum setengah geli.

"Dasar kau ini, baru kutinggal sebentar tidur, kau sudah masuk ke jurang!" ujar Kakek Suma dengan suara bercampur kekhawatiran dan tawa.

"Ah, Kakek! Itu bukan jurang yang curam. Lagipula, aku menemukan sesuatu yang berharga!" Zidan berkata dengan penuh semangat, lalu mengeluarkan ginseng tua dari kantongnya.

Mata Kakek Suma berbinar sejenak saat melihat ginseng itu. "Ginseng ratusan tahun, ya?" katanya sambil mengamati akar tersebut dari dekat. "Ini bagus, Zidan, tapi akan lebih baik lagi kalau usianya mencapai seribu tahun."

Zidan terkejut mendengar pernyataan itu. "Seribu tahun? Memangnya ada, Kek?"

"Tentu saja ada," jawab Kakek Suma dengan nada penuh keyakinan. "Namun, hanya sedikit yang tahu bagaimana menemukannya. Yang terpenting adalah memperhatikan warnanya. Ginseng yang sudah mencapai usia seribu tahun memiliki warna yang berbeda."

Zidan menggaruk kepalanya, merasa sedikit bingung. "Ayah belum mengajariku sampai sejauh itu, Kek."

Kakek Suma tertawa kecil. "Kau masih banyak yang harus dipelajari, bocah. Seorang alkemis seperti dirimu harus mengenal tumbuhan lebih baik lagi."

Zidan menatap Kakek Suma dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Kakek, sebenarnya siapa Kakek? Apakah Kakek seorang alkemis juga?"

Kakek Suma tersenyum mendengar pertanyaan Zidan, tetapi tidak segera menjawab. Ia mengusap janggut putihnya yang tebal sambil memperhatikan Zidan dengan mata yang penuh arti. "Mungkin saatnya kau tahu sedikit tentang masa lalu kakek," kata Kakek Suma akhirnya.

Zidan memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa maksud Kakek?”

“Kakek memang bukan alkemis, tapi dulu, kakek adalah seorang pendekar yang sering bekerja sama dengan alkemis. Zaman itu, alkemis adalah sekutu yang sangat penting dalam dunia persilatan. Mereka bukan hanya peracik obat, tapi juga pembuat senjata rahasia dan pelindung ilmu. Kakek pernah memiliki sahabat alkemis yang sangat berbakat. Kami berjuang bersama dalam banyak pertempuran, tapi…” Kakek Suma berhenti sejenak, suaranya terdengar agak serak. “Ia gugur dalam tugasnya untuk melindungi sebuah ramuan langka dari tangan kerajaan yang serakah.”

“Kek, kenapa kerajaan begitu takut pada alkemis? Mengapa mereka ingin memusnahkan kami?” tanya Zidan, suaranya dipenuhi oleh kebingungan dan kesedihan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status