Share

3. Kebaikan Kakek Suma

Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Dunia ini tak sesederhana itu, Nak. Tidak semua orang setuju dengan kerajaan. Kadang kita harus menolong seseorang, bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka membutuhkan pertolongan. Dan kau, Nak, jelas membutuhkan pertolongan.”

Zidan terdiam. Kata-kata kakek itu begitu dalam dan penuh makna. Untuk pertama kalinya sejak tragedi di desanya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa memperdulikan siapa dia atau apa yang telah terjadi. Dia hanya seorang bocah yang terluka, dan kakek ini hanya ingin menolongnya.

“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Zidan pelan.

“Tak perlu berkata apa-apa,” jawab kakek itu. “Sekarang istirahatlah, dan biarkan tubuhmu sembuh.”

Zidan mulai memejamkan mata rasa nyaman membuatnya ingin sekali beristirahat, hari-hari kemarin begitu berat, kini ia bisa sedikit lega, karena ia bisa bersembunyi dalam hutan. Meski masih banyak pertanyaan tentang siapa kakek itu sebenarnya, tapi rasa kantuk sudah membuat Zidan ingin segera beristirahat.

Esok paginya, Zidan terbangun karena aroma makanan yang lezat memenuhi udara. Matahari sudah mulai naik, sinarnya menerobos masuk dari sela-sela dinding gubuk yang lapuk. Perlahan-lahan, Zidan duduk, merasa tubuhnya jauh lebih baik daripada malam sebelumnya. Meskipun masih terasa sedikit sakit, luka-lukanya sudah dibalut dengan baik, dan ada kekuatan baru yang mulai mengalir di tubuhnya.

Dia menoleh ke arah kakek yang sedang sibuk di dapur kecil, menyiapkan sarapan. Panci kecil mendidih di atas api unggun yang sederhana, sementara beberapa potong roti kasar tersaji di atas meja kayu. Zidan tersentuh oleh perhatian kakek itu. Setelah semua yang terjadi, kakek ini masih berusaha menolongnya.

“Kau sudah bangun, Nak?” tanya kakek itu tanpa menoleh, seolah sudah tahu bahwa Zidan telah terjaga. “Sarapan sudah siap.”

Zidan tersenyum kecil dan segera berdiri. "Biar aku membantumu, Kek," katanya, mencoba membantu.

Kakek itu menggeleng sambil tersenyum. “Tidak perlu, ini sudah selesai. Mari duduk dan makanlah. Kau butuh energi.”

Zidan mengikuti arahan kakek itu dan duduk di meja. Saat ia mengambil sepotong roti, hatinya dipenuhi rasa syukur yang dalam. Ia tahu bahwa tanpa bantuan kakek ini, ia mungkin sudah tidak akan selamat.

“Terima kasih, Kek,” ucap Zidan tulus. “Kakek begitu baik padaku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika tidak ada kakek.”

Kakek itu tersenyum lembut, tatapan matanya penuh kebijaksanaan. “Kau tidak perlu memikirkan hal itu, Nak. Semua orang berhak mendapatkan pertolongan, terutama mereka yang teraniaya oleh keadaan. Aku juga merasa kecewa dengan kerajaan dan apa yang mereka lakukan. Kemarin, aku pergi ke desa Teratai... dan tidak ada yang tersisa di sana.”

Hati Zidan terasa seperti terhimpit batu. Ia menunduk, matanya berair. “Benarkah, Kek?” suaranya terdengar gemetar.

Kakek itu mengangguk perlahan. “Ya. Desa itu hancur total. Tidak ada yang tersisa, hanya puing-puing. Padahal, dalam dunia persilatan, alkemis sangat penting untuk mendukung para kesatria. Sayang sekali kerajaan tidak melihat itu. Mereka hanya melihat ancaman di mana seharusnya ada persahabatan.”

Zidan mengangkat kepalanya, terkejut mendengar kakek itu berbicara tentang dunia persilatan. “Apa kakek tahu tentang dunia persilatan?” tanyanya dengan rasa ingin tahu yang mendalam.

Kakek itu tertawa kecil, suaranya serak namun penuh kenangan. “Tentu saja, Nak. Dulu, ketika aku masih muda, aku adalah seorang pendekar yang sangat disegani. Aku pernah berkelana dari satu tempat ke tempat lain, menantang banyak musuh, dan belajar berbagai ilmu silat. Tapi waktu terus berjalan. Sekarang, semuanya berubah. Para pangeran dan bangsawan memiliki kekuatan yang lebih besar dari apa yang dimiliki pendekar sepertiku.”

Zidan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia mulai menyadari bahwa kakek ini bukanlah orang biasa. Ada banyak pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan di balik sosok tuanya. “Aku seharusnya berlatih bela diri, Kek, bukan alkemis,” kata Zidan dengan nada penuh penyesalan. “Mungkin jika aku lebih kuat, aku bisa melindungi desaku.”

Kakek itu menggeleng sambil tersenyum. “Jangan menyesali jalan yang telah kau pilih, Nak. Ilmu alkemis adalah ilmu yang sangat berharga. Tetapi kakek harap, kau bisa menguasai keduanya—baik alkemis maupun ilmu bela diri. Dengan begitu, kau bisa menjadi lebih kuat dan mandiri.”

Zidan ragu sejenak. “Apakah aku bisa?” tanyanya dengan suara pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri.

“Tentu saja kau bisa,” jawab kakek itu dengan keyakinan yang tulus. “Jika kau mau belajar dan berlatih dengan tekun, segalanya mungkin. Kakek bisa mengajarimu ilmu silat. Tapi untuk sekarang, yang paling penting adalah kau menyembuhkan lukamu terlebih dahulu. Apa kau ingin mencoba membuat obatmu sendiri?”

Zidan terdiam sejenak, pikirannya melayang mengingat pelajaran terakhir yang diajarkan oleh ayahnya sebelum desa mereka diserang. Ayahnya adalah seorang alkemis hebat yang mengajarkan Zidan banyak tentang obat-obatan herbal dan ramuan penyembuh. Dia tahu bahwa di hutan ini terdapat banyak tanaman obat yang bisa digunakan untuk menyembuhkan lukanya.

“Kenapa terdiam?” tanya kakek itu, melihat Zidan tenggelam dalam pikirannya. “Apa kau takut?”

Zidan tersadar dari lamunannya. “Ah, tidak, Kek. Aku hanya berpikir… apakah aman bagiku mencari tanaman obat di hutan ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status