Kakek Suma menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa lampau. “Kerajaan takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Alkemis memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa menandingi kekuatan para pangeran dan pejabat kerajaan. Jika alkemis terus berkembang, mereka takut kekuatan mereka akan runtuh. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk memusnahkan semua alkemis, agar tak ada yang bisa menandingi kekuasaan mereka.” Zidan menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan ketidakadilan yang mendalam. "Jadi, itulah mengapa mereka menyerang Desa Teratai," gumamnya. “Ya, Nak,” jawab Kakek Suma. “Desa Teratai terkenal karena para alkemisnya. Itulah sebabnya kerajaan memilih untuk menghancurkannya,” Mendengar itu, Zidan merasa bebannya semakin berat. Ia sadar bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang masa depan alkemis yang tersisa. "Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanyanya dengan suara lemah. “Kau harus terus belajar, Zidan. Kakek akan mem
"Bagaimana, Nak? Kau baik-baik saja?" tanya Kakek Suma dengan lembut, nada suaranya kali ini lebih tenang dibanding biasanya.Zidan, dengan penuh kebanggaan, mengangkat pil kecil yang baru saja dia buat. "Kek, lihat! Aku berhasil!" serunya penuh antusias.Kakek Suma mendekat, menatap pil di tangan Zidan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar saat ia berkata, “Luar biasa, Zidan. Kau benar-benar berhasil.”Zidan masih tidak percaya dengan hasilnya. "Ini pertama kalinya aku melakukannya sendiri, dan berhasil!" ucapnya takjub.Kakek Suma mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. “Ternyata kekhawatiranku tidak perlu, kau berhasil, Nak,” ucapnya sambil mengusap kepala Zidan dengan penuh kasih sayang.Zidan tersenyum, namun tatapannya tetap fokus pada pil itu. “Aku akan segera meminumnya, Kek,” katanya dengan penuh keyakinan.Namun, Kakek Suma segera mengingatkan. "Kau tahu, kan? Pil ini pasti ada efek sampingnya," ujarnya serius, memperingatkan cucun
Brakk!Keduanya dilempar ke dalam penjara yang gelap dan lembap tanpa diadili. Dinding-dinding batu tua yang dingin meresap ke tulang, dan suasana di tempat itu begitu mencekam. Zidan benar-benar merasa bersalah, dadanya sesak oleh rasa penyesalan. Tindakannya membawa mereka ke situasi yang tidak terduga. “Maafkan aku, Kek,” ucap Zidan dengan nada pasrah. Matanya menunduk, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Penyesalan itu menghantui setiap sudut pikirannya.Kakek Suma, yang duduk di sebelahnya, tersenyum lemah. Wajahnya yang sudah penuh keriput menyimpan ketenangan yang sulit dijelaskan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tidak mungkin mereka dilempar ke penjara begitu saja tanpa ada pengadilan. "Ini bukan salahmu," jawab Kakek Suma dengan suara rendah tapi tegas. Matanya yang tajam berkeliling, meneliti setiap sudut penjara, mencari petunjuk.Zidan menelan ludah dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah botol kecil berisi pil. "Aku hanya ingin menunjukkan in
Tanpa ampun, Kakek Suma dan Zidan diseret ke tiang gantungan, di hadapan kaisar dan para petinggi kerajaan. Ratusan pasang mata menyaksikan mereka dengan tegang. Ini adalah pemandangan yang suram, namun menjadi peringatan bagi semua orang bahwa menyembunyikan seorang alkemis adalah pengkhianatan terbesar terhadap kerajaan. Hukuman mati menjadi ganjarannya, tak peduli apa alasan di baliknya. Kaisar, dengan jubah mewah dan mahkota emas yang berkilauan, duduk di singgasananya, matanya memancarkan kebencian yang dalam.Kakek Suma berdiri di sana dengan tubuh renta, namun matanya penuh perlawanan. Di sebelahnya, Zidan terkapar lemah, tak berdaya. Tubuhnya ringkih, napasnya terdengar berat. Rasa sakit mendera tubuhnya, tetapi bukan hanya rasa sakit fisik yang menggerogotinya, melainkan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, di tengah kesunyian yang mencekam, Kakek Suma merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Perasaannya berkata bahwa ada kejanggalan. Ini bukan saat yang te
Semua orang menoleh, termasuk Kaisar. Pria itu melangkah maju, menatap Kaisar dengan hormat tetapi penuh keyakinan. “Aku seorang tabib dari desa sebelah. Aku telah mendengar banyak tentang alkemis, tetapi anak ini... dia tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai alkemis.”Kaisar menyipitkan matanya, tidak senang dengan interupsi tersebut. “Siapa kau, berani-beraninya kau menantang perintahku?”“Aku hanya seorang tabib sederhana, Yang Mulia,” jawab pria itu dengan tenang. “Namun, aku telah merawat banyak orang yang menderita luka bakar. Luka seperti yang dilaporkan pada anak ini biasanya meninggalkan bekas yang tidak bisa sembuh dalam semalam, bahkan dengan bantuan obat yang paling kuat sekalipun.”Kerumunan mulai berbisik-bisik lagi. Kaisar terlihat semakin marah, tetapi pria tua itu melanjutkan, “Jika anak ini tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai alkemis, bahkan aku melihat kondisinya juga sangat lemah, mungkin hidupnya sudah tidak lama lagi,”Kakek Suma melirik tabib tua itu dengan sin
Kakek Suma menoleh ke arah Asmar dengan tatapan tajam, namun ada kilatan rasa sakit di matanya. “Dia hanya anak kecil, Asmar. Seorang anak tak bersalah yang terjebak dalam kekacauan ini.” Suma berhenti sejenak, memperhatikan wajah pucat Zidan yang bersandar lemah di bahunya. “Desanya hancur terbakar, aku bahkan menyaksikan neraka itu,”Asmar hanya menghela napas panjang, masih dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. “Dulu, aku pikir kau adalah pria yang tak peduli pada siapa pun yang memiliki keterkaitan dengan alkimia. Kau tahu betul bagaimana aku bertarung demi kesetiaanku padamu saat itu, tapi aku juga tahu kebencianmu terhadap segala sesuatu yang berbau alkemis. Sekarang, kau malah mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkan bocah ini. Bukankah itu bertolak belakang dengan semua prinsipmu?”Suma terdiam, pikirannya melayang jauh ke masa lalu, ke dalam kenangan yang telah lama ia kubur dalam-dalam. “Ada banyak hal yang berubah sejak saat itu, Asmar. Tidak semua alkemis adalah ancam
Malam semakin larut, namun Asmar terus berupaya mengontrol kondisi Zidan dengan cara-cara yang ia tahu. Segala usaha ia lakukan untuk bisa menyembuhkan Zidan. Semua cara sudah dicoba. Asmar tak ingin kehilangan seorang Alkemis, terlebih lagi di tengah pembantaian habis-habisan terhadap Alkemis.“Apa yang kau lakukan ini, Asmar?” tanya Kakek Suma setelah lama terdiam, suaranya penuh penyesalan.“Aku mencoba memulihkan energinya, tapi jika tubuhnya tak cukup kuat, aku tak bisa menjamin hidupnya,” jawab Asmar dengan nada datar.Kakek Suma menundukkan kepalanya, seolah terbebani oleh dosa-dosa lama yang terus menghantui. “Jika dia selamat, Asmar, aku berjanji akan menjaga dia, bahkan jika itu berarti aku harus mengorbankan diriku sendiri.”“Janji itu harus ditepati, Suma. Aku tak akan membiarkanmu melarikan diri kali ini.” Asmar melanjutkan dengan nada tajam, suaranya penuh ketegasan.Setelah beberapa saat, Asmar berbicara lagi, “Dulu, aku pikir kita bisa bekerja sama untuk masa depan yan
Pengawal itu tidak menjawab, dia langsung masuk dan mulai menggeledah setiap sudut gubuk kecil itu. Satu pengawal tetap berjaga di depan pintu, matanya tajam memantau siapa saja yang berada di dalam. "Ada perintah dari Kaisar untuk menggeledah tempat ini. Tabib yang membantu kalian dianggap mencurigakan," ucapnya dengan nada dingin tanpa menatap Kakek Suma.Kakek Suma hanya bisa berdiri, menyaksikan para pengawal mengobrak-abrik tempat tinggalnya yang sederhana itu. Hatinya bercampur antara kesal dan cemas. Ia sadar, meski ia hanya seorang rakyat kecil, perhatian Kaisar yang curiga pada siapa pun yang berhubungan dengan alkemis membuatnya berada dalam bahaya. Asmar memiliki kepekaan luar biasa. Begitu mendengar berita bahwa pengawal datang, dia segera membereskan semua bahan-bahan yang berkaitan dengan alkemis yang ada di ruang belakang. Asmar tahu betul, Kaisar tidak butuh alasan jelas untuk menuduh dan menghukum orang. Sehelai daun kering yang terlihat mencurigakan pun bisa dijadi
Saat pagi menjelang dan mereka akhirnya mendapat waktu untuk beristirahat, seekor burung pos terbang rendah menuju benteng. Hans melihatnya dari kejauhan dan segera menangkapnya. Di kaki burung itu terdapat gulungan kecil berisi surat.“Ini dari Kakek Suma,” kata Hans dengan nada serius, langsung menyerahkan surat itu kepada Asmar.Asmar dengan cepat membuka gulungan itu, matanya membaca setiap baris dengan penuh perhatian. Raut wajahnya berubah serius, lalu ia menatap Zidan dan Hans.“Kabar ini penting,” kata Asmar akhirnya. “Kakek Suma berhasil mendapatkan informasi tentang aliansi antara Laskar Hitam dan Kekaisaran Arzan. Mereka benar-benar berencana menyerang benteng ini dengan kekuatan penuh.”Hans mengangguk, ekspresinya semakin tegang. “Aku sudah menduganya. Apa yang Suma katakan? Apa rencananya?”Asmar membaca lebih jauh. “Dia meminta kita bersiap. Kakek Suma akan membawa beberapa orang yang bisa membantu kita, tetapi dia butuh waktu untuk menyusup kembali.”“Berapa lama waktu
Benteng mulai bergema oleh suara pertempuran. Para prajurit bertahan mati-matian melawan serangan brutal dari Laskar Hitam. Panah api menyala di udara, memecah gelapnya malam. Zidan dan Asmar berdiri di belakang Hans, menyaksikan kekacauan yang terjadi.“Asmar, kau harus menjaga Zidan,” ujar Hans sambil menghunus pedangnya. “Aku akan memimpin di garis depan!”Asmar mengangguk. “Jaga dirimu, Hans. Kami akan memastikan bagian ini tetap aman.”Zidan merasa gugup, tetapi ia meneguhkan hatinya. "Guru, apa yang harus aku lakukan?"Asmar menatapnya dengan serius. “Ini bukan waktunya untuk panik. Fokuslah. Ingat teknik yang telah aku ajarkan. Kau bisa membantu dengan energi penyembuhanmu di garis belakang, tapi jangan terlalu dekat dengan pertempuran.”Hans berlari menuju gerbang luar, memimpin pasukan dengan penuh keberanian. Laskar Hitam bukanlah pasukan biasa; mereka terlatih dan kejam, dengan taktik yang terorganisir.“Pertahankan posisi! Jangan biarkan mereka menembus dinding pertama!” t
Zidan duduk di dalam kamar kecilnya, menatap kosong ke arah meja tempat gulungan peta dan catatan latihan beladirinya tersimpan. Ia merasa tidak berdaya. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing: Hans dengan pengintaian, Asmar dengan racikannya, dan Kakek Suma yang entah sedang menghadapi apa di luar sana. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hans masuk dengan raut wajah serius.“Zidan, kita perlu bicara,” kata Hans langsung ke intinya.Zidan berdiri, mencoba membaca ekspresi Hans. “Ada apa? Apa ini tentang Kakek Suma?”Hans menggeleng. “Belum ada kabar darinya, tapi aku punya firasat buruk. Pasukan patroli Arzan semakin mendekati batas wilayah kita. Mereka seperti sedang mencari sesuatu… atau seseorang.”Zidan menggigit bibirnya. “Apa kau pikir mereka mencari kita? Atau mungkin Kakek Suma?”“Mungkin keduanya,” jawab Hans dingin. “Kau harus tetap di dalam benteng. Kita tidak bisa mengambil risiko. Apalagi dengan kemampuanmu yang terus berkembang, kau menjadi target yang berharga.”“
Malam itu, Zidan duduk di tepi jendela kecil di kamarnya. Angin dingin menyusup masuk, membawa suara hutan yang sunyi. Pikirannya dipenuhi gambaran tentang Laskar Hitam, bayangan hitam tanpa wajah yang terus menghantui benaknya. Tidak bisa tidur, dia memutuskan untuk menemui Asmar yang biasanya masih terjaga hingga larut.Saat Zidan mengetuk pintu kamar Asmar, suara lembut tetapi tegas menyambutnya. “Masuklah, Zidan. Aku tahu kau pasti punya banyak pertanyaan.”Zidan tersenyum tipis sebelum duduk di kursi dekat Asmar yang sedang memeriksa ramuan-ramuannya. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan Laskar Hitam, Guru. Hans bilang mereka tidak terkalahkan. Bagaimana kita bisa melawan mereka?”Asmar meletakkan botol kaca di tangannya dan menatap Zidan dengan penuh perhatian. “Laskar Hitam adalah pasukan yang memang menakutkan, tapi ingatlah ini, Zidan: tidak ada yang benar-benar tak terkalahkan. Kunci untuk mengalahkan mereka adalah memahami kekuatan dan kelemahan mereka.”“Kelemahan?” Zidan m
Hans sampai di perbatasan antara Kerajaan Arzan dan Arventia saat matahari mulai condong ke barat. Udara terasa tegang, seolah mengetahui betapa pentingnya perbatasan ini dalam menjaga kedamaian rapuh yang tersisa. Pasukan perbatasan Arventia tampak siaga di setiap sudut, memegang senjata mereka dengan erat. Di kejauhan, terlihat penjaga dari pihak Arzan, berdiri tegap dengan sorotan mata dingin dan waspada.Hans melangkah perlahan, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Ia mendekati salah satu pos penjaga Arventia, seorang perwira dengan seragam kebiruan yang dikenalnya. “Bagaimana situasi di sini, Kapten Rivon?” tanya Hans sambil menatap pemandangan di seberang perbatasan.Kapten Rivon menghela napas panjang sebelum menjawab, “Cukup tenang untuk saat ini, tapi kami tahu ini hanya sementara. Pasukan Arzan telah meningkatkan patroli mereka. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.”Hans mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa ketenangan di perbatasan ini hanya ilusi—Arzan terkenal
“Itu sebabnya kami mengandalkan informasi intelijen, seperti dari Kakek Suma. Jika ada tanda-tanda ancaman dari musuh, kita akan mengetahuinya lebih awal,” jawab Hans sambil berjalan lebih jauh ke arah pintu gerbang luar. Mereka berhenti di depan barikade yang tampak kokoh. “Di sinilah titik terakhir sebelum keluar dari lapisan luar benteng,” kata Hans. “Tapi untuk saat ini, kami tidak akan keluar. Aku hanya ingin kau mengerti bagaimana perlindungan di sini bekerja.”Zidan mengangguk. “Aku tidak menyangka bahwa strategi dan keamanan di benteng ini begitu rumit.”Hans tertawa kecil. “Seharusnya memang begitu. Kami tahu siapa yang kami hadapi. Kekaisaran Arzan dan Laskar Hitam tidak akan mudah menyerah. Tapi ingat, sekuat apa pun benteng ini, pada akhirnya, kekuatan individu seperti kau, Asmar, dan Kakek Suma juga sangat penting.”“Kenapa ada prajurit Arzan di sana?” tanya Zidan panik, matanya membulat saat melihat seseorang dengan seragam khas pasukan Arzan sedang berjalan di area lap
“Terakhir, kau akan mengenali mereka dari cara mereka berbicara,” kata Hans sambil tersenyum. “Alkemis biasanya memiliki cara berpikir yang dalam dan penuh perhitungan. Mereka bisa menganalisis situasi dengan cepat dan sering kali memberikan solusi yang orang lain bahkan tidak terpikirkan.”Zidan terdiam sejenak, merenungi apa yang baru saja ia dengar. Ia mulai menyadari bahwa menjadi seorang alkemis bukan hanya tentang kekuatan atau kemampuan, tapi juga tentang bagaimana mereka membawa diri di tengah dunia yang penuh bahaya.“Tapi,” tambah Hans sambil menatap Zidan dengan serius, “kau juga harus hati-hati. Tidak semua alkemis adalah teman. Beberapa mungkin telah berpihak pada kekaisaran Arzan karena janji kekayaan atau kekuasaan.”Mata Zidan menyipit, rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran. “Jadi, kita tidak bisa mempercayai semua alkemis begitu saja?”“Benar,” kata Hans tegas. “Kau harus belajar mengenali siapa yang benar-benar di pihakmu dan siapa yang hanya berpura-pura. Tap
Hans berjalan mantap di lorong-lorong benteng, sesekali menoleh ke belakang memastikan Zidan tetap mengikutinya. Di sepanjang perjalanan, ia menunjuk ke arah berbagai struktur dan menjelaskan dengan detail yang membuat Zidan terkagum-kagum."Zidan, perhatikan baik-baik," ujar Hans sambil menunjuk pintu baja besar di depan mereka. "Benteng ini memiliki tiga lapisan pertahanan utama. Lapisan pertama adalah gerbang luar. Di sinilah para penjaga kita berjaga sepanjang waktu. Meski terlihat sederhana, sistemnya sangat kuat. Setiap pintu dirancang untuk menahan serangan besar-besaran."Zidan mengangguk sambil mencatat penjelasan itu dalam ingatannya. "Apa yang membuatnya begitu kuat, Hans?"Hans tersenyum kecil, merasa bangga bisa memberikan penjelasan. "Gerbang ini terbuat dari baja hitam yang dilapisi dengan sihir pelindung yang dirancang oleh salah satu alkemis sebelum mereka diburu habis oleh Arzan. Jika musuh mencoba menyerang langsung, mereka akan menghadapi jebakan dan serangan otoma
Zidan terus berlatih dengan tekun, memusatkan pikirannya pada teknik-teknik yang diajarkan oleh Asmar. Namun, di tengah konsentrasinya, rasa penasaran mulai mengusik pikirannya. Ia teringat momen ketika mereka pertama kali dibawa ke tempat ini—persembunyian yang dirahasiakan, bahkan untuk dirinya sendiri.Ia mengingat jelas bagaimana ia dibawa dengan mata tertutup, hanya bisa merasakan jalan yang berliku dan suasana yang sunyi. "Kenapa mereka merahasiakan tempat ini dariku?" pikir Zidan sambil menghentikan latihannya sejenak. Asmar, yang mengamati dari kejauhan, mendekatinya. "Kau terlihat tidak fokus, Zidan," katanya sambil duduk di atas sebuah batu besar di dekatnya. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"Zidan menghela napas pelan. "Guru, aku hanya penasaran... kenapa persembunyian ini dirahasiakan dariku? Bahkan aku dibawa ke sini dengan mata tertutup. Apakah mereka tidak mempercayaiku?"Asmar tersenyum kecil, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Bukan soal kepercayaan, Zi